Yasmin 3

3.1K 468 70
                                    

Dian dan Yuni lebih dahulu sampai di kediaman keluarga almarhum bos mereka. Suasana duka masih terlihat sangat kental, para sanak famili juga masih silih berganti keluar masuk dalam kediaman keluarga almarhum Arman. Ada kurang lebih karangan bunga ungkapan duka cita yang dikirimkan oleh para relasi, sahabat dan keluarganya.

Dian memarkirkan motornya di samping sebuah pohon besar. Ada juga beberapa motor sudah terparkir disana. Siapa sih yang tidak kenal dengan kawasan Pondok Indah. Semua orang begitu familar dengan nama tersebut. Tidak ada rumah tipe tujuh puluh disana. Semua rumah terhiung ratusan meter.

"Jaja ke mana sih?lama bener!" Gerutu Dian sambil membetulkan posisi kerudungnya.

"Mampir dulu kali beli air, kasian haus karena gowes," Sahut Yuni ikut duduk di atas motor Dian.

"Eh, panjang umur lu, Ja. Baru disebutin udah nongol."

"Aamiin ya Allah. Semoga gue panjang umur." Jaja menyandarkan sepedanya di pohon besar. Matanya menatap jejeran karangan bunga yang memenuhi sepanjang jalan masuk menuju rumah bosnya.

"Orang kaya banget ya, almarhum. Kasian usianya pendek," ujar Jaja sambil melihat ke arah dua teman wanitanya.

"Iya, Ja. Kasian. Apalagi anak lelakinya tadi."

"Iya, benar. Gue rasanya pengen ikutan nangis," celetuk Yuni dengan mata berkaca-kaca.

"Oh, gue kirain. Lu pengen ikut dikubur juga, Yun."

Pletak!

"Sembarangan! Sepeda butut!" Yuni dengan kesal menepuk keras pundak Jaja.

"Biarin weeekk, dari pada kamu, rante kapal!"

"Ehh, malah berantem, sih! Ayo kita ke dalam!" Dian melerai Jaja dan Yuni, ketiganya masuk ke dalam pekarangan rumah. Dian dan Yuni yang masih malu-malu, ikut duduk di kursi bawah tenda yang sudah disediakan. Sedangkan Jaja masih dalam posisi berdiri, celingak-celinguk.

"Hei kamu, sini!" Teriak lelaki paruh baya, berwajah timur tengah, memanggil Jaja.

"Saya, Pak!" Jaja menunjuk dirinya. Lelaki paruh baya itu mengangguk. Dengan cepat, Jaja menghampirinya.

"Ada apa, Pak?"

"Kamu teman menantu saya?"

"Eh...bukan, Pak. Saya karyawannya almarhum, di pabrik tas," jawab Jaja sambil tersenyum.

"Oh begitu, ini saya mau minta-""

"Opa, tolong ambilkan layangan!" Teriak Reza pada lelaki paruh baya yang sedang bicara dengan Jaja. Anak kecil itu menunjuk layangan yang tersangkut di pohon besar, tempat sepeda Jaja bersandar.

"Opa ga bisa ambilnya, Bang. Minta tolong Om Heru, ya!"

Anak lelaki itu mengeleng, bahkan wajahnya seperti ingin menangis.

"Eh, jangan nangis, Dek, biar abang ambilin ya!"

"Emang kamu bisa?" tanya opa Reza yang menelisik Jaja dari ujung kaki sampai ujung rambut.

"Bisa, Pak, sebentar ya." Jaja pamit, ia berjalan ke arah pohon besar yang diikuti oleh Reza dan Opanya. Anak lelaki itu tersenyum, ia bahkan menyeringai kepada Jaja.

Jaja melepas sepatunya, terlihatlah kaos kaki bolong pada bagian jempolnya.

"Abang, kaos kakinya sobek ya?" Tanya Reza dengan suara lucu.

"Iya, Dek." Jaja menyeringai sambil melihat miris jempol kakinya yang munjul keluar. Bukan hanya sebelah, tapi keduanya.

Dengan mahir, Jaja memanjat pohon besar mengambilkan layangan untuk anak bosnya. Karena memang orang kampung, urusan manjat-memanjat serta berenang. Jaja jagonya, biasa manjat tembok, ngintipin anak tetangga mandi. Dan berenang di kali.

Rich Widow (Sudah Tersedia E-book di Play Store) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang