The Doll

1.9K 130 27
                                    

Dentang terdengar sebanyak lima kali dari sebuah jam antik yang terletak di laci kayu yang di pernis berkilat sewarna karamel. Tanda waktu senja telah datang. Dimana Mew masih memandangi boneka-boneka porselen hasil buatannya dalam keheningan.

Semua boneka terlihat cantik memakai gaun zaman dulu di era victorian; memakai gaun manis berkualitas mahal dengan rok megar berenda, serta hiasan rambut rumit; bonet, pita-pita besar dan bunga di rambut mereka yang terang serupa orang-orang eropa.

Hanya satu boneka yang terlihat tampan dan menawan terpajang diantara boneka gadis. Memakai setelan tuxedo aristokrat warna hitam emboss perak yang mewah, di tambah garis-garis bordir renda yang di jahit rapi sempurna berwarna emas. Boneka tersebut begitu istimewa di mata Mew sehingga ia memajangnya dengan apik, di beri kotak kaca sebagai penghalang debu.

"Kenapa masih memandanginya?"

Mew menoleh. Dia melihat seseorang yang begitu mirip dengan boneka yang terpajang di kotak kaca. Hanya saja sosok ini memiliki pori-pori, bernapas, kulitnya kenyal, dan memiliki suhu tubuh.

"Mau teh bunga?" pemuda itu menawarkan seraya mengulur cangkir keramik berisi teh herbal hangat pada Mew.

Mew mengernyit, menatap pemuda itu dengan sorot merajuk. "Aku tidak mau teh, Gulf. Aku bosan. Beri aku kopi, yaaaa...." ujar Mew mengiba.

Lelaki muda bernama Gulf itu berdecak. "Tidak. Aku tidak izinkan tuan minum kopi. Tuan kan sedang sakit. Bagaimana kalau sakit Tuan kambuh? Apa Tuan tega membiarkanku lari terbirit-birit kekota seberang hanya untuk menyusul dokter Peel."

Mew menghela napas pasrah. "Baiklah, asalkan aku boleh mencium bibirmu," serta merta Mew menarik pinggang Gulf, saling menempelkan tubuh, perlahan Mew mendekatkan wajahnya hingga terasa deruan napas hangat lelaki beruang itu di kulit Gulf. Di ciumnya bibir penuh Gulf olehnya sembari mengulas senyum tipis diantara kecupan manis.

Di tengah-tengah pergulatan bibir yang semakin panas itu, Mew mendadak melepaskan tautan, lantaran Gulf dengan isengnya menggigit bibir bawah Mew sampai ia meringis perih. Beruntung bibir lelaki beruang itu tidak terluka. Hanya terasa letak bekas gigitan Gulf yang tercetak membentuk lengkungan kecil.

"Tuan, di tanganku masih ada secangkir teh. Kau akan menjatuhkannya. Sekarang kau mau meminumnya atau tidak? Kalau kau tidak mau aku akan pergi ke dapur dan mengambil herbal lain yang lebih buruk untuk kau minum?" ucap Gulf sarkas seraya memasang senyum yang jahil.

"Tidak. Tidak perlu. Ini saja," kata Mew sambil merebut cangkir keramik itu dari tangan Gulf lalu meminumnya gelagapan.

***

Hari semakin gelap. Keduanya telah siap menyantap makan malam yang Gulf buat. Cream soup, roti, dan baked salmon with hollandaise sauce kesukaan Mew tersaji diatas meja. Dengan berbagai peralatan makan yang di tata sedemikian rupa menyesuaikan table manner.

"Apa yang tuan sukai?" tanya Gulf mula-mula.

Mew menghentikan sesaat kunyahannya pada roti yang di celupkan cream soup. Lalu menatap wajah menawan Gulf yang di sinari cahaya temaram dari lilin di meja makan. Dia terpesona lagi meski acap kali memperhatikan pemuda itu setiap waktu.

"Apa maksudmu?"

"Makanan. Apa yang tuan suka?"

"Bukannya kamu tahu?"

Gulf menyesap cokelat panasnya pelan-pelan sembari menatap lurus pada wajah tampan pria di depannya.

"Tuan selalu makan apa yang kubuat."

"Makanan yang kamu buat selalu enak. Apa yang harus aku protes?" Jawab Mew cepat sembari melanjutkan makannya yang belum selesai.

"Setidaknya aku ingin membuat makanan yang paling tuan favoritkan."

Still in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang