Oleh : Mufti Fahrum Dewi Buana
Bruk!
Malam yang tergesa. Malam di mana aku begitu sendiri. Di jalanan yang sepi. Aku tersungkur di atas aspal yang dingin, yang menyentuhku dengan kasar, memaksaku agar aku tetap tinggal. Memelukku dengan cara yang luar biasa tak terduga, membisikkan serangkaian kata yang berdesir dan ambigu. Lewat angin malam yang sama dinginnya, baru kumengerti. Bisikan itu menahanku untuk pergi. Pergi kembali menginjakkan kaki ke dasar bumi.
Jika tidak salah, beberapa menit yang lalu, seseorang menabrakku.
Menghilangkan konsentrasiku dari motor. Aku gugup. Aku begitu bingung. Begitu linglung dan akhirnya aku harus mencium dasar bumi itu sama-sama kasarnya. Aku begitu terkejut. Semuanya terjadi secara tiba-tiba, dan yang jelas, kakiku mati rasa. Aku tidak tahu lagi, aku harus bagaimana. Rasa sesak, nyeri menjalar di dada.
Di lubuk hatiku, aku ingin pergi dari hal yang tak mengenakkan ini. Aku ingin melepas caranya mengelabuhiku dengan angkuh. Seolah ia amat yakin mampu memilikiku, amat yakin kekalahan akan berujung padaku. Sepertinya, sudah ada satu-dua tetes air mata yang menyentuh pipiku. Bahkan, bau amis yang begitu pekat sudah memasuki indra penciumanku. Cairan yang kental dari dahiku, ikut meluncur menutup wajahku perlahan-lahan.
Semakin lama perih di hatiku semakin membengkak. Sangat dalam; menusukku; menyayatku. Aku memejam. Anakku ... apakah ini akhir cerita, bapak? Apakah bapak tidak bisa melihatmu di pagi yang ceria seperti biasa? Apakah bapak tidak bisa menikmati senyum termanismu lagi?
Nak, apakah kau tahu? Bapak pernah bilang padamu. Jika nanti bapak meninggalkanmu, kau tidak perlu risau, karena bapak akan selalu kembali untuk kau. Karena bapak tak akan meninggalkanmu sendiri. Bapak tak mau kau menangis seperti saat ibumu meninggalkan kita. Namun, nak, sekarang kau sudah besar. Sudah SMP. Sudah tidak cengeng lagi. Sudah jarang merajuk. Sudah bisa mengerti bapak. Sudah banyak bantu bapak menjalani hidup yang memaksamu dewasa sejak awal. Maafkan, bapak, nak.
Bapak seharusnya membiarkanmu bahagia. Menghabiskan waktu kanak-kanakmu dengan bermain bersama teman sebayamu. Namun, bapak malah membiarkanmu; membiarkan tubuh kecilmu mengangkat berkilo-kilo garam dari mobil _box_ yang dipindahkan ke warung-warung kelontong. Pekerjaan, bapak. Yang bapak kira, membuat bapak selalu merasa bersalah. Sebab kau harus bersusah payah untuk mencapai bahagia.
Bibirku bergetar. Aku mendengar suara yang begitu riuh. Seperti ada banyak orang yang menghampiriku.
"Pak, ayo beli es krim!"
Spontan aku membuka mata. Aku di tempat yang tidak asing. Tempat biasanya aku dan anakku bermain di sana. Sambil sesekali membeli es krim untuk dimakan berdua. Aku diseret olehnya, tangannya menarik-narik lenganku, mencoba mendekat pada penjual es krim yang mungkin juga tidak asing dengan kami. Orang lusuh yang beberapa kali pernah membeli es krim miliknya. Rasa vanila yang legit dan kental.
Aku kebingungan. Kenapa tiba-tiba aku baik-baik saja? Seolah tidak terjadi apa-apa, seperti mimpi.
"Pak, ayo, beli es krim!" pintanya begitu memohon.
"I—iya ...," jawabku sekenanya. Aku masih begitu bingung. Apa yang terjadi?
"Pak Es Krim, halo!" sapa anakku seraya melambaikan tangan ke arah penjual es krim.
Penjual es krim itu mengernyit. Setelah beberapa detik, raut wajahnya berubah gembira. "Halo, dek Kasih!"
"Aku mau es krim vanila. Satu, ya, Pak!" pintanya mengangkat jari telunjuk kanannya. Tangan kirinya masih saja menggenggam lenganku yang hitam ini.
Meskipun aku masih bingung, aku mencoba mengerti. Mengikuti setiap adegan yang menyenangkan itu dan berlagak seolah tidak ada yang terjadi. Aku tersenyum dan bertanya pada penjual es krim itu, "Laris, Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen All Member
NouvellesKalau kamu suka ceritanya silakan vote, ya, jangan lupa tinggalkan komentar dan follow juga akun kami untuk support biar kami tambah semangat. ini adalah kumpulan cerita pendek yang dipersembahkan oleh member KDC Group. Ceritanya seru, loh, selamat...