V. Puing Risau

7 2 0
                                    

Sebulan berlalu, aku terjebak dalam suasana iri kepada teman-temanku. Dikala aku berjuang dalam komitmen kesendirian, teman-teman aku malah memanaskan suasana ini. Seperti anak kecil yang di tawari gulali, diriku sempat mengeluh karena hanya diriku yang tidak memiliki pasangan.

Ya begitulah teman-temanku, sering usil kepadaku. Coba bayangkan, ketika bercengkerama membuat susasana gurau, ujung-ujungnya teman-temanku mempersalahkan diriku. Aneh katanya, ketika semua orang di sekolah suka berpacaran, lah aku tidak melirik siapapun, walaupun banyak yang menggoda. Pendapat mereka, aku ini si tukang jual mahal seantero jagad raya, lalu mereka tertawa terbahak-bahak. Disinilah aku seseorang yang sering tersakiti, walau tidak langsung penyampaiannya.

Dan memang benar, lambat laun aku terlena oleh perkataan mereka. Seakan-akan mereka adalah spesialis penggoda rasa terhebat di dunia ini, sampai aku terlena oleh buaian mereka. Dasar mereka, aku terlena, akan tetapi aku coba pertahankan pendirian ini.

...

Pada suasana ini dia datang menjadi bumerang bagi diriku, dia lelaki brandalan yang sangat menjengkelkan, mampu menaklukan pendirianku ini. Di sore hari selekas kegiatan osis, aku sendirian menunggu angkutan umum di pertigaan jalan raya. Teman-temanku sudah pulang terlebih dahulu ke kediamannya masing-masing, sedangkan aku harus rapat dulu perihal acara osis di sekolahku, ya jadinya begini, pulang sendiri dan lelah menghampiri.

Ketika lama menunggu di pertigaan jalan, mataharipun mulai segera hilang, kendaraan angkutan umum tidak kunjung datang. Hatiku mulai cemas akan hal ini, takut dengan keadaan malam dan pula bagaimana jika tidak ada kendaraan umum. Pikiranku berbelit-belit hingga membuat perasaanku lebih cemas. Bagaimana ini? Resahku.

Disaat perasaanku mulai dilema suasana, aku melihat brandalan itu lewat di depanku mengendarai kuda beroda dua. Dia sempat merilikku, tapi dia acuh tak acuh melihat wujudku ini. Aku berharap dia berhenti dan mengajakku pulang untuk satu kali ini saja, namun brandalan itu malah terus melaju tak berhenti.

Aku marah. Ah harapan ini, bodoh. Dasar brandalan aneh, katanya ingin memperjuangkan aku, tapi tidak masuk diakal kelakuannya. Akan kubunuh dia, tidak lebih pikiranku seperti itu sambil cemas menunggu angkutan umum.

Seketika itu aku melamun dengan eksperesi kacau, suara klakson berdentrum di telingaku. Aku melirik ke sumber suara itu dan ingin memarahi tindakan itu. Dengan raut muka masam aku berkata "brisik!!!" dengan nada tinggi kulontarkan.

"Tenang Anjani, ini aku" lontarnya sambil tersenyum tipis

"Mau apa kamu, ganggu aja" balasku sambil tidak meliriknya

"Tidak magsud mengganggu, aku hanya ingin menawarkan tumpangan, mau?"

"Nunggu angkot, nggak usah" singkatku

"Yakin? Udah mau magrib nih"

"Nggak, makasih"

"Yaudah nih, aku balik"

"Silahkan!"

Beberapa menit hening suasana ini, tapi dia tidak kunjung berputar arah. Aku marah kepadanya, entah kenapa.

"Anjani?" ucapnya memecahkan suasana

"Apa? Pulang sana!" balasku spontan dengan nada ketus

"Gini aja, kamu ngojek kepadaku aja ya, udah sore. Liat jam tanganmu udah jam berapa? Untuk bayarannya, samain aja kaya kamu naik angkot, gimana?"

Lantas akupun melihat waktu dan benar, jelang magrib sebentar lagi. Lalu aku gugup, entah harus berkata apa kepada brandalan itu. Sial, nasibku saat ini buruk sekali.

"Anjani? Gimana, udah mau magrib nih" Lontarnya membekuk lidahku untuk berkata

"Gak tau" bibirku tidak sanggup lagi berbicara dengannya

"Ayo Anjani, cepet berdiri"

Aku terdiam, melirik ke kiri jalan dan masih tidak ada angkutan umum. Aku tertegun dan dia langsung melintarkan kalimat "nggak bakalan ada angkot, udah mau gelap" lontarnya. Dan lalu, aku menyerah dengan kondisi ini. Aku terpaksa pulang dengan berandalan ini.

...

Di jalan, tidak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Akupun hanya membisu dan hanya melihat bergantinya hari menjadi gelap.

Hatiku berdegup kencang, entah mengapa. Aku tidak sanggup dengan suasana ini, rasaku ingin segera pulang dan membayarnya.

---

Sungguh, kejadian ini menjadi kehangatan rasa yang tersirat dalam kenangan ini.

A K U, sebuah catatan Anjani.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang