III. Perayaan Diri

14 5 0
                                    

Umurku masih sama, 14 tahun lamanya hidup di dunia ini. Menjadi remaja yang diombang-ambing rasa sangat meresahkan, ketika teman-temanku tahu tentang rasa cinta, aku sendiri tidak tahu apa itu yang namanya cinta. Diriku tidak kenal hubungan berpacaran.

Disini aku hanya fokus dengan cita-citaku, sayang prastasiku dari beberapa tahun ini bersaing ketat dari peringkat 1. Targetku di tahun-tahun yang akan datang adalah menjadi juara umum di sekolahku.

...

Tentang brandal itu, dia masih saja mengejarku, tidak pernah absen di kehidupanku. Dengan berbagai cara menjadi pengabdi setia.

Tapi hatiku tidak pernah meliriknya, penolakan selalu jadi kata akhir untuk dirinya. Brandalan itu entah sampai kapan akan berakhir mengejarku.
...

Dan setahun berlalu, dengan perjuangan yang memeras waktu, akhirnya apa yang menjadi targetku tersampai jua. Diriku menjadi juara umum di sekolahku, tidak menyangka bisa menjadi sang juara.

Kebanggaan ini bukan untuk diriku saja, namun keluargaku merasakannya, mereka melampaui kebahagiaan. Ibunda dan ayahanda sangat gembira, sampai-sampai mengadakan pesta dirumahku.

Aku disuruh Ibunda mengajak teman-teman untuk merayakan keberhasilanku ini, tidak lantas aku bingung harus mengajak siapa saja, karena terlalu banyak teman dimana-mana.

Kemudian kuputuskanku, membuat status saja di salah satu akun media sosialku, agar tidak ribet dan peraktis. Agar semua bisa datang, bukan teman sekolahku saja, akan tetapi semua orang. Jadi begitulah.

...

Hari perayaanku akhirnya tiba, di hari minggu, tepatnya sore hari. Perasaanku berbunga-bunga diatas perapian, hari yang begitu istimewa bagiku.

Teman-temanku mulai bermunculan, mereka menjabat tanganku dan memberi ucapan untukku. Halamanku mulai penuh oleh obrolan hangat-hangat, semuanya terlihat bahagia. Selang hari bertambah redup, lalu teman-temanku semuanya telah tiba.

Akan tetapi dikala acara akan dimulai, dia yang tidak diharapkan datang, ternyata muncul mengagetkan pikiranku. Sudahlah, melihatnya saja aku kesal.

Lalu dia datang menghampiriku, brandalan itu menjabat tanganku pula, lalu dia mengambil sesuatu di tas sorennya.

"Selamat atas prestasinya, ini sebuah hadiah untukmu. Sekali lagi selamat." kata brandalan itu, lalu dia pergi meninggalkan perayaan ini.

Aku hanya diam tak membalas sepatah katapun darinya, mengesalkan sekali. Dengan semberononya dia datang lalu pergi seenaknya.

...

Hampir semua teman-temanku dan keluarga melihat kejadian itu, mereka hanya melihatnya dan seperti ada kecangguangan suasana terjadi di acaraku ini.

Hati merengek malu dengan apa yang sudah terjadi, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku bingung sekali. Dan suara ayahanda menyelamatkan aku dari kecanggungan ini, ayahanda memulai acara pemotongan nasi kuning untuku.

Dan seketika semua berkumpul mendekati pemotongan nasi dan aku pula di seret untu memotong kuning itu. Dengan hati berantakan, aku coba meredakan perasaanku, lalu terpotonglah dan tepuk tangan bergema di halaman rumahku.

"Untuk ade-ade semuanya, silahkan menikmati jamuan ibunda ya. Jangan segan untuk makan disini ya" Ibunda berkata kepada semua temanku, lalu Ibunda menyuruh satu persatu untuk merasakan masakan ibunda.

...

Dan aku berbaur dengan teman-temanku yang datang, mengajak ngobrol mereka dan sebagainya. Tentang hadiah brandalan itu, aku buang saja tanpa membukanya.

...

Hingga akhir acara aku kembali ke perasaan bahagia, aku lupakan kejadian yang tadi itu. Acara ini berjalan lancar dengan semestinya, hingga semua temanku berpamitan pulang dan mengucapkan terimakasih.

Acarapun berakhir dan aku terbahagiakan oleh hari perayaan. Tentang hadiahnya, lupakan saja.

A K U, sebuah catatan Anjani.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang