Belajar Menjadi Santri

28 4 1
                                    

Oleh : Yuliah

Alhamdulillah hari ini adalah pengumuman kelulusan SMP Hanifa. Ia lulus dengan nilai yg memuaskan. Hanifa pulang bersama sang Ayah dengan senyum bahagia. Setibanya dirumah Habifa menyampaikan keinginannya kepada orangtuanya kalau akan mendaftar disebuah SMK yang ia inginkan. Ayah mengatakan, "Hanifa maaf kalau untuk melanjutkan ke sekolah yang kau inginkan ayah tidak mengizinkan".

"Nak, Ibu mengizinkan kamu melanjutkan sekolah akan tetapi harus di pondok pesantren." Hanifa  berlari ke kamar dengan mata berkaca-kaca. Di dalam kamar ia memikirkan apa yang dikatakan Ibunya.

"Kalau aku ke pondok berarti harus selalu pakai rok dan kerudung, padahal aku paling anti dengan yang namanya rok dan kerudung." Ya, Hanifa adalah anak yang suka berpakaian tomboy.

Akhirnya ia keluar dari kamar dan menyampaikan keputusannya. "Ayah, Ibu .... Ehm ... hanifa setuju dengan keputusan Ibu kalau harus melanjutkan ke pondok, tapi yang Hanifa takutkan jika tidak kuat berkerudung dan memakai rok gimana?" Pondok Pesantren itu tempat yang sangat asing bagi Hanifa, karena menjadi santri bukanlah impian Hanifa.

Kini disinilah Hanifa pondok pesantren"Sinar Melati". Hari pertama di pondok mengadakan perkenalan untuk santri baru oleh para santri senior. Pondok Sinar Melati memisahkan asrama ikhwan dan akhwat dengan jarak yang lumayan jauh.

Hari ini Hanifa berkenalan dengan santri baru yang duduk di sebelahnya, "Hai ... namaku Hanifa Putri. Nama kamu siapa?"

"Hai juga namaku Desi Az-Zahra. Hanifa asalnya mana?"

"Rumahku dekat kok dari pondok, hanya 3 jam jika naik motor, kalau kamu asal mana  Desi?" jawab Hanifa sambil senyum.

"Owh ... kalo aku dari Lampung."

"Haaaa ... kok jauh banget, sih."

"Iya ..."

"Kok bisa sampe Jogja?"

"Alhamdulillah sepupuku ada yang kuliah  dan mendapatkan suami di Jogja. Jadi aku diajak sepupuku masuk ke pondok ini."

"Oalah ... gitu toh ceritanya."

"Kalo kamu Fa ...?"

"Hehehehe, sebenarnya aku kesini karena terpaksa."

"Terpaksa gimana?"

"Ya, terpaksa masuk pondok karena kalo aku ngga masuk pondok ngga bakal boleh lanjutin sekolah sama orang tuaku," jawab Hanifa dengan wajah sedih.

"Hei ... kalian berdua ngapain dari tadi ngobrol terus, sekarang maju ke depan kalian berdua!" seru salah satu santri.

"Aduh ... ayo Fa kita maju sebelum dapat teguran lagi," ajak Zahra dengan wajah takut.

"Ya, ampun. Gitu banget, sih, mbak marahnya," ucap Hanifa sambil jalan ke depan.

"Astagfirullah ... dek, kalian itu baru diberi pengarahan kok malah asik ngobrol sendiri. Jangan diulang, ya, dek," kata santri senior yang di sebelah santri senior yang galak tadi.

"Kamu itu kalo negur adek angkatan jangan kenceng banget suaranya ingat 'suara akhwat itu aurat, Lifa," imbuhnya.

"Iya, Azalia Sholihah maafkan temanmu ini yang belum bisa ngurangi volume suara," jawab kak Lifa.

Owh .... Jadi namanya Kak Lifa, cantik, sih, tapi kok galak.

"Cantik-cantik kok galak." Hanifa bergeming.

"Apa kamu bilang? Coba ulangi yang keras?"

"A--akuu ngga bilang apa-apa kok, kak," jawab Hanifa gugup.

Antologi Cerpen All MemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang