1

9K 1K 376
                                    

Tiit tiiiittt tit tiiiiittt

"Hmnh?? Berisik banget sih– FUCK!" Jaemin langsung berdiri dan berlari ke kamar mandi setelah melihat dan mematikan alarm. Ini sudah jam setengah enam. Sedangkan perjalanan dari apartemen ke gedung pencakar langit itu membutuhkan waktu sekitar dua puluh lima menit.

Jaemin terengah-engah saat sampai di lantai teratas, alias lantai tempat ruangan Jeno berada. Ia langsung masuk ke ruangan yang kemarin sempat ia masuki. Beruntung karena ternyata Jeno belum datang.

Drrrrtt

Jaemin merogoh kantong celananya. Ada sebuah nomor tak dikenal.

"Halo?"

"Ini saya. Jeno. Kamu sudah di ruangan saya?"

"Sudah, Pak."

"Ya sudah, bagus. Kalau begitu tugasnya saya kirim lewat email. Saya berangkatnya jam sembilan."

Lalu kemudian sambungan telepon dimatikan.

"Lah terus aing kenapa disuruh dateng jam enam amjinc? Huh.. sabar, biar pantatnya gak lebar."

Sudah tiga jam lebih Jaemin menggarap segala hal yang ada di dalam email yang dikirimkan padanya. Ia menggarapnya di sebuah meja dan kursi yang sudah disediakan di ruangan Jeno. Ia meminum kopinya lagi. Tugas yang diberikan tidak main-main. Tak heran, perusahaan ini memang masuk ke dalam jajaran perusahaan terbesar di negeri ini.

Jaemin baru saja ingin meletakkan kepalanya di atas meja, namun digagalkan oleh suara gebrakan pintu yabg terbuka. Menampilkan sesosok manusia tampan yang err... Berpenampilan sedikit nyeleneh(?)

"Hey yo wazzup?! Selamat pagi, Manis."

"P–pagi, Pak.."

"HAHAHAHA!!! Saya tahu kamu pasti heran kenapa saya pakai baju pantai di kantor."

"Iya Pak, tapi sebenernya nggak."

"Gak usah malu-malu gitu. Cepat atau lambat juga kita bakal jadi satu rumah."

"M–maaf, Pak?"

"Anyway, karena kamu berhasil melewati hari pertama yang bahagia ini, Saya bakal traktir kamu makanan."

Jaemin hanya mengernyitkan dahi. Masih terpana dengan hal-hal absurd atasannya itu.

💌

"Pak, Bapak bilang mau ke warung mie ayam?"

"Ga apa-apa, saya cuma alergi kalau harus makan di warung makan biasa."

Jaemin ternganga saat mobil yang dikemudikan Jeno memasuki kawasan restoran bintang lima itu. Hell! Dia hanyalah seorang sekretaris baru dan langsung ditraktir ke restoran mewah?!

"Pak, ini beneran Pak Jeno yang bayar kan?"

"Iya dong, kenapa memang?"

"Saya gak punya uang, Pak. Saya gak mau kalau nanti saya bayarnya pakai cuci piring."

"Hahaha, tenang aja. Buat calon pendamping hidup mah, apa sih yang enggak?"

Jaemin memilih untuk diam, karena ia sadar.



Atasannya ini memang tidak waras.

Bagaimana ekspresi kalian saat datang di restoran mewah berbintang lima dengan seorang pemilik perusahaan yang menggunakan setelan baju pantai, sendal jepit dan kacamata hitam? —Padahal kota ini pun jauh dari pantai.–

A. Malu
B. Bangga
C. Mencoba untuk tenang
D. Tak peduli, yang penting kenyang dan tidak perlu membayar makanan berharga selangit.

Jika Jaemin di suruh memilih, ia akan memilih A dan C. Tapi ia akan sedikit memilih kunci jawaban D. Karena baru kali ini ia menapakkan kaki di tempat kalangan atas. Jaemin memandangi bangunan megah itu. Berhiaskan marmer indah dan hiasan kristal di lampu-lampu gantung raksasa bangunan itu.

"Kalau kamu mau, saya bisa beliin kamu rumah kayak gini. Eh, tapi mansion saya sendiri interiornya sudah mirip-mirip seperti ini. Gimana kalau kamu pindah aja ke tempat saya?" Jeno berkata dengan memandang Jaemin lewat celah kacamata hitam yang ia turunkan sedikit dari hidung besarnya.

"N–ngga perlu, Pak. Terima kasih." Jaemin menggelengkan kepalanya.



.

"Kamu mau pesan apa?"

"Salad with peanut sauce (?)" Jaemin bertanya sendiri. Tak paham dengan nama-nama makanan yang tertulis di buku menu.

"Bahasa kerenya sih setau saya Lotek,"

Jaemin hanya menunjukkan wajah terkejut dan terheran-heran. Level orang kaya tingkat kubik memang beda ya.

"S–saya steak aja deh, Pak. Sama es teh. Terserah Bapak aja pokoknya."

"Oke, dua steak sama wine."

Pelayan yang sudah mencatat pesanan yang dilontarkan oleh Jeno kemudian mengulangi pesanan yang ditulis. Lalu pergi saat apa yang ia bacakan sudah diangguki oleh Jeno.

"Ekhem.. jadi, kapan kamu mau nikah?"

"Maaf Pak?"

"Saya tanya, kamu kapan mau nikah? Maksud saya, kamu pengen nikah umur berapa?"

Jaemin sedikit kebingungan, tapi ia tak terlalu memikirkannya.

"Umur dua puluh enam sih, Pak. Tapi paling ya satu tahun lagi udah siap. Kayaknya,"















"Oh, hmm tahun depan ya... Saya sudah siap kok kalau harus menunggu. Harusnya kapan saja bisa. Tinggal minta restu doang."







.
.
.
.

TBC.

Dear, Pak Jeno [NoMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang