La certitude d'avoir empêche de désirer.
.
.
.
Paris Juni 2015
Haura kembali ke apartment-nya dengan hati yang hangat. Bunga pemberian dari Tama sudah berada di dalam vas bening di sudut ruangan.
Haura duduk disalah satu bangku coffee shop disebelah sungai Siene dengan segelas kopi dan sketch book miliknya. Ia meletakkan pensil setelah sebuah gambar pemandangan di hadapannya selesai memenuhi satu halaman penuh buku sketsa berukuran A4. Haura tersenyum puas begitu melihat keseluruhan hasil karyanya selama hampir dua jam berdiam diri. Kopi di depannya sudah mulai dingin, dan separuh croissant di piringnya juga semakin dingin dan keras. Namun Haura justru dengan senang hati menghabiskannya.
Matanya berhenti pada sebuah buku bersampul warna merah di sisi kiri cangkirnya. The Ladies Paradise, begitu judul yang tertulis besar besar pada sampulnya. Haura tersenyum mengambil buku itu.
"Here, sebuah buku jika hari ini kamu merasa kesepian" ucap Tama ketika ia sedang bersiap pergi meeting sementara Haura masih duduk dengan kopi paginya.
"Buku tentang apa?" Tanya Haura menerima uluran buku dari Tama.
"Novel percintaan sepertinya" jawab Tama asal.
Haura mengangkat alis sesaat, menimang buku di tangannya dengan sedikit acuh. Lalu meletakkan dimeja begitu saja.
"Thanks"
"Aku akan menghubungimu nanti, aku harus pergi sekarang" ucap Tama mengecup bibir Haura singkat.
"Dasar bodoh, it's more like an economic book than a romance book" gumam Haura dengan tertawa kecil yang teringat percakapan esok tadi.
Ponselnya berdering, Tama menghubunginya. Ia menanyakan dimana Haura saat ini, dan tiga puluh menit kemudian ia sudah duduk dihadapan Haura.
"Mon cher" panggil Tama.
"Oui" jawab Haura masih tenggelam dalam bukunya.
"So i found an interesting book again for you?"
Haura menggeleng. Ia meletakkan buku di meja, kemudian menatap tama.
Matanya berbinar, "apakah kau ingin membunuhku dengan membuatku berpikir tentang ekonomi? This is an economic book" ucapnya.
Tama tertawa keras begitu mendengar ucapan Haura.
"Je suis désolé" jawab Tama berpura pura merasa bersalah. Dan Haura berpura pura kesal dengan melipat tangannya.
Tama tersenyum melihat kelakuan Haura, kemudian tangan yang dari tadi bersembunyi dibelakang punggungnya menyodorkan sebuah bouquet bunga mawar yang terikat indah dengan sebuah pita besar begitu saja kepada Haura.
Haura terkejut sesaat, dia tidak menduga hal hal seperti ini akan didapatkannya dari Tama. Haura menerima bunga itu, mencium aromanya sesaat kemudian tersenyum berterima kasih.
"Aku melewati toko bunga sebelum datang kesini, dan melihatnya aku teringat kepadamu" ucap Tama salah tingkah.
Haura terkekeh, "i loved it, thank you so much" jawabnya.
Kopi pesanan Tama datang, mereka berdua masih menikmati suasana senja di sungai siene dengan penuh tawa dan cerita. Dengan kopi yang mendingin dan suasana yang mulai hangat.
Ponselnya berdenting membuyarkan lamunanya, jantungnya tiba tiba bedetak sangat cepat hanya mendengar nada notifikasi pesan ponselnya. Ia meraih ponsel di meja dan segera membuka kolom pesan masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN YOUR ATMOSPHERE
RomanceHaura Casisty Wasa dan Naratama Janardanu pernah bertemu tiga tahun yang lalu saat dia masih menyelesaikan studinya di Paris. Mereka bertemu Setelah apa yang telah terjadi sebelumnya, pertemuan yang hampir saja dilupakan Haura, dia terpaksa bertemu...