7. Es Dawet Ayu

650 150 25
                                    

"Ibu mohon tolong dipikirkan, Wina. Kesempatan ini sangat bagus, lho, kamu bisa ketemu sama Boy Chandra dan Tsana juga. Kapan lagi kan?" ujar seorang guru dengan jilbab dalam serta kacamata silver yang membingkai mata bulatnya itu.

"Wina tidak ada bakat, buk. Bagaimana bisa ikut lomba seperti ini," ujar Wina lagi dengan wajah kelewat memelas, ia sangat tidak berminat mengikuti lomba seperti ini lagi.

"Kamu ibu kasih waktu sampai lusa deh, siapa tau kepikiran," Bu Nurma namanya, tetap kekeh pada pilihan bahwa Wina yang akan mewakili sekolah mereka dalam lomba tulis cerita pendek yang diselenggarakan BKKBN dengan tema "keluargaku," sebagai bentuk peringatan hari keluarga nasional.

"Buk, tapi Wina beneran enggak bisa, lho. Nanti malah malu-maluin sekolah lagi," ujar Wina tak kalah kekeh, ia tetap tidak mau mengikuti lomba ini, "lagi pula Wina sudah kelas tiga, buk," berbagai alasan dikemukakan Wina agar ia tidak mengikuti lomba tulis cerita pendek ini.

"Wina..." Bu Nurma menatap muridnya ini dengan lekat, "ibu tau kamu sangat hobi menulis, kamu juga kerap memenangkan lomba tulis cerpen dan puisi. Ibu tahu, nak," Bu Nurma menggenggam erat tangan Wina yang hanya menunduk.

"Baik bu, akan saya pikirkan," ujar Wina pada akhirnya.

"Hah... baiklah kalau begitu, ibu senang mendengarnya. Sekarang kamu boleh kembali ke kelas," ujar Bu Nurma dengan senyum luar biasa lebarnya.

"Permisi, bu," Wina salim kepada guru Bahasa Indonesia itu, kemudian dengan perlahan meninggalkan ruang guru.

Tak langsung pergi ke kelas, Wina berjongkok dulu didepan ruang guru. Wina sudah tidak mau menulis lagi, itu salah satu luka terbesar didalam hidupnya. Wina menuju kearah toilet perempuan, mendadak ia ingin melihat penampilannya. Pasti saat ini sangat kacau.

Gadia jangkung itu mencuci tangannya, hingga seorang gadis yang baru keluar dari dalam bilik toilet mengambil atensinya. itu Andini, adik tirinya.

"Eh, ada Kak Wina," ujar Dini kemudian ikut mencuci tangan, Wina tampak tak berniat untuk membalasnya, "beberapa hari yang lalu ketemu sama papa ya, kak? duh, maaf banget ini mah sebelumnya, tapi bisa gak usah muncul dikehidupan baru papa, gak?"

Wina melirik sedikit kearah adik kelasnya itu, "yang mau muncul juga siapa," balas Wina sekenanya.

"Kak, lo niat mau nyuri papa gue, ya?" ujar Dini kali ini sambil menatap Wina berani.

Wina tak menjawab dengan segera, ia mengambil tisu yang tepat berada disamping Dini, kemudian membalas dengan sedikit berbisik, "kalau lo lupa nih gue ingetin. Lo sama mama penggoda lo yang udah ngerebut papa dari kehidupan gue. Jadi, kalau seandainya gue mau ngambil papa, itu jatuhnya bukan nyuri, tapi ngambil kembali apa yang seharusnya jadi milik gue. Inget juga kalau lo gak lebih dari anak tiri bokap gue, lo gak ada hubungan darah sama beliau. Lagi pula, gue udah gak minat ketemu sama orang yang udah bikin gue, abang gue, dan terutama bunda gue menderita. Kalau lo lupa lagi nih, lo gak bakal jadi apa-apa seandainya papa gak milih mama lo," ujar Wina dengan nada mengintimidasi.

Gadis itu segera keluar dari kamar mandi, bukan ke kelas, ia lebih memilih atap sekolah. Pikirnya, tidak apa-apa bolos sesekali.

Wina duduk dibangku yang tersedia disana, menatap kearah langit yang tak bisa ia temukan ujungnya. Wina memang terkenal dengan sifatnya yang duality, ia bisa mengintimidasi dan soft disaat yang bersamaan. Wina memang terkesan kuat dan tangguh, tapi ia tetaplah rapuh. Semua yang dilakukannya hanyalah pertahanan diri agar ia bisa tegar dan selalu tampak baik-baik saja.

Jujur, Wina muak sekali dengan kehidupannya. Langit yang tak tampak ujungnya itu selayak permasalahannya yang tak kenal akhir. Wina lelah.

Gadis itu memejamkan mata, merasakan hawa hangat matahari dan juga angin siang yang terasa sejuk dari atas sini. Hingga perlahan matanya terasa berat dan tak bisa terbuka lagi.

Wina terlelap.

---

Seorang pemuda jangkung berdiri menatap gadis yang sedang tertidur. Damai sekali. Ia tatap gadis ini lamat-lamat, wajahnya ayu dan tampak damai. Namun, semua keletihan masih tampak jelas diguratnya yang beberapa hari kebelakang ini tampak sendu.

Cahaya mentari menyentuh langsung wajahnya, membuat tidurnya yang lelap tampak terganggu. Dengan sigap pemuda itu menghalangi, agar tidur gadisnya kembali lelap seperti sedia kala. Tak membantu, ternyata sang gadis malah terbangun.

"Lanjut tidur lagi aja," ujarnya dengan suara berat yang menjadi ciri khas.

"Sejak kapan kamu disini?" tidak menurut, ia semakin bangun dari. tidurnya.

"Gak inget," balas pemuda itu sekenanya.

"Heru, coba nunduk," ujar gadis itu. Menurut pemuda bernama Heru itu segera menunduk kearah gadisnya, siapa lagi kalau bukan Wina?

Wina segera memeluk Heru, "sebentar, 5 menit aja. Jangan bergerak, jangan kemana-mana," bisik Wina pelan.

Betul, mereka ada dalam posisi itu selama 5 menit, membuat punggung Heru mau patah rasanya. Wina melepas pelukannya pada Heru, kemudian bangkit berdiri, dan berjalan menuju pagar pembatas.

"Ada apa?" tanya Heru singkat.

"Dulu, waktu kecil-kecil, setiap mimpi buruk pas bangunnya aku selalu peluk papa atau bunda. Trus pas papa gak ada, Bang Jenan yang gantiin posisi papa kalau gak ada bunda. Sekarang semenjak kuliah beda kota, cuma bunda dan Haruya yang bisa aku peluk tiap kali mimpi buruk," jelas Wina sambil menatap kearah bawah, banyak murid-murid yang sedang olahraga disana.

"Haruya?"

"Boneka kambing yang kamu kasih ke aku," jawab Wina.

"Itu Alpaca, win," ujar Heru disahut tawa kecil dari Wina.

Mereka terdiam, Wina kembali menatap langit, sementara Heru tetap memandang objek kesukaannya, Wina. Kemudian, tiba-tiba Heru tarik Wina kedalan pelukannya. Wina kaget, kemudian membalas pelukan Heru. Rasanya semua masalahnya luruh, seolah Heru mampu meringankan batu masalah yang dibawanya diatas pundaknya.

"Kalau butuh seseorang buat dipeluk, telpon aku. Sejauh apapun, aku akan berlari ke kamu," ujar Heru.

"Itu kalimat terpanjang yang kamu ucapin hari ini," ujar Wina.

"Aku serius."

"Aku tahu."

Mereka kembali terdiam, pelukan itu terasa sangat nyaman. Sampai-sampai mereka tak ingin melepasnya.

"Heru?"

"Hm?"

"Nanti pas pulang minum es dawet ayu, yuk?"

"Oke."

"Beli yang deket komplek rumah Jihan, ya?"

"Iya."

"Aku yang traktir."

"Setuju."

"Hari ini terasa berat untukku, tapi terimakasih sudah meringankannya."

























"Sama-sama."

'Datang padaku tiap kali kau merasa sedih, merasa cemas, atau merasa bahagia. Sejauh apapun jarak kita, aku akan berlari kepadamu. Tidak peduli sedang dimana dan sedang apa, aku akan tetap berlari kearahmu.'   - Heru Wardhana S.






---






haiiii, jangan lupa vomment yaaa
btw, bagusnya happy ending apa sad ending? hehehe.

Ice Cube ✓Where stories live. Discover now