Room 3

204 39 2
                                    


"Hahhhhh-"

Lavin menghembuskan napas sekeras-kerasnya. Dia masih terus bermuram dengan badan yang disandarkan di tembok sampingnya. Ia bahkan tidak memperdulikan keadaan kelas yang heran karena lenguhan berat yang lepas dari bibir Lavin.

"Kenneth? Apakah pelajaranku terlalu membosankan untuk mu?" Lavin tersentak dan dengan cepat menoleh kearah pria tua pengajar sejarah. Pria paruh baya yang rambutnya masih hitam dengan beberapa helai putih dan kulit kusut khas orang tua miliknya memandang penuh sanksi pada Lavin.

Lavin menggeleng ribut dan melambaikan tanganya untuk mempertegas bahwa itu bukan apa-apa. Ia berdiri untuk membungkukan badan. "Bukan apa-apa Sensei."

Kelas kembali normal setelah Lavin kembali duduk di kersinya dengan tenang. Dengan pria keriput itu mendongeng lembut di depan sana dan Lavin dengan lamunanya. Jay memandang heran sahabat karib-nya itu.

"Sstt. Lav-" desisan pelan itu melirih ditelinga Lavin. Lavin menoleh kebelakang dan mendapati Jay yang badanya sudah condong kedepan mendekat kearahnya. "Ada apa denganmu?"

Seperti biasa, Jay Hamson teman terbaik yang dimiliki Lavin selalu peka dengan tingkah Lavin. Jay, salah satu alasan mengapa setahun terakhir Lavin tinggal sendiri. Ia tidak ingin meninggalkan Jay di Jepang. Walaupun orang tuanya sudah membujuk Lavin agar ikut ke Beijing, kenyataanya Lavin se-setia itu pada Jay Hamson.

"Bukan hal yang penting," Lavin ikut mendesis membalas Jay. Kemudian keduanya tak ada percakapan lebih lanjut. Jay memilih memandang fokus pria keriput dan Lavin lebih memilih menopang dagu dan mencoret-coret asal buku halaman belakang miliknya. Mata kucingnya bergerak tak fokus.

Lavin tak sengaja mendapati kelas sebelah yang sedang olah raga di lapangan futsal. Lavin yang kebetulan duduk di samping jendela dapat melihat jelas apa yang ada di bawah. Ia mendesis geram saat melihat pemuda pucat itu bermain futsal dengan lihai.

"Bukan kah kakinya sakit? Kenapa bisa bermain seperti itu?" Lavin bergumam dengan bonus spesial umpatan lirih pada Calum. Seragam olah raga Calum yang sudah basah karena keringat sepertinya tidak akan membuat Lavin lumer atau mendadak jatuh cinta padanya. "Bedebah! Dia menipuku, sialan!"

Oh- Lavin kelepasan lagi. Pria  keriput itu kembali teralihkan fokusnya pada pemuda kucing yang baru saja mengumpat keras. Pria keriput itu sampai di samping Lavin. "Siapa yang menipumu Kenneth?"

Lavin hanya bisa meringis perih. Aish. Untung saja dia mengumpat pada jam pelajaran pria ini. Jika tidak maka ia akan berakhir berdiri di lorong atau membersihkan gudang olahraga.

Oh. Lavin tidak akan mau menyengsarakan diri, Fergusso.

Waktu sekolah beranjak sedikit lambat menurut Lavin. Ia ingin cepat-cepat pulang. Tetapi nyatanya walaupun pulang mungkin dia akan semakin darah tinggi. Saat istirahat makan siang, Lavin mau tak mau mendapat ejekan dari Jay.

"Bekal macam apa itu hah?" Tentu saja. Hanya nasi dan acar timun utuh di dalam kotak bekal hitam miliknya. Lavin itu dikenal pintar masak oleh teman sekelasnya. Dan dia menjadi manusia kurang waktu karena manusia pucat menyebalkan.
"Tidak seperti Lavin Kenneth yang pintar masak. Ada apa huh?"

Lavin hanya mengendikan bahu ringan. Sangat amat malas membahas kronologi kemarin malam yang begitu damai dan tentram. Lavin mengulas senyum lirih dan memilih meminum yogurt yang ia bawa dari flat.

"Aku terlaku sibuk tadi malam," Lavin meringis. Ia memilih pembohongan dengan kata umum yang leboh universal dari pada menjawab dengan kalimat ambigu. Lavin tidak akan membuka fakta jika Calum menumpang di flatnya. Jay itu suka sekali dengan Calum. Dan Lavin tidak sejahat itu untuk membuka fakta itu terang-terangan pada Jay.

Temporary [BANGINHO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang