02 | Boomerang

85 23 17
                                    

Tempat pertama yang kukunjungi adalah Brandenburg Gate.

Dengan mengenakan cardigan rajut berwarna krem dengan kaos berwarna putih kupadukan dengan celana jeans hitam aku berjalan menuju monumen yang menandakan bersatunya jerman barat dan jerman timur ini.

Seperti biasa tempat ini penuh dengan turis lokal maupun mancanegara. Semua nampak datang dengan pasangan atau keluarganya. Di tengah keramaian ini aku sendiran berdiri kaku. Aku segera menepi dan mengeluarkan kamera.

Saat pertama kali berkunjung kesini bersama Ryan aku tak henti-hentinya meminta dia mangambil fotoku. Padahal aku ini bukan tipe orang yang suka berfoto. Tapi memang, Eropa punya pesonanya sendiri.

Melihat tingkahku yang seperti anak kecil, Ryan segera mengeluarkan kameranya dan melakukan persis seperti yang kuminta. Setelah puas berfoto masing-masing kami meminta bantuan seseorang untuk memotret kami berdua.

Kali ini pun aku melakukan hal yang sama. Aku meminta tolong pada seorang pemuda berkulit hitam yang terlihat sedang berbincang santai dengan temannya.

"Excuse me, can I ask you a favor to take a picture of me in front of the gate?"
(Permisi, bolehkah aku meminta bantuanmu untuk memotretku?)

"Sure, no problem"
(Tentu)

Setelah mengucapkan terimakasih aku segera menuju kafe terdekat dan memilih tempat duduk di luar. Cuaca hari ini cukup cerah. Menandakan akan segera datangnya musim semi. Sembari menikmati kopi, aku memperhatikan orang orang yang berfoto di depan gerbang.

Mataku tertuju pada seorang lelaki yang bertekuk lutut sambil menyodorkan cincin pada seorang wanita. Awalnya wanita itu terkejut namun tak lama ia mulai menangis dan segera memeluk laki-laki itu. Orang-orang disekitar mereka bertepuk tangan. Tanganku tanpa sadar turut merayakan momen romantis itu. Mereka pasti bahagia.

Aku mengalihkan pandangan menuju jari manisku yang kosong. Kini aku tau alasanmu mengapa kamu tidak melamarku. Alasan yang terdengar konyol buatku. Kamu tidak ingin semakin menyakitiku ketika kamu tau bahwa kamu akan segera pergi. Hatiku sakit. Aku iri pada pasangan itu. Kenapa harus kamu yang pergi dan bukan orang lain.

Aku menghela nafas. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan di depan publik. Tiba-tiba handphoneku berbunyi.

"Kamu dimana Ra?" Logat jerman yang sangat kukenal menyapaku.

"Di kafe dekat gerbang Brandenburg. Kenapa?

"Oke, tetap disana" Anna menutup telfon bahkan sebelum menjawab pertanyaanku. Rude much?

Hampir 15 menit aku menunggu namun Anna tak kunjung datang. Aku hendak beranjak dari tempat duduk sebelum seseorang memanggil namaku.

"Hera?" mendengar suara itu aku langsung menoleh kebelakang. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari siapa yang memanggilku.

" Niko?"

"Hai, kaget ya" Niko, salah satu sahabatku yang paling dekat denganku. Dia segera duduk didepanku dan melihat menu membiarkanku kebingungan sendiri.

"Niko, kamu tau dari mana aku disini?"

"I have my way" jawab Niko tanpa mengalihkan pandangannya dari menu. Anna. Sekarang tanganku gatal ingin memukulnya.

"Terus, ngapain kamu kesini?" Kali ini dia menatap mataku.

"Harusnya aku yang tanya itu ke kamu. Ngapain kamu kesini?"

"Maksudmu?" Tanyaku balik. Kali ini dia menaruh buku menu dan mengaitkan kedua tangannya.

"Hera, aku tau kamu kehilangan, aku tau hatimu hancur, aku tau kamu merasa hidupmu sudah tak berharga lagi. Tapi terbang ke Jerman setelah 5 bulan pemakaman Ryan tanpa memberi tau siapa-siapa itu bukan jawabannya Ra" Tatapan Niko bukan tatapan marah, hanya, sedih.

"Kamu gatau gimana perasaanku sekarang Ko" aku membalas tatapan matanya dengan tegas.

"Kamu tidak boleh lari dari kenyataan. Kamu harus bisa mengatasi perasaanmu. Kamu harus terus maju. Try to move on." Mendengar jawaban Niko aku merinding.

"Nik, semua orang punya cara sendiri buat mengatasi kesedihan. You have your own way, and so do I. Ryan cuman teman buatmu" aku berusaha menenangkan perasaan yang menggebu-gebu dalam hatiku. Lalu aku melanjutkan ucapanku.

"Tapi buatku dia segalanya." Sebelum Niko sempat membalas aku segera pergi keluar dan berlari. Aku bisa mendengar suara Niko yang memanggilku namun aku tidak peduli.

Entah kemana langkah kaki ini membawaku. Dinegara yang asing ini, aku berharap dapat menggali lagi kenangan bersamamu dan menemukan cara untuk merelakan kepergianmu. Namun dinegara asing ini, kenangan bersamamu justru menjadi bumerang untukku.

Making Your Dreams Come TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang