VI. Janji Pribadi

9 3 0
                                    

Di pertangahan sekolah berseragam putih biru, aku masih saja bertahan di dalam zona sendiri tanpa pasangan. Diriku masih sendiri berjuang, sedangkan teman teman seperjuanganku berkelana bergunta-ganti pasangan.

Aku masih tetap dalam prinsipku, menjadi anak yang membanggakan orang tuaku. Tidak ada yang bisa menggugatnya, aku akan bertahan hingga akhirnya aku menemukan suamiku.

Ah ya, diumurku yang menginjak 15 tahun, pikiranku sudah memikirkan masa depan yang jauh sekali, sampai-sampai aku membuat catatan tentang pikiran ini.

Dimalah hari yang gulita, sebelum tidur menyambut, aku menulis tentang pikiran masa depanku.

Dimalah hari yang gulita, sebelum tidur menyambut, aku menulis tentang pikiran masa depanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lalu catatan itu kulipat hingga menjadi seperti seuntai surat. Ya surat ini aku akan simpan hingga saatnya nanti aku serahkan kepada suamiku.

...

Selang beberapa hari berlalu, aku lupa dimana surat ini di simpan. Ku cari kemana-mana hingga pikiranku lelah, seharusnya aku simpan di laci milikku.

Tidak kunjung bertemu suratku itu denganku, cara akhirnya yaitu bertanya kepada Ibundaku. Aku hampiri Ibunda lalu menanyakan surat itu.

"Oh surat ya, ada tuh di laci Bunda di simpan. Ambil saja sana, jangan ganggu ibunda ini." Bicaranya ibunda sambil memeriksa PR yang dikerjakan muridnya.

...

Ibunda adalah seorang Guru di salah satu sekolah yang ada di Cimahi, dia mengajar kelas 5 SD. Ya bekas dulu sekolahku itu, disanalah aku sekolah. Terkadang waktu itu aku pulang dengan Ibunda dan terkadang juga aku berjalan kaki dengan temanku.

Mengenai Ayahanda, dia menjadi pegawai pemerintah pusat. Ayahanda selalu mengurusi tentang kejadian-kejadian yang ada dalam kegelapan, dalam kata lain yang koropsi uang.

...

Lalu aku buka laci lemari yang Ibunda tunjuk, terleihat surat itu beda dengan catatanku. Agak heran, namun penasaran dengan surat ini. Aku ambil, dan ternyata, ah ini bukan catatan ku.

Terlajur surat ini di tanganku, terbacalah surat ini.

Terlajur surat ini di tanganku, terbacalah surat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seketika hatiku berdebar, ini surat brandalan itu. Mengapa Ibunda menyimpannya, ah aku pusing. Hatiku terus berdebar, entah mengapa. Hatiku capur aduk.

...

Gegas aku pergi ke Ibunda untuk menanyakan kenapa surat ini disimpan dilaci lemari, dengan emosi yang agak memuncak aku beranjak menghampiri.

Seharusnya surat ini sudah bersama tumpukan sampah yang lainnya, waktu itu tanganku sudah menjatuhkan surat ini ke dalam tong sampah. Ah kenapa harus kubaca.

...

"Bunda, mengapa surat ini masih disimpan!" marahku menyambar

"Eh dateng-dateng marah-marah, bukannya surat itu yang kamu cari?" nada Ibunda santai saja

"Bun ih, kan sudah aku buang ini surat waktu itu, kenapa bunda menyimpannya!" Dasss memuncak emosiku

"Ibunda nggak pernah ngajarin kamu melakukan hal itu Lamis, Ibunda menyimpannya karena menghargai dia yang memberikan surat itu, kamu bukan berterimakasih malah ngebungnya." balas Ibunda menasehatiku, lalu aku terdiam tanpa sepatah kata.

Aku terdiam, benar juga kata ibunda. Ah kenapa dengan hati dan mataku, seakan mereka bekerjasama membuat situasi pilu. Aku putuskan pergi kekamar dan mengurung diri, lagi tanpa sepatah kata meninggalkan ilIbunda.

...

Mata dan hari mulai terbenam, seketika hujan datang di pipiku, lalu gelappun tiba, senja tinggal aksara. Terpikir berputar-putar di benak dengan kejadian yang sudah terjadi, ini menjadi pilu yang menjadi-jadi di hari yang mulai berganti malam.

Lalu seketika aku berjanji kembali dengan diriku sendiri, bahwasannya aku, Lamis Anjani Rahman tidak akan pernah mengukir sebuah rasa dengan laki-laki.

...

Ah ya, ternyata surat janji ini ada di bawah kasurku. Bodonya aku, pelupa sekali.

A K U, sebuah catatan Anjani.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang