SasufemNaru story
Dua pria tampak tengah mengobrol serius di kediaman Namikaze. Pria yang lebih muda dikelilingi aura keputusasaan, sedangkan yang satunya masih setia dengan kewibawaannya.
Namikaze Minato, pria dengan wibawa dan sangat dihormati adalah sosok kepala desa di Konoha. Orang-orang nyaman dan percaya dengan sang kepala desa. tak jarang mereka akan datang untuk sekedar meminta saran atau mencurahkan kegundahan hati yang mereka alami.
Seperti saat ini, beliau tengah menghadapi keluhan seorang pemuda sebelah rumahnya mengenai kehidupan pribadi sang pemuda. Tidak hanya sekali, pemuda bermanik kelam tersebut sering kali mendatangi sang kepala desa karena penyesalan diri.
"Itu putrimu kenapa dibawa kesini?" Tanya sang kepala desa berharap sebuah jawaban memuaskan.
"Saya ingin bila malam hari dia bersamaku. Lalu siangnya saya akan kasih kepada ibunya. Saya ingin memeluknya kala tidur. Saya rindu..." Jelas Sasuke, pemuda dihadapan Minato yang mengendong balita di tangan kekarnya. Sasuke menatap lembut buntalan daging yang bergelung nyaman di dekapannya.
"Dengar kata paman. Itu putrimu masih sangat kecil. Dia bahkan belum ada 2 tahun. Bukan tak mungkin nanti tengah malam ia terbangun dan mencari susu. Kau akan memberi putrimu apa?!" Minato nampak tak senang dengan penjelasan Sasuke. "Tidak semudah yang kau pikirkan dalan mengasuh anak kecil. Kalo boleh paman kasih saran, kembalikan putrimu pada ibunya." Minato coba memberi pengertian, namun ia menangkap kebimbangan dan ketidakrelaan di wajah pemuda tampan tersebut.
"Jika sewaktu-waktu dia menangis mencari susu, Ibunya ada disana. Ibunya tau apa yang harus diberikan. Sedangkan kau tidak punya itu, Sasuke" Lanjut Minato masih berusaha memberi pengertian.
Minato cukup miris dengan kehidupan pemuda dihadapannya. Ini kedua kalinya pemuda itu ditinggal sang istri. Biduk rumah tangga yang harusnya penuh kebahagiaan, malah menjatuhkan. Tapi apa mau dikata, ia harus dengan ikhlas menerima konsekuensi dari apa yang diperbuatnya. Kontrol emosi yang buruk mebuatnya meledak-ledak hingga tangan dan umpatan bermain dalam rumah tangganya. Wanita sebagai makhluk lembut dan rapuh tentunya tak tahan dengan tekanan dan kekerasan yang ia dapatkan. Tak ada pilihan selain perpisahan. Lalu, hanya sesal yang pemuda ini rasakan.
"Paman paham rasa sayangmu terhadap,- siapa? Sarada?" Sasuke mengangguk singkat sebagai balasan. "Sarada putrimu. Paman paham kau sesayang ini padanya, tapi..." Minato berhenti sejenak. Nampak memikirkan kalimat agar tidak melukai hati Sasuke. Karena dalam keadaan seperti ini, salah sedikit bikin tambah runyam. Minato cukup memahami situasi seperti ini.
"Bukan maksut paman, tapi mengingat emosimu yang meledak-ledak ditambah Sarada yang nantinya rewel atau sebagainya,-" Minato menghela nafas. "Bagus kalo kau bisa mengatasinya. Yang paman takutkan adalah tanganmu yang kembali bermain. Jelas itu yang paling paman takutkan. Ledakan emosimu besar dan ringannya tanganmu bukan tak mungkin bisa melukai apa yang ingin kau jaga."
Sasuke tersenyum miris menyadari sesuatu. Dia sadar dua kelemahannya tersebut. Karena alasan itu juga rumah tangganya hanya bersisa penyesalan darinya. Mulut pedasnya yang berkoar ini-itu mengeluhkan sang istri, dan tangan yang dengan mudahnya mampir di fisik mantan-mantan istrinya. Pantaslah jika istrinya memilih pergi karena tak kuat dengan segala perilaku kasarnya. Kini, keinginannya tak banyak, hanya tetap bisa bersama putrinya.
"Perbaiki dirimu. Tata ulang dirimu menjadi lebih baik. Daur ulanglah dirimu. Paman percaya, wanita manapun pasti akan luluh melihat kesungguhan niat baik seorang pria. Dan lagi, ada putri kalian yang masih mengikat kalian berdua. Kalo iya usahamu tidak membuatnya kembali, masih ada putrimu mejadi tanggunganmu. Lebih baiklah demi putrimu." Minato dengan wibawanya tampak begitu mengayomi. Tak ada alasan seseorang untuk tak menghormatinya. Tak terkecuali si bebal Sasuke.
"Yang ingin paman katakan disini, ada atau tidak adanya alasan, jika kau ingin berhasil dikehidupan ini. Berubahlah lebih baik. Tinggalkan itu pergaulan yang merusakmu. Tinggalkan semua sesuatu yang membuatmu rusak. Semua belum terlambat untuk diperbaiki. Ingat... Putrimu hanya mendapat malu dengan dirimu yang masih seperti ini!" Minato berkata dengan tegasnya.
Sasuke tergugu. Air mata perlahan membasahi pipi pucatnya. Sasuke merasa jijik dengan dirinya. Ia merasa tak pantas untuk berjuang bagi siapapun.
Mengingat betapa berandal dirinya, ia merasa muak. Bergabung dalam genk dan merusak diri dengan rokok, alkohol dan berkelahi sana-sini. Merusak orang lain dengan menyetubuhi. Ia benar-benar bajingan tak termaafkan.
Kehidupan remaja Sasuke jauh dari kata sehat. Berpesta di bar dengan beberapa gadis nakal bahkan hingga tahap sex bebas. Disana juga ia bertemu istri keduanya, sebuah pesta di bar. Saat itu keduany hanya ingin memenuhi nafsu, dan terjadilah hal tak seharusnya.
Beberapa bulan kemudian, wanita yang Sasuke tiduri mengaku hamil anaknya. Tanggung jawab itu ada, dan Sasuke memenuhi dengan menikahi sang wanita. Semua berjalan sebagaimana rumah tangga pada umumnya. Cek-cok sedikit itu hal biasa.
Hingga 10 hari kemaren kejadian itu tiba. Sang wanita yang tak sanggup lagi menerima kekerasan diam-diam pulang ke rumah orang tuanya. Sasuke kalang kabut karena tindakan wanitanya. Berniat meminta kembali, malah pukulan dan cacian ia terima dari ayah mertua. Sasuke cukup kecewa karena sang istri tak lagi peduli padanya. Setelahnya, ia sadar semua itu pantas diterima olehnya.
"Sejujurnya paman, surat cerai telah diproses hari ini" Bisik Sasuke. Minato cukup kaget dengan kabar ini. Sudah tak ada harapan lagi bagi pemuda tampan Dihadapanny ini.
Pagi tadi, surat cerai datang padanya. Membuatnya tak tau apa yang seharusnya ia perbuat selain menyetujui keinginan sang istri. Sasuke tak merengek lagi untuk memintanya kembali. Istrinya berhak mendapat yang lebih baik dari orang brengsek sepertinya. Satu-satunya kekuatan yang ia punya sekarang hanya buah hatinya.
'Tapi...pantaskah ia menjadi seorang ayah?!' Batin Sasuke sendu.
"Seperti yang paman katakan, kalo tak bisa membuat ibunya kembali, kau masih punya Sarada sebagai tanggunganmu. Berubahlah demi Sarada. Maka ia akan bangg memiliki ayah hebat sepertimu. Berubahlah demi dirimu dan hidupmu." Minato menepuk pundak Sasuke pelan memberi kekuatan.
"Paman...saya ingin Sarada bersamaku."
"Mengurus anak tak semudah kamu menebar sperma ke mana-mana, Sasuke. Menenagkan bayi menangis tak segampang menenagkan 'adikmu' yang minta dimanja. Memeberi makan bayi tak semudah memasukkan 'adikmu' dalam lubang. Tangisnya memang tak sekencang kala kalian membuatnya, tapi terdengar tak sedap dibanding erangan kalian-"
"Intinya, mengurus anak tak semuah kalian membuatnya. Kembalikan Sarada pada ibunya, Sasuke" Potong Kushina kala mendengar kalimat sang suami yang mulai tidak sedap di indra pendengarnya. Ia dari tadi mendengar pembicaraan mereka dari ruang sebrang.
"Kau belum bisa merawat anak kecil, Sasuke" Tambah sang Nyonya Namikaze. Mengingat tadi sore ia melihat Sasuke yang kewalahan menenangkan sang buah bati, membuatnya sadar Sasuke belum mampu merawat anak kecil.
Sasuke tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia menyadari tanggung jawabnya.
...TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
RECYCLE
Non-FictionSasuke pria duda dengan banyak kesalahan di masa mudanya. Kedua istrinya meninggalkan Sasuke dalam tangis penyesalan.