"Hai," sapa Narel tersenyum pada sosok cowok di layar hp. Sesuai janji Narel tadi selesai membersihkan badan ada notif telepon masuk dari Pram.
"Cantiknya," puji Pram membalas sapaan Narel. Narel hanya tersenyum tersipu malu.
"Terimakasih," ucapnya setelah berhasil mengontrol salting. Pram memperhatikan setiap gerak gerik Narel dalam bungkamnya. Bulan sabit terbit di bibir cowok tersebut saat Narel memergoki dirinya.
"Kenapa ih aku malu." Narel menutup mukanya menggunakan kedua telapak tangan. Pram yang melihatnya sangat gemas ingin rasanya menyubit hidung pesek Narel.
"Buka dong tangannya aku pingin lihat muka si cantik," goda Pram membikin Narel tambah salting.
"Aku matiin aja ya ih aku malu." Masih dengan posisi sama Narel berbicara sambil menghentakan kakinya.
"Jangan dong tapi itu tangannya dibuka dulu," pinta Pram yang langsung dituruti oleh Narel. Terlihat sangat jelas pipi merona Narel membikin Pram semakin tertawa gemas.
"Mau ikut aku mantau bunga aku ngga?" ajak Narel sangat excited berharap ajakannya diterima.
"Apapun yang kamu lakuin aku pingin lihat." Mendengar itu Narel memicingkan matanya menatap intimidasi sosok yang rupanya sudah salah berucap.
"Kecuali mandi dan hal privasi kamu," tawa Pram terdengar menyadari ada yang salah dari ucapannya. Mendengar tawa itu Narel jadi ikut tertawa. Tanpa menunggu lama Narel langsung beranjak keluar rumah untuk menghampiri tanaman hias miliknya. Memutar kamera semula menunjukan wajah dia menjadi menunjukan tanaman tanaman tersusun rapi di depan sana.
Narel mendekat pada salah satu kaktus paling dia suka. "Cantik kan aku sayang banget sama dia sampai sampai aku kasih nama dia lho."
"Cantik tapi masih cantikan kamu, siapa namanya?" tanya Pram santai.
"Apasih." Narel terkekeh mendengar gombalan Pram yang sangat basi tapi sial dia menyukai.
"Loh beneran coba kameranya dibalik terus kamu pegang kaktusnya." Narel langsung memutar kameranya dan mengambil kaktus tersebut.
Diluar dugaan Pram menjatuhkan badannya di kasur berusaha mengambil oksigen banyak banyak seperti orang terkena penyakit asma. Tentu saja Narel langsung khawatir takut terjadi hal tidak diinginkan. Narel berusaha menanyakan keadaan Pram apakah baik baik saja tetapi tidak ada balasan. Membikin Narel tambah khawatir.
"Pram jawab jangan bikin khawatir ini udah malam aku ngga boleh keluar asrama." Terdengar sangat jelas suara Narel sedikit gemeter ketakutan.
"Tolong aku ngga kuat karna kecantikan mereka," jawab Pram terbata bata diakhiri dengan tawa. Melihat itu membikin Narel ngomel ngomel sendiri.
"Jangan kaya gitu lagi Pram aku ngga suka," ucap Narel serius. Pram jadi tidak tega.
"Maaf, iya besok ngga lagi kok," sesal Pram meminta maaf. Narel hanya tersenyum lalu mengembalikan kaktus di tempat semula.
"Tolol prik banget!" Entah kapan datangnya tiba tiba Xena sudah berada di belakang Narel dengan bersidekap dada. Tentunya mengetahui semua perbuatan mereka di luar rumah. Menatap Pram di layar sedikit tidak suka. Dia berusaha menyembunyikan dari Narel untuk menghargai perasaan cewek itu.
Narel mendengar ada yang mengatai dirinya membalikan badan untuk melihat siapa pelaku. Narel hanya tersenyum menatap Xena. Setelahnya meminta Pram untuk mengakhiri sambungan karna dirasa waktunya sudah cukup. Ada kegiatan lain jauh lebih penting. Bagaimanapun hidup Narel tidak hanya tentang Pram.
"Kenapa Uti ku sayang," tanya Narel setelah sambungan telepon dengan Pram terputus.
"Lihat sekarang jam berapa jangan terus lupa kegiatan gara gara cowok," ucap Xena menohok. Narel mengangkat pergelangan tangan kiri untuk melihat dimana jarum jam berada sekarang. Angka 7 dan 6 menjadi pilihan jarum jam untuk singgah. Menandakan sekarang pukul setengah 8.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Bersuara
Fiksi RemajaOh jadi gini rasanya jadi taruni. Banyak orang berlomba lomba ingin mendapatkan gelar taruna dan taruni. Dan aku menjadi salah satu orang yang berkesempatan mendapatkan gelar tersebut. Bersyukur karna terpaksa. Mungkin itu menggambarkan kami semua...