Room 2

275 44 7
                                    

Lavin membuka lebar-lebar matanya. Bahkan lubang hidungnya ikut melebar. Dia melirik pemuda pucat yang tadi dia gendong dengan kilatan tajam.

"Kau! Sungguh kau tinggal disini?! Sejak kapan hah?!" Lavin menunjuk-nunjuk muka angkuh Calum yang menatapnya santai.

"Sejak seminggu yang lalu," Calum melengang santai. Kakinya yang tadi katanya keseleo sepertinya mendadak sembuh. Tch. Lavin berdecih keras-keras agar Calum mendengar ungkapan kebencianya.

"Nomor berapa?" Lavin mengejar Calum yang mendekat kearah bangunan yang hampir seperti rumah tetapi didalamnya terdapat ruangan-ruangan yang dijadikan rumah sewaan. Disekeliling rumah itu ditanami beberapa tanaman hias dan semak yang sengaja di bentuk apik oleh tuan bangunan.

"202," Calum menoleh pada Lavin. Calum menatap perubahan raut muka yang macam-macam disana.

"Kenapa kau yang jadi tetanggaku, bedebah?!" Lavin berteriak frustasi. Selamat menderita Lavin Kenneth, pemuda bar-bar dan sahabat sehidup semati dari Jay Hamson.

🚪🚪🚪

Sepertinya Calum memanfaatkan keadaanya dengan begitu baik. Memang benar tentang julukan Yang Mulia Calum. Bahkan kelakuannya di flat tidak ada bedanya dengan di sekolah. Sama-sama menyebalkan. Sama-sama mesum dan sama-sama membuat Lavin ketiban sial.

Kini, Lavin dengan vacum cleaner berwarna hitam berjalan kesana-kemari dengan mesin yang berdengung memenuhi flat sederhana ini. Suara dari mesin yang cukup berisik ini bahkan tidak mengalihkan fokus Calum dari komiknya.

Pemuda pucat itu duduk di atas kasur lantai yang tebal dengan santai. Bahkan tak jarang dia mengeluarkan cekikikan geli yang kadang membuat Lavin ngeri. Lavin membungkuk agar mulut vacum dapat menjangkau bagian bawah meja rendah yang berisi tumpukan kardus yang belum dibongkar.

Srrrrrtttttstttt

Mulut vacum mengeluarkan suara berisik. Lavin menarik moncongnya dan mendapati mulut vacum menyedot bendelan kertas. Lavin segera menariknya dan membuang asal bendelan kertas itu.

"Tch!"

Lavin mematikan vacum karena dirasa sudah bersih secara garis besar. Ia tak akan menyengsarakan diri dengan membuat pekerjaanya bertambah. Gagang vacum cleaner hitam itu ia banting kesal dan mulai beranjak kedekat kardus-kardus yang menumpuk asal dan beberapa baju beececeran.

"Kenapa nasib ku seperti ini ya tuhan-" desahnya dengan penuh rasa beban di hati. Lavin memunguti beberapa baju dan mulai melipatnya. Benda terakhir itu- ah menjijikan. Dia melempar celana dalam milik Calum-- benda terakhir dari baju yang berceceran dan Lavin sempat memegangnya-- Sial. Tanganya ternoda begitu banyak.

Calum terkaget karena dalaman miliknya mendarat tepat dimukanya. Ia mengambil dalaman hitam itu dan melipatnya santai. "Kau menikmati melihat dalamanku, huh?"

"Bedebah mesum! Bukan itu sialan! Benda itu mengapa kau biarkan tercecer dimana-mana?!"

"Terserah aku dong. Ini kan flat ku. Maaf saja," Lavin menghembuskan napas dalam-dalam. Mencoba lebih sabar dengan segala tingkah semena-mena Calum.

"Makanannya mana?- Uhh, kaki ku sakit. Aku ingin makan," Calum meringis sambil memegang pelan kakinya yang dibebat perban.

"Kau tidak lihat aku membersihkan kandangmu?!" Bentak Lavin dengan wajah yang sudah memerah emosi. Sayangnya, balasan Calum hanyalah sunggingan senyum idiot dan menyebalkan. Mata Calum menyipit karena dia sedang tersenyum konyol. Aish- kenapa saat dia menjadi idiot seperti itu, begitu tampan.

"Aku anggap muka sialanmu itu memaksaku memasak, idiot!"

Demi melayani junjungan-nya, Lavin akan mengiklaskan beberapa bahan masakan yang ada di kulkas miliknya. Dikarenakan betapa minimnya Calum menyediakan bahan makanan yang layak.

Temporary [BANGINHO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang