7 : Is It Too Late Now to Say Sorry ?

18 3 0
                                    

~ Bawa perasaan kadang tidak sepenuhnya salah. ~

----

Kami menginap di Hotel Plaza Grand. Letaknya tak jauh dari KLCC. Setiba di hotel aku mendapatkan pesan dari Danis. Pria itu berpuluh kali mengucapkan maaf karena seharian tak merespon kabar. Katanya ada seminar yang harus ia datangi hari ini. Di mana ia harus menjadi narasumber di seminar kesehatan tersebut sehingga Danis tak sempat menelpon bahkan membalas pesanku.

Malam itu, kami melakukan video call seperti biasanya. Sesekali aku membalas perkataan Danis karena terlalu lelah seharian ini berjalan menelusuri beberapa tempat. Ia juga mengomentari foto-foto liburanku yang telah kuunggah ke sosial media. Danis menyesal karena ia tak bisa ikut berlibur bersamaku. Tapi, di lain sisi aku bersyukur Danis tak ikut trip dua negara ini. Dengan begitu Danis dan Khaibar tak bisa bertemu.

Bagaimana aku bisa menjelaskan pada Danis kalau akhirnya aku menghabiskan empat hariku di dua negara ini bersama mantanku.

"Kira-kira hari Sabtu nanti kamu tiba di Jakarta jam berapa, Ren?" tanya Danis sambil menguap. Tampaknya ia juga sudah lelah.

Aku berpikir untuk mengingat jadwal. "Kemungkinan malam. Sekitar jam sepuluhan."

"Ok. I'll pick you up on Saturday night." Danis melambaikan tangannya di sebrang sana.

Aku ikut melambaikan tangan untuk mengakhiri percakapan kami. Kulihat Medina sudah tertidur pulas mengingat jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam waktu Malaysia. Sedangkan di Indonesia masih pukul sebelas malam.

Sebelum kuletakkan ponselku di meja, aku membuka pesan WhatsApp dari Khaibar. Ia mengirim pesan dari jam sepuluh malam. Aku tidak tahu kalau Khaibar mengirim pesan karena aku begitu lama berbincang dengan Danis.

+62 821592xxxxx : Nana, jangan streaming drakor. Langsung istirahat ya. Ur ex, Khai.

Aku mengerutkan dahi. Siapa juga yang mau menonton drama Korea kalau pacar yang kamu tunggu-tunggu malah menelponmu. Tidak kubalas pesan Khaibar, hanya kubaca saja. Lalu memejamkan mata secepatnya.

***

Paginya, setelah mandi dan salat subuh, aku terlebih dulu keluar kamar. Berniat untuk jalan pagi sekaligus menikmati udara segar di KL. Kubiarkan Medina yang masih menikmati paginya dengan berendam di bathup. Aku berjalan menuju elevator. Menunggu sebentar lalu pintu elevator terbuka di depanku.

Aku dan dia sama sama terkejut. Namun, setelah itu Khaibar hanya tersenyum senang. "Jangan-jangan kita jodoh ya, Na?" tanyanya setelah aku berdiri di sampingnya.

"In your dreams!" kataku malas.

Khaibar terkekeh. "Eh tapi beneran loh, Na. Aku pernah mimpi kalau kita berdua menikah. Udah lama sih aku mimpiin itu. Apa itu sebuah tanda ya, Na? Barangkali kita berjodoh di masa depan."

Ya Tuhan, kenapa elevator ini berjalan begitu lambat untuk sampai di lantai satu. Aku ingin cepat-cepat menjauh dari Khaibar.

"Tanda-tanda kamu menghilang ditelan bumi ada gak, Khai?" tanyaku bergurau.

Khaibar menggeleng dengan cepat. "Gak ada. Adanya tanda cinta aku ke kamu yang pasti masih ada, Na."

Khaibar menepuk dada kirinya.

Aku menggeram. "Bisa gila aku deket-deket sama kamu, Khai."

Pintu elevator terbuka di lobi hotel. Aku langsung keluar hotel tak peduli dengan Khaibar yang masih berbicara. Meskipun sudah pukul enam pagi, di sini langit masih terlihat gelap. Kendaraan masih sedikit yang lalu lalang di jalanan.

"Kamu ngapain ngikutin aku?" tanyaku ketika Khaibar berjalan mengikuti.

Di bawah cahaya temaram, Khaibar mengangkat kamera yang ada di dadanya. "Mau foto. Lagian bukannya tujuan kita sama? Mau menikmati pagi hari ini?"

"Ya kan kamu bisa ke arah sana. Aku ke sini." kataku kesal.

Khaibar memandang jalanan di depan. "Kalau aku hilang gimana?"

"Aku gak peduli." jawabku jengkel. Aku memutar badan lalu pergi.

Meskipun begitu Khaibar masih saja mengikutiku dan aku lelah untuk mengusirnya. Jadi kubiarkan dia berjalan di belakangku. Tangannya sibuk membidik sebuah gambar melalui kameranya. Tak jauh dari hotel ada sebuah jembatan penyebrangan. Kami berjalan ke sana dan menaiki tangga demi tangga.

Saat kami tiba di tengah-tengah jembatan, kami berdua menatap jalanan yang ada di bawah kami. Melihat beberapa mobil dan sepeda motor yang mulai aktif berhamburan di jalan raya. Lampu-lampu jalanan sudah dimatikan. Perlahan matahari mulai terbit dari persembunyiannya.

Khaibar kembali memotret.

Aku menoleh pada Khaibar, "Ingat gak Khai kalau dulu waktu SMA pun kamu pernah bilang kalau kepribadian kita hampir sama dan barangkali berjodoh? Lalu setahun setelah kamu bilang begitu hubungan kita selesai."

Khaibar memberhentikan gerakannya. Dia terdiam.

"Lets clear the air between us." ujarku serius.

"Kamu benci banget ya sama aku?" tanya Khaibar.

"Dulu iya, pas aku tau kamu jadian sama sahabat kamu sendiri."

"Sekarang juga masih?" kini kami berhadapan.

Aku pura-pura berpikir, "Kalau sekarang aku gemas banget sama kamu, Khai. Kamu ngeselin banget orangnya."

Aku menyubit lengan Khaibar yang putih.

"Duh sakit tau, Na." pria itu meringis kesakitan.

"Perasaan aku lebih sakit, tau?"

Khaibar manggut-manggut.

"Iya, aku minta maaf. Aku emang salah. Salah udah ninggalin kamu seperti itu." Khaibar menghela napas.

Wajahnya memang tampak bersungguh-sungguh ketika minta maaf itu.Suara kendaraan yang ada di bawah kami mulai terdengar ramai.

"We were only eighteen years at the time. Kita sering labil untuk mengambil keputusan. Aku pun bingung sama perasaan aku sendiri. Ketika aku bersama kamu dan ketika aku bersama Yola atau perempuan lain, itu terasa beda. Entah, aku ngerasa lebih nyaman sama kamu, Na." Khaibar mengakuinya.

Aku pun ikut menanggapinya dengan serius.

"Nyaman? Aku bukan tempat persinggahan kamu kali ini, Khai. Dan lagi, Kenapa kamu gak dari dulu berusaha untuk menghubungi aku? Tujuh tahun kita lost contact." pandanganku tertuju pada Menara Kuala Lumpur.

"Itu karena aku merasa bersalah sama kamu, Na. Aku berpikir pasti kamu sudah memiliki kekasih lain."

Aku tercenung.

Ia memandangku lekat-lekat lalu bertanya, "Belum terlambat kan buat minta maaf, Na?"

Sebetulnya aku sudah memaafkannya. Sejak tadi. Sejak kemarin. Sejak kami bertemu di bandara.

Aku tertawa kecil, "Seingatku lebaran masih beberapa bulan lagi sih, Khai."

"Nana, aku serius. Kamu malah bercanda." gerutu Khaibar.

"Oke. Aku maafin kamu. Tapi kita gak bisa seperti dulu, Khai. Kita gak mungkin bisa balikan karena aku udah punya Danis." Khaibar tersenyum mendengar ucapanku.

"Jika itu mau kamu, aku bisa apa." lanjutnya.

Kami berdua terdiam.

"By the way, thank you atas kepanikannya waktu di Petronas semalam, Khai." ucapku jujur lalu berjalan untuk kembali ke hotel.

Khaibar tersenyum lalu berkata, "Jangan menghilang lagi, Na. Bisa jadi aku udah gak sepanik seperti semalam."

TRAVEL-EXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang