[1] Koma bukan titik

721 83 3
                                    

Rezim kekuasaan Voldemort sudah runtuh empat tahun yang lalu. Kini dunia sihir perlahan-lahan menata kembali apa yang sudah hancur. Terlebih jiwa-jiwa yang selama ini terluka akibat perang. Kehilangan teman, sahabat, orang tercinta dan keluarga membuat mereka-mereka yang ikut perang mengalami masa-masa paling menakutkan seumur hidup.

Namun, hidup harus terus berjalan. Daun-daun terus berguguran akibat pergantian musim. Waktu terus berjalan. Tidak peduli luka-luka itu sudah sembuh atau belum.

Tarikan napas panjang keluar dari celah mulut seorang laki-laki dengan rambut hitam acak-acakannya. Kaca mata bulat yang setia bertengger di pangkal hidungnya merosot berkali-kali karena sang empunya terus menunduk menatap puluhan berkas yang sedang dia urus.

Kepala Auror, Harry Potter. 

Ya, seorang anak yang dua kali lolos dari maut itu sekarang sudah tumbuh makin dewasa. Mungkin diumurnya yang sekarang, dia masih belum pantas menjadi seorang kepala. Namun berkat dedikasinya yang tinggi, sepertinya pangkat seperti itu pun tidak cukup.

Tok tok tok!

Pintu bergaya kolonial dengan tinggi sekitar dua meter lebih itu terbuka dengan cepat tanpa mendengar izin dari Harry. Ia sudah tahu ulah siapa itu. 

"Ron, jangan asal buka pintu ruanganku." ucap Harry bosan. Ia terus saja melihat dokumen-dokumen pekerjaannya.

Ron terkekeh, Ia menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Tanpa masuk seutuhnya ke ruangan Harry.

"Mate, ayo makan."

Harry menenggakkan kepalanya menatap Ronald, sahabatnya. Lalu, melihat arloji yang sudah menunjukkan pukul 12 siang.

"Hermione?"

"Sudah menunggu di kantin."

Harry segera merapihkan puluhan file yang menjadi tanggung jawabnya itu, lalu mengikuti Ron yang sudah pergi terlebih dahulu.

...

"Akhir-akhir ini banyak sekali kasus yang aku tangani. Kebanyakan tentang perampokan di leaky cauldron. Hhhh, bahkan aku sudah mengejar 20 perampok minggu ini." Ron mencurahkan isi hatinya. Di sampingnya, Harry sesekali meliriknya dengan tangan yang terus menyuapi roti ke mulutnya sendiri. Sedangkan di depannya, Hermione hanya melihat Ron dengan tatapan malas.

"Itu tugasmu, Ron. Jalani dengan ikhlas."

Ron menggerutu mendengar balasan Hermione, "Aku hanya bosan. Kasusku itu-itu saja. Tidak ada yang lebih menantang."

"Kau diberi yang mudah salah, diberi yang berat juga salah. Maunya apa?" Hermione berseru. Kesal melihat Ron yang tidak juga berubah.

Harry menghela napas. Hampir separuh waktu hidupnya selalu saja mendengar perdebatan kedua orang ini. Apalagi setelah Hermione putus dengan Ron setahun yang lalu. Hubungan persahabatan mereka renggang. Harry mati-matian berusaha menyatukan persahabatan mereka lagi. Ya, dia sih berhasil. Namun yang namanya Hermione tetap keras kepala. Dia akan selalu sensitif dengan Ron. Seakan apa yang dikatakan laki-laki itu selalu saja salah.

Ron terdiam mendengar omelan Hermione. Dia tidak boleh terpancing emosi. Bagaimanapun dia harus sabar menghadapi wanita yang masih sangat dia cintai itu. Ia sangat ingin Hermione kembali padanya. Ia harus sabar menunggu, walau itu artinya membutuhkan waktu 'selamanya'.

Mereka kini makan dalam diam. Semakin dewasa, manusia akan semakin individualis. Lebih suka sendiri, lebih suka memendam perasaan sendiri, overthingking, hingga akhirnya stres sendiri.

Saat keheningan itu, tiba-tiba peri rumah warisan sirius, Kreacher, datang ke hadapan Harry. Dengan tampang keriputnya, Ia membungkuk untuk memberikan rasa hormat terlebih dahulu.

PARALLELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang