Part 4. Ancaman

315 32 0
                                    

   “Berhenti mengejarku dan jangan berani menghubungi polisi atau kupenggal anak ini,” tiba-tiba ketika Hevelin berlari keluar dari mall, ia malah menjadi bahan ancaman oleh pencuri itu. Jinka dan Gendi yang baru saja sampai ke teras pintu luar untuk menunggu Pak Deva, langsung menengok ke arah Hevelin yang sedang dalam masalah besar.

   “Aku tidak mempunyai nomor telepon orang tuanya Hevelin. Apa kau mempunyai nomor telepon orang tuanya Hevelin?”, kata Gendi dengan suara berbisik.

   “Sepertinya di handphone-ku  ada nomornya,” Jinka mengambil telepon genggam dari tasnya. Setelah Uliva mengecek telepon genggamnya, Jinka menelpon Pak Deva.

   “Sial, dimatikan oleh Pak Deva. Ini keadaan yang paling darurat seumur hidupku. Bagaimana ini? Atau aku harus menelpon polisi?”, Jinka terus mengoceh. Gendi berpikir sejenak.

   “Jangan, sebaiknya kita telepon ayahnya Hevelin saja. Oh iya, kau mendapatkan nomor handphone Pak Deva dari mana?”, Gendi mengangkat alisnya. Jinka menggaruk-garuk kepalanya.

   “Sewaktu pulang sekolah Hevelin pernah meminjam handphoneku karena miliknya sedang mati. Nah, Hevelin menelpon Pak Deva, jadi masih tersimpan disini. Nah tersambung,” Jinka menempelkan telepon genggamnya di telinganya.

   “Kau sedang menelpon siapa?”, Gendi menarik telepon genggam dari tangan Jinka.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya ada jawaban dari ayah Hevelin.

   “Maaf Paman, kami temannya Hevelin. Kami tidak tahu dimana Pak Deva berada. Sekarang keadaan sangat darurat. Terutama Hevelin, Paman. Ia dalam situasi berbahaya sekali. Kami berdua tidak tahu harus berbuat apa. Kami hanya bisa menelpon Paman. Sebaiknya Paman cepat kesini sebelum terjadi apa-apa. Paman tidak pelu bertanya lagi. Lebih cepat lebih baik. Terima kasih Paman,” jelas Gendi panjang lebar.

   “Jangan ada yang berani-berani menelpon polisi,” ancam pencuri yang masih memegangi pisau dan diletakkan di ujung leher Hevelin. Tangan sebelahnya lagi memegangi pistol yang diarahkan ke orang-orang yang ingin menangkapnya.

Hevelin benar-benar takut. Untuk menelan ludah saja tidak bisa. Ujung pisaunya benar-benar berada di leher Hevelin. Sedikit saja bergerak, Hevelin pasti sudah terluka. Wajahnya memucat dan matanya berkaca-kaca.

Tiba-tiba pencuri itu melepaskan Hevelin dan langsung berlari ke arah parkiran. Hevelin langsung terdorong dan tidak ada yang mempedulikan Hevelin atau pun menolongnya. Orang-orang langsung mengejar pencuri yang berlari sangat kencang.

“Hevelin kau tidak apa-apa?”, tanya Gendi yang langsung berlari menuju tempat Hevelin terjatuh dan diikuti Jinka dari belakang.

   “Tentu saja,” wajah Hevelin berubah dari pucat menjadi merah membara.

   “Maafkan kami Hevelin. Terutama aku karena ini kesalahanku bukan Gendi. Aku yang menyebabkan kau menjadi bahan ancaman pencuri itu. maafkan aku Hevelin,” ujar Jinka menyesal.

   “Jangan salahkan dirimu Jinka,” jawab Hevelin sambil tersenyum.

   Kemudian sesosok lelaki bertubuh tinggi datang menghampiri Hevelin. Lelaki itu menatap Hevelin tajam.

   “Kau tidak apa-apa?”, tanya lelaki itu. Tangannya menjulur ke arah Hevelin.

   “Ayo bangun,” ujar lelaki itu.

Hevelin berdiri sendiri. Ia tidak mau dibangunkan oleh orang yang tidak dikenalnya.

   “Paman ini siapa?”, tanya Gendi. Lelaki itu membungkukkan badannya.

   “Kalian tenang saja. Mungkin pencuri itu langsung berlari karena dia melihatku sedang menghubungi polisi,” ujar lelaki itu.

“Siapa namamu paman?”, tanya Jinka.

   “Namaku Tody. Kalian bisa memanggilku Paman Tody,” jawab lelaki yang bernama Tody.

   Setelah mereka cukup lama berbincang-bincang, Pak Deva kemudian datang membawa mobil sehabis dari parkiran basement.

Hevelin (Pengungkap Misteri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang