#19 - Fakta Yang Menyakitkan

26 2 4
                                    

Arlette gemetar seluruh badannya. Gadis itu menggelesot. Tenaganya hilang. Pikirannya melayang ke mana-mana, menghubungkan temuannya hari ini dengan banyak kejadian yang telah berlalu.

Dan semua itu mengarah pada satu kesimpulan: dia, Arlette Maheswara, adalah anak angkat di keluarga ini.

Aku... Bukan seorang... Maheswara...

Oksigen seolah lenyap, hampir saja dia pingsan. Dan tanpa bisa dia cegah, air matanya jatuh.

Lelucon macam apa ini? Sungguh tidak lucu.

-

Seharian Arlette hanya berdiam di kamarnya. Dia juga diam-diam membawa amplop cokelat berisi berkas adopsi bersamanya, berniat mempelajarinya baik-baik. Bagaimanapun, dia ingin tahu lebih detail sebelum nantinya dia harus mengonfrontasi ayah dan ibunya soal ini.

Memang dia sengaja tak memberitahu apapun pada orang tuanya--atau lebih tepatnya, orang tua angkatnya. Tadi pagi dia hanya memberikan map merah yang diminta Papa tanpa mengatakan apa yang telah ia temukan.

Padahal sebenarnya dia menyembunyikan amplop cokelat besar itu di balik baju, yang kebetulan saja hari itu cukup longgar. Orang tak akan curiga meskipun dia memasukkan tugu Jogja di situ.

Oh entahlah, pikirannya memang sedang selenco.

Gadis itu mengunci kamarnya hati-hati.

Dia mencermati data-data yang tertulis di situ. Banyak yang tak terlalu dia pahami, namun garis besarnya dia bisa menangkapnya. Dia diserahkan pada pihak panti asuhan ketika usianya kira-kira baru satu bulan, tepat pada tanggal 7 Januari enam belas tahun yang lalu.

Itu hari ulang tahunku!, dia berteriak dalam hati.

Enam bulan kemudian, pasangan Maheswara datang, dan mengambilnya sebagai anak angkat.

Begitukah?

Jadi, bahkan dia tak tahu kapan ulang tahunnya yang sesungguhnya.

Dia tertawa miris.

Waktu terus berjalan sementara dia membaca, diselingi dengan makan dan kegiatan rumahannya yang lain. Hingga akhirnya malam tiba, dan semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan untuk makan malam bersama.

Arlette gugup, ujung jari-jarinya dingin. Dia bahkan tak bisa mengunyah makanannya dengan benar. Beberapa kali dia tersedak.

" Duh Dek, pelan-pelan aja makannya. " tegur Arcana. Kakak sulungnya--oh tidak, bukan--maksudnya kakak angkatnya itu menepuk-nepuk punggungnya dengan sangat perhatian.

Gadis itu agak kaget. Dia sebegitu tak fokusnya hingga tak sadar bahwa mereka duduk bersebelahan?

Namun untunglah makanannya tinggal sedikit. Maka dia cepat-cepat menghabiskan makannya, dan menyiapkan mentalnya untuk membahas dokumen yang pagi tadi ia temukan.

" Papa, Arlette mau nanya sesuatu. " akhirnya dia berujar pelan.

" Tanya apa Sayang? "

Perlahan, Arlette mengangkat amplop cokelat besar dari bawah meja.

" Papa, ini apa? "

Kedua orang tuanya kehilangan suara. Wajah Mama sudah ungu, sementara Papa terbata-bata balik bertanya," Ka-kamu dapat itu--dari mana--kok bisa--kok bisa ada di kamu? "

Keempat putra Maheswara menatap amplop itu penasaran. Mereka membaca tulisan di amplop itu lamat-lamat.

Seketika, rahang Biru jatuh, matanya membelalak. Devo juga sama. Nawas sudah terjungkal dari kursi. Dan Arc, yang duduknya paling dekat dengan Arlette, bahkan sampai menjatuhkan sendok dan garpunya saking kagetnya. Mereka bahkan sampai tak bisa bereaksi, juga mengabaikan Mama yang kelihatannya sebentar lagi kehilangan kesadaran.

" Gimana bisa di aku, itu nggak penting Pa. " sergah Arlette.  " Bayi perempuan? Setauku, anak perempuan Papa Mama cuma aku. Jadi... Apa ini? Apa maksudnya dokumen-dokumen ini? "

Kedua orang tuanya masih belum menjawab.

" Pa, Ma, kami berempat... " sela Nawas. " Kami juga, butuh penjelasan.  "

" Ini... Nggak mungkin, 'kan Pa?  " Biru ikut bersuara. Sorot matanya menandakan dia sangat terguncang, bahkan sepertinya dia hampir menangis.  " Arlette tuh saudari kami. Adiknya Biru yang paling Biru sayang, Papa Mama tau itu, iya' kan? Jadi ini nggak mungkin bener 'kan?  "

Devo tak mengatakan apa pun. Dia terlampau shock.

" Papa... " panggil Arcana pelan.

" Aku cuma mau tau kebenarannya Pa.  " sambung Arlette.

" Anak-anak, maaf. Maafkan kami.  " pinta Papa.  " Dokumen itu asli. Dugaan kamu, itu juga bener, Arlette, kesayangan Papa. "

" Tapi gimana--"

" Arlette, Nak, tolong, bisa kasih kami waktu? Satu hari aja. Besok malam Papa Mama ceritain semua, oke? " ujar Papa. " Kami juga butuh nyiapin hati. "

Tak ada yang bisa Arlette lakukan selain menyetujui permintaan ayahnya.

Mereka pun bubar ke kamar masing-masing. Papa Mama di lantai bawah, sementara kelima anak-anak Maheswara di lantai atas.

Arlette menaiki tangga dengan tenaga yang hampir habis. Begitu sampai di atas, keempat saudaranya memeluknya beramai-ramai.

Dia sampai kaget.

" Kami tau ini hari yang berat, Dek. " ujar Arc perlahan.  " Bahkan bagi kami ini juga berat banget. "

" Aku bahkan nggak yakin ini nyata. Rasanya mustahil. " sambung Biru lemah.

Arlette tercengang. Dia tersentuh dengan sikap saudara-saudaranya. Hatinya yang sejak pagi tadi bergemuruh gelisah sekarang jadi lebih tenang.

" Gimana pun faktanya, yang jelas Kak Arlette tetep princess di keluarga kita. Satu-satunya saudara cewek kami. " Nawas menambahi.

" Kita sayang banget sama Kakak, Kakak nggak boleh lupa ya. " ujar Devo.

Arlette tersenyum. Dia mengusap sudut matanya yang sudah basah.

" Makasih banyak, semuanya. Arlette juga sayang kalian.  "

---

Hari berikutnya, keluarga Maheswara berkumpul di ruang keluarga selepas makan malam. Sofa double diisi oleh Papa dan Mama, sofa double lainnya diduduki Arcana dan Arlette. Biru dan si kembar duduk di sofa triple, sofa paling besar di ruangan itu.

Rumah dua lantai yang cukup megah itu terasa hening. Tak satu pun di antara tujuh orang di dalamnya yang bersuara. Anak-anak menunggu orang tua mereka bicara, sementara yang ditunggu masih kesulitan menemukan kalimat yang tepat untuk diutarakan. 

Amplop cokelat yang berisi dokumen pengadopsian bayi sudah ada di atas meja. Beberapa kali anak-anak melirik amplop itu, seolah-olah benda tersebut bakal bersuara dan memberitahu mereka isi di dalamnya. Kalian tahu lah, seperti howler yang pernah marah-marah pada Ronald Weasley pada tahun keduanya di Hogwarts.

" Papa, Mama... Kami nunggu, cerita yang sebenernya terjadi. " suara lembut Arc memecah sunyi.

Ayah mereka menghela napas, kemudian memulai ceritanya.

" Enam belas tahun yang lalu... "

--TBC--

Let's Getting Old Together Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang