Yasmin 6

2.7K 401 76
                                    

Jaja mandi terburu-buru setelah mendengar ucapan bapaknya, yang akan menjual sepeda butut miliknya. Suara bu Ambar, ibunya Jaja tidak terdengar, padahal sedari tadi Jaja memanggil-manggil ibunya.

Masih menggunakan handuk saja, Jaja berlari ke depan rumah kontrakannya. Benar saja, sepeda butut miliknya sudah tidak ada di teras. Wajahnya berubah kesal dan marah, dengan serampangan ia memakai sendal dan pergi menyusul tempat biasa bapaknya berjudi dan mabuk-mabukan.

Tak dipedulikannya kekehan tetangga melihatnya bertelanjang dada. Malah mereka seakan mendapat tontonan gratis dari lelaki kampung yang lumayan tampan. Perut rata dan aroma sabun serta sampo sehabis mandi, membuat ibu-ibu yang sedang berada di depan rumahnya, melongo melihat Jaja berjalan terburu-buru.

"Seksi amat, Ja. Ga dingin itu!" celetuk salah satu tetangga Jaja.

"Coba laki gue, perutnya kayak Jaja." Celetuk yang lainnya.

"Duh, gue gerah mak, liat perut Jaja."

Dan entah apa lagi godaan dari para tetangga yang rata-rata ibu rumah tangga itu. Jaja cuek saja, hanya senyuman tipis ia berikan saat menanggapi ocehan para ibu-ibu. Sendal jepit yang ia pakai pun, hampir saja putus bagian ujungnya, kakinya melangkah seperti melayang. Namun ia tetap saja cuek.

Jaja mempercepat langkahnya, sudah terdengar dari kejauhan suara tawa sang bapak. Namun, tunggu. Sepertinya sayup-sayup ia juga mendengar suara ibunya.

"Jangan, Pak. Ini sepeda Jaja kerja, Pak. Jangan dijual!"

"Ga usah ikut campur lo peyot. Sana pulang!" sentak bapak Jaja pada Bu Ambar istrinya, ia bahkan mendorong tubuh bu Ambar hingga terhuyung hampir terbentur tembok.

"Nanti Jaja berangkat kerja pake apa, Pak? Dia kerjakan buat kita juga, Pak!" rengek Bu Ambar sambil menggoyangkan lengan suaminya.

"Bukan urusan gue! Sepeda ini gue yang beliin, sekarang gue ambil, ya hak gue peyot!"

"Pulang sana!" Kali ini Pak Jamal, bapak Jaja mendorog tubuh istrinya terlalu kuat.

Hhaapp...

Jaja datang disaat yang tepat, ia menangkap tubuh ibunya sebelum tubuh tua itu menyentuh tanah becek. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun, seandainya bukan lelaki ini yang menolongnya dan ibunya dulu. Tentulah Jaja saat ini sudah memukulinya habis-habisan.

"Bapak silahkan ambil sepeda butut saya, tapi tolong jangan pernah perlakukan ibu saya seperti ini lagi, kalau tidak..."

Prakk!

Pak Jamal membanting kartu yang ia pegang. Wajahnya merah menyala menahan amarah yang sama. Ia bangun dari duduknya sambil sempoyongan, minuman keras telah membuat ayah tiri Jaja ini banyak sekali berubah.

"Dia bini gue, terserah gue mau diapain. Bukan urusan bocah ingusan kayak lu!" Pak Jamal menunjuk Jaja dengan telunjuknya. Badannya bergoyang kesana kemari karena efek minuman keras.

Teman-teman Pak Jamal yang ada disana hanya terkekeh pelan, bahkan mereka tidak ada niat sama sekali untuk melerai.

"Bawel lu berdua, jangan urusin hidup gue, sana lu minggat!" bentak Pak Jamal dengan amarah yang memuncak. Dengan keras mendorong tubuh Jaja hingga terbentur tiang listrik yang tidak jauh dari tempat Jaja berdiri.

Bugh!

Jaja meringis, ia lupa bahwa saat ini ia hanya memakai handuk yang dililit di pinggang.

Hahahah

Tawa para lelaki di sana menggema menunjuk Jaja yang masih meringis, menahan sakit di punggungnya karena terbentur tiang listrik.

"Oh, segitu ukuran anak tiri lu, Mal," ledek seorang pria tua yang sama mabuknya dengan bapak tiri Jaja.

Rich Widow (Sudah Tersedia E-book di Play Store) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang