Aleeza Sahabatku

217 5 0
                                    

"Permisi, numpang lewat," kata seorang wanita yang menggandeng anak perempuan seusiaku melewati jalan depan rumah.

"Silakan, Bu! Mau ke gereja, Bu?" tanya Ibuku mengimbangi kesopanan wanita itu, dan wanita tersebut mengiyakan.

Kulihat anaknya menoleh ke arahku lalu tersenyum. Dengan ragu-ragu kubalas senyumannya.

"Siapa mereka, Ma?" tanyaku pada Ibuku ketika mereka telah berlalu.

"Namanya Bu Sarah, rumahnya di sebelah sana." Ibu menunjuk ke arah utara.

"Mereka mau ke gereja, ya?" aku bertanya karena mendengar pertanyaan ibu pada wanita tadi.

"Iya." Ibu menjawab singkat.

"Kalau gereja itu tempat orang kristen ibadah, 'kan, Ma?" aku tak bosan bertanya dan ibu mengiyakan.

"Kalau orang islam boleh nggak temenan sama orang kristen? Kayaknya anaknya tadi baik." tanyaku sambil memandang wajah ibuku.

"Tentu saja boleh. Selagi kita tidak saling mengganggu waktu ibadah masing-masing. Kita juga nggak boleh saling mengejek masalah agama," kata ibuku setelah berjongkok agar wajahnya sejajar dengan wajahku.

"Kamu tahu siapa paman Nabi Muhammad S.A.W?" tanya ibu dengan maksud mengetesku.

"Abu Thalib, Ma," jawabku pasti.

"Pintar. Selama hidupnya, Abu Thalib tak pernah masuk islam. Tapi beliau salah satu yang mendukung dakwah Nabi Muhammad S.A.W. Beliau tetap menyayangi keponakannya walau berbeda agama. Nabi Muhammad S.A.W juga tetap menghormati pamannya. Jadi, kita boleh kok berteman dengan siapa aja, dari suku mana aja dan dari agama apa saja. Asal, kita tetap menghormati teman kita itu," terang ibuku dan aku mengangguk.

"Tadi anaknya namanya siapa?"

"Mama nggak tahu. Kalau kamu pengen temenan, kamu bisa ajak kenalan pas dia pulang nanti." kata ibuku lalu pamit memasak.

***

Siangnya, aku melihat mereka dari kejauhan. Aku segera memanggil ibuku yang sedang menyetrika baju.

"Ma, Bu Sarah mau lewat. Ayo, Ma, kita ke sana!"

"'Kan, kamu yang mau kenalan," kata ibuku tetap dengan pekerjaannya.

"Temenin!" Aku setengah merengek.

"Temenin, ya, Ma!" pintaku lagi karena ibu tak memberi jawaban. Dilepasnya kabel setrika dan mengangguk. Aku berlari sambil menarik tangan ibu. Tak ingin terlewat.

"Kenapa lari-larian, Nak?" tanya Bu Sarah sambil memandangku. Aku hanya mampu menundukkan kepala. Malu. Tak tahu bicara apa.

"Ini, Nasywa mau kenalan dengan anak ibu." Akhirnya ibu yang mengatakan.

"Aku Nasywa," kataku sambil mengulurkan tangan kearah anak perempuan itu.

"Aleeza." Dia menyambut uluran tanganku dengan hangat lalu tersenyum.

"Kita main boneka, yuk!" ajakku tanpa melepas tangannya. Dia memandang ibunya meminta persetujuan.

"Kalau mau main boleh kok. Tapi, ibu harus pulang dulu. Nanti sore ibu jemput," kata ibunya. Ia menarik tangan ibunya supaya sedikit membungkuk, lalu dibisikkan beberapa kata. Aku tak mendengarnya.

"Ibu, 'kan harus kerja. Nanti ibu jemput," ucap ibunya dan dia menggeleng.

"Atau nanti tante sama Nasywa antar kamu pulang," tawar ibuku.

"Pulang," katanya menyusul gelengan.

"Nggak mau main dulu?" tanya Bu Sarah memastikan. Aleeza hanya menggeleng.

Kumpulan Cerita AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang