||06||

4.3K 976 219
                                    

Rasa iba hati membuat Seon luluh. Ia berjongkok merendahkahkan tubuh. Kesendiriannya terobati akan kehadiran kucing hitam manis, membelai-belai tubuhnya di kaki jenjang Seon sangat manja.

"Cing, lo jomblo, ya?"

"Cing, gue nanya, dijawab, kek!"

"Wah! Kucing bisu!"

Seon kesal tak dihiraukan. Ia elus-elus puncak kepala si kucing. Garis kulit muncul di antara alisnya. Seon baru menyadari ada luka lebar di sekitaran perut kucing. Bulunya rontok sebagian, menampilkan jelas kulitnya yang sedikit mengelupas. Memerah terang hampir mengeluarkan darah dan nanah. Masih baru.

"Wah! Pasti gara-gara ngerebutin ciwi-ciwi lo gelud sampai luka begini. Nggak ada akhlak, napsuan banget jadi kucing!!" Seon mengomel-ngomel. Menuturkan nasehat ala pak guru yang tentunya tak akan dimengerti oleh si kucing.

Pria berkemeja menampakkan diri bersamaan dengan bunyi, "ceklek." Seon buru-buru berdiri menghadap, mengajukan pertanyaan yang sudah mengitrai lama di otak.

"Gimana, Dok, keadaan temen saya?" Seon tampak risau. Peluh membanjiri keningnya.

Dokter itu melepas kacamata, mengulas senyum mengawali ucapan. "Baik-baik saja. Dia tertidur pulas. Obatnya habis, dia lupa minum."

Bersyukur Seon, ia mampu bernapas lega sekarang. Tapi sekejap, Seon dibuat tak paham akan kalimat lanjutan dokter pribadi temannya itu.

"Hanya saja kumatnya kali ini lebih parah dari sesudah-sudahnya. Saya saranin untuk lebih perhatian mengingatkan dia minum obat."

Sebagai jawaban, Seon mengangguk patuh. Digigitnya bibir bawah ragu.

"Dok, apa teman saya bisa sembuh?"

Sangat sulit bagi dokter itu menjawab. Sejenak terdiam. "Untuk saat ini belum pasti. Ini langka dan jarang terjadi pada siapapun."

"Begitu, ya." Murung, Seon membuang napas gusar.

"Dia kuat. Saya kasih kepercayaan. Jaga dia baik-baik, saya titip dia ke kamu. Permisi." Menepuk pundak Seon, Dokter itu berlalu setelah Seon mengucap terima kasih.

Keberadaan dokter muda itu lenyap dalam persimpangan lorong. Mula-mula mendung sinar wajahnya, sesat ekspresinya berubah. Mata Seon berputar malas, berdecak jengkel. Dia besandar pada bibir pintu, bersedakep tangan.

"Sekali aja lo nggak nyusahin gue bisa nggak?! Gue ngelakuin ini juga ada alasannya, nggak sudi gue jaga lo."

Lawan bicaranya terlelap tenang, berbaring lemah tak berdaya. Percuma mengoceh, Seon lantas berbalik badan. Ia mematung, rautnya tak suka. Seseorang menguping omongannya.

"Lo denger, kan?"

Gelagapan, uluran tangannya turun. Mengurung niat memberi sebotol air minelar.

"Lo denger, kan?!" Berjalan menghapus jarak. Tak dijawab, Seon bertanya lagi, nadanya naik satu oktaf.

Menolak didekati, ia melangkah mundur. Netranya menunduk tak berani menatap. Terjebak, tak bisa mengelak, punggungnya terhadang dinding.

"Daniel, lo anak baik, kan? Bisa jawab pertanyaan gue? Lo denger, kan?" Seon melembut, mengusap pelan rambut Daniel. Belaiannya mengalir turun, berhenti di pipi.

"Se .... Sedikit." Daniel gugup bercampur takut. Menghindari kontak mata, Daniel menunduk mengigit bibir dalam.

"Kok, nunduk? Abang jelek, ya?" Dagu Daniel ditarik paksa. Daniel tak ada pilihan selain menatap seringaian jahat seorang Seon.

KOST LAND ||KAMAR 13||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang