9 : Penggemar Coklat

9 1 0
                                    

~ Apakah salah kalau kita menipu perasaan sendiri ? ~

----

Aroma coklat tercium oleh penciuman kami.

Seorang perempuan berwajah Tionghoa yang bertugas sebagai head of communication di pabrik coklat tersebut membawa kami berkeliling. Di sebelah kiri kami terlihat mesin coklat yang sedang beroperasi dan para pekerja yang memakai alat seragam untuk menjaga kebersihan coklat.

Semua peserta sibuk mengabadikan momen di pabrik coklat ini dengan ponsel mereka. Termasuk aku dan Medina. Kami tak mau kalah untuk menambah postingan di Instagram.

Salah satu pekerja pabrik membawa sebuah mangkuk kecil yang berisi coklat. Kami boleh mencicipi coklat tersebut. Karena begitu banyak peserta yang ingin mencicipinya kami pun menjadi berdesakan.

"Aduh, sakit." Pekikku ketika seseorang menginjak kakiku.

Orang itu memutar badannya.

Dengan jarak kurang lebih lima cm, aku dapat menghirup wangi tubuh Khaibar.

"Maaf ya, Na. Masih sakit kakinya?" Hanya sebuah pertanyaan basa basi dari Khaibar.

Aku mengadah. Memandangi wajah Khaibar yang berada di atas kepalaku. Kami saling menatap.

"It's okay." jawabku lalu berlari kecil bergabung dengan rombongan lain yang sudah pindah tempat.

Berhadapan sedekat itu dengan Khaibar saja sudah membuat jantungku berdegup kencang. Tanpa kusadari kuraba dada kiriku yang masih berdetak cepat. Tidak mungkin aku memiliki rasa lagi terhadapnya. Segera kuatur napasku yang tidak karuan.

Para peserta sudah mulai memilih coklat dari berbagai macam rasa. Kami diberikan potongan harga yang cukup besar karena kami belanja langsung dari pabrik coklatnya. Sengaja Pakcik Rashid membawa kami ke sini untuk memborong oleh-oleh.

Aku mulai mengambil beberapa bungkus coklat dengan rasa yang berbeda untuk kubawa ke Indonesia.

Medina melirik keranjang belanjaku, "Buat siapa aja, Ren?"

"Buat keluarga gue, pegawai di butik, klien penting, dan keluarganya Danis."

Medina manggut-manggut. "Hmm, paham gue yang mau punya keluarga besar belanjaannya lebih banyak."

Aku hanya tertawa.

Kami berdua berjalan menuju kasir. Beberapa orang sedang berbaris di sana. Di depanku ada Ibu Ajeng dan Khaibar.

"Belanjaan Mas Khaibar banyak banget. Buat pacarnya ya?" goda Ibu Ajeng.

Aku melirik sekilas keranjang belanja milik Khaibar yang cukup penuh. Kuperhatikan akhir-akhir ini pria itu sering membeli banyak coklat. Seingatku keluarga Khaibar bukanlah keluarga besar. Dia hanya dua bersaudara dengan seorang kakak laki-laki. Mungkin Khaibar mau memberikan coklat-coklat itu untuk seseorang.

Khaibar terkekeh. "Buat keponakan saya, Bu."

"Masa gak ada oleh-oleh buat pacarnya?" tanya Ibu Ajeng yang penasaran.

Aku masih menguping.

"Ada, Bu..." celetuk Mas Ali. "buat pacar orang lain tapi." lanjutnya yang dibalas dengan tawa Ibu Ajeng.

Khaibar langsung meninju pelan rekan kerjanya itu. Mas Ali hanya tertawa lalu menjauh dari barisan. Ibu Ajeng menggelengkan kepala melihat dua pria itu. Medina yang ikut menguping pun menyikut lenganku dari belakang. "Masih ada kesempatan." bisiknya.

Di sini Medina terkesan seperti mengajarkanku untuk selingkuh. Dia lupa kalau aku masih berpacaran dengan Danis.

Ketika giliranku tiba, seorang kasir laki-laki mulai men­scan semua coklatku. Penampilannya sedikit seperti wanita. Karena wajahnya terlihat disuntik silikon di bagian hidung dan dagu.

"Semuanye jadi 350 ringgit je." ujar si kasir.

Aku lekas memberikan beberapa lembar uang ringgit padanya.

Lalu ia memasukan tiga bungkus coklat tambahan di belanjaanku.

"Sorry, those aren't mine." kataku sambil menunjuk coklat-coklat itu.

Si kasir terlihat bingung, "The man who wear the white hat told me that give these chocolates to you." lalu memberikanku semua coklat yang sudah dimasukkan ke tas plastik besar.

Aku dapat menebak kalau Khaibar yang menyuruhnya untuk memberikanku coklat. Karena siapa lagi yang memakai topi putih selain Khaibar. Tapi, tetap saja itu berlebihan.

"Okay, thank you." Aku mencoba tersenyum ramah padanya.

Aku mulai mencari Khaibar. Di lorong aku menangkap sosok Khaibar yang sedang sibuk memotret mesin coklat yang beroperasi. Tangan kirinya memegang plastik belanjaannya. Tidak ada orang selain kami berdua di lorong itu.

Khaibar memandangku yang sudah berdiri di hadapannya.

"Khai, kamu gak perlu kasih aku coklat sebanyak ini." kataku sambil menunjukkan belanjaanku.

Khaibar menyengir. "Kamu kan suka banget sama coklat, Na. Aku tahu tadi kamu sempat kebingungan pilih rasa coklat karena banyak variannya. Jadi, aku beliin buat kamu coklat yang rasa Tiramisu, Hazelnut, dan Coconut Chocolate. Kamu gak suka Dark Chocolate kan, Na?"

Aku terdiam.

"Bukannya seorang teman harus tahu banyak hal tentang temannya?" tanya Khaibar tanpa beban.

"That exactly what the problem is..." Aku memijit keningku.

"Khai, sikap kamu ke aku tidak seperti seorang teman. You know me so well. Itu berlebihan." Ada perubahan air muka di wajah Khaibar.

"Na, nobody knows you like me. Memangnya salah kalau aku masih care ke kamu?" tanyanya yang kini memegang pundakku.

"Kita bukan abg lagi, Na, yang harus menjauh dan benci satu sama lain. Meskipun kita cuma sebatas teman, aku mau jagain kamu. Aku mau kita bisa saling kenal seperti dulu." katanya berusaha meyakinkanku.

Aku mengendurkan tangan Khaibar dari pundakku.

"Aku udah punya Danis. Kamu gak perlu jagain aku..." di dalam hatiku aku tertawa akan sikap Danis yang semakin cuek padaku.

Lalu kutatap Khaibar "Khai, ada banyak perempuan yang menanti kamu tapi bukan aku."

Khaibar menunduk lalu berkata, "Miris, sayangnya aku sesayang itu sama kamu, Na."

Dia tidak bicara lagi.

Lalu pergi meninggalkanku.

TRAVEL-EXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang