#17 - Cemburu

20 2 1
                                    

Adegan Arlette menjauhi Arcana hanya bertahan tiga hari. Selama tiga hari itu dia menghindari berinteraksi langsung dengan sang putra sulung Maheswara. Namun selama hari itu juga, Arc terus-terusan berusaha berbaikan dengannya. Perhatiannya benar-benar dia curahkan untuk Arlette, hingga sampai di titik berlebihan.

Lama-lama gadis itu tak kuat juga kalau harus terus-terusan perang dingin dengan sang kakak. Ini saja sudah rekor, biasanya kalau marahan, paling banter cuma setengah hari.

Di hari ketiga, Arcana menyambangi kamar Arlette sebelum adiknya itu mematikan lampu.

" Ya? "

" Dek. Aku mau ngomong. "

Arlette yang tak mengira bahwa Arcana lah yang mengetuk pintu kamarnya, membukanya tanpa curiga. Air mukanya langsung keruh saat tahu siapa yang ada di balik pintu.

" Ka-kakak... "

Dia langsung menutup pintu kembali. Namun belum sempat pintu tertutup, gerakannya terhenti di tengah-tengah. Tangan kanan Arc menahan pintu dengan kuat. " Dek, please, kasih aku kesempatan. Tanyakan semuanya, aku akan jawab jujur pertanyaan kamu. "

Bukan karakter Arlette untuk tak melihat cerita dari sisi lain, dan menurutnya tindakannya marah secara sepihak tanpa tahu keseluruhan cerita dari berbagai sudut pandang, adalah hal yang tidak benar. Dan karena hal itulah, dia mengesampingkan egonya, menyabar-nyabarkan hatinya, lantas mempersilakan si sulung masuk dan duduk di bangku di balkon kamarnya.

" Dek, aku tau kamu marah. Aku tau pasti aku bikin salah sama kamu. " pemuda lemah lembut itu membuka percakapan. " Untuk itu, aku minta maaf."

Arlette masih belum memberikan reaksi. Arc meneruskan,

" Tapi, sebenernya salahku apa? Aku bingung banget, sumpah deh. Kita masih oke-oke aja, masih ketawa-ketawa, terus tau-tau paginya kamu marah. Salahku di mana? "

Air mata Arlette menggenang. Emosinya yang menumpuk, kini tumpah ruah dan membuatnya tak bisa mengendalikannya lagi. Suaranya bergetar, " Kak Arc beneran nggak tau? "

" Aku bukan legilimens, bukan Severus Snape apalagi Tom Riddle. Kalau kamu nggak ngomong gimana aku bisa ngerti? " sahut Arc agak frustasi. " Aku bingung banget, aku curhat ke temen tapi nggak ada yang kasih solusi. Aku harus gimana? "

" Kakak kira aku seneng kayak gini? Jauhin Kakak, cuekin Kakak, Kakak kira di sini (dia menunjuk tulang dadanya) enggak sesek? Enggak sakit? Kakak tuh-- "

Sekarang, air mata yang tadi tertahan, jatuh di pipi gadis cantik itu satu demi satu. Bibir dan suaranya bergetar semakin hebat, dan terdengar sedu sedan di sela kata-katanya.

Wajah Arcana pias. Belum pernah dia lihat Arlette begitu kesakitan seperti sekarang. Bahkan dalam pertengkarannya yang paling besar dengan Biru. Dan air mata yang menganak sungai itu sungguh menohok dadanya.

Dia peluk gadis itu erat-erat.

" Jangan nangis lagi, please, aku nggak kuat lihat kamu nangis gini. " bisiknya dengan nada terluka. " Aku minta maaf, apa pun salah yang aku buat. Okay? But please, kasih tau aku salahku di mana, biar nggak keulang lagi. "

" Biar apa? Toh Kakak ada Mita! Perhatian dari dia masih kurang?! "

" Mita? " Arc sekarang menaikkan alisnya, " Lha? Apa kaitannya sama Mita? Perhatian apaan, ngelantur kamu Dek. Seminggu sekali aja belum mesti ketemu, belum mesti sekelas juga. Lagian nggak ada sangkut pautnya sama masalah kita 'kan? "

" Jadi Kakak pikir nggak ada sangkut pautnya? Kakak beneran--udahlah. "

Mendadak, Arcana menyadari sesuatu. Dia teringat, beberapa hari kemarin dia dan Mita memang terbilang sering berkomunikasi. Dan dalam ingatannya yang agak samar, ada Arlette di dekatnya tiap dia bertukar pesan maupun menelepon teman kuliahnya itu.

Let's Getting Old Together Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang