Swastamita

13 4 2
                                    

Di kala senja tampak sosok puan tengah melamun mengamati langit. Pada salah satu sudut kedai kopi ia tengah menanti kehadiran seseorang. Ia menyimpan banyak cerita yang ingin diceritakan pada sosok yang telah ia tunggu kehadirannya.

"Sorry telat, udah lama nunggunya?" Sapa lelaki yang masih menggunakan seragam sekolah nan lusuh.
"Eh lo udah dateng, kemana aja? Kayak biasa lagi?" Tanya Anan, maklum Bagas memang terkenal sebagai garda terdepan saat tawuran antar sekolah.
"Kagak, cuma kumpul sama anak-anak." Bagas menjawab santai.

Anan mempersilahkan Bagas duduk di hadapannya. Bagas telah bersiap mengeluarkan sepuntung rokok dari saku celananya, namun ia mengurungkan niat itu. Bagas tidak pernah merokok di depan Anan, ia hanya merokok di depan teman-temannya saja.

"Gas, gue mau cerita deh," Anan membuka topik pembicaraan senja mereka.
"Kenapa?" Tanya Bagas.
"Gue mulai ngejalanin hubungan serius sama Chandra.." Ragu, iya ragu, takut-takut kalau Bagas akan marah mendengar berita yang terlalu tiba-tiba ini.
"Oh, sejak kapan?" Jawabnya datar tanpa ekspresi yang berarti.
"Kemaren, tapi gue baru bisa ngomong dan ajak lo makan sekarang, maaf ya?" Ada sedikit rasa bersalah di hati Anan karena sedikit terlambat menceritakan ini pada sahabatnya.
"Ahaha, santai kali" Jawab Bagas dengan tawa hambarnya.
"I-iya gitu, hm gitu aja sih hehe.." Anan bingung ingin merespon tawa hambar Bagas dengan perkataan apa.

Tak lama dua cangkir kopi serta hidangan pendamping yang dipesan Anan telah tiba. Anan menyeruput kopi panas yang baru saja disajikan tersebut. Sedangkan Bagas sama sekali tak berselera menyesap secangkir kopi di hadapannya.

"Lo tadi mau ngomong sama gue juga kan?" Tanya Anan tiba-tiba.
"Ah iya, tapi gue lupa mau ngomong apa," Jawab Bagas sedikit canggung.
"Kalo ada yang mau lo omongin, cerita aja ke gue." Ucap Anan memastikan.
"Iya siap, eh Nan sorry banget nih, gue udah ditelpon anak-anak." Bagas mengalihkan pembicaraan yang sudah membuatnya tak nyaman.
"Tawuran lagi?" Tanya Anan dengan nada malasnya.
"Balapan motor." Jawab Bagas singkat.
"Jangan dibiasain Bagaskara, gue ga suka." Anan sudah jengah dengan kelakuan Bagas yang tidak pernah berubah.
"Tapi gue suka haha, gue cabut duluan, bye!" Bagas tertawa renyah menanggapi peringatan Anan.
"Kebiasaan." Anan pasrah pada Bagas yang memang keras kepala.

Bagaskara akan tetap menjadi Bagaskara. Ia tidak benar-benar ada balapan motor sekarang, itu hanya bualannya semata. Ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi membelah kota di bawah langit senja, petang itu.

Rasa emosi dan kecewa mendominasi dirinya saat ini, ia hanya butuh pelepasan agar dirinya merasa lega. Ia tak memiliki tujuan serta arah hidup sekarang. Perasaannya hancur pun hidupnya yang kembali hampa.

Naasnya, ia tak sadar ada mobil yang berkecepatan cukup tinggi dari arah yang berlawanan. Bahkan tuk menghindarinya saja itu sudah terlambat. Hingga akhirnya kecelakaan maut tak lagi dapat terhindarkan sore itu.

Anan yang tadinya tengah menunggu bus di halte depan kedai kopi terkejut ketika mendapat kabar dari salah satu temannya. Ya, tubuh Bagaskara kini sudah terbujur kaku di brankar rumah sakit karena kecelakaan maut yang baru saja dialaminya.

Anan segera mencari taksi untuk mengantarkannya ke rumah sakit dimana Bagaskara berada. Setidaknya Anan harus bertemu Bagas sekali saja, sebelum ia benar-benar tak bisa melihat raga lelaki itu lagi.

Sesampainya di rumah sakit, tampak keluarga serta sanak saudara dan beberapa temannya tak mampu membendung air mata mereka. Tangis Anan pun pecah di depan raga Bagas yang telah terbujur kaku berlumuran darah. Ruangan itu benar-benar penuh dengan isak tangis. Pun suasana haru biru yang menyelimuti seisi ruangan.

"Nan, di saku celana Bagas ada surat ini tadi, tulisan depannya sih buat lo." Ucap salah satu teman Bagas yang mendekat ke arah Anan sembari menyerahkan sepucuk surat.
"Ma-makasih..." Ucap Anan terbata-bata disela tangisannya.

Anan menyeka air mata yang mengalir pada pipinya sembari duduk di kursi yang tersedia di lorong rumah sakit. Membuka perlahan sepucuk surat dimana terdapat sedikit bercak darah yang tertinggal di kertas itu. Anan membaca kata demi kata sembari meneteskan air matanya.

Di dalam surat itu tertulis, "Anan, kalo akhirnya surat ini sampe di lo, gue cuma mau bilang kalo gue sayang sama lo. Mungkin terdengar klise, tapi jujur gue ga bisa romantis. Gue ga bisa gombal, tapi kalo tawuran gue lulusan cumlaude. Udah gitu aja, gue ga berharap banyak dari lo, gue cuma mau ungkapin perasaan gue aja. Pengecut banget sih gue nulis lewat surat gini haha. Bahagia terus ya lo Nan, biar bisa gue liat terus senyum manis lo itu. Tertanda, Bagaskara si S3 tawuran." tulisan itu benar-benar tulisan tangan Bagaskara, dengan pena yang tintanya sudah tampak samar-samar.

Jika ia bisa memaki dirinya sendiri, ingin rasanya ia melakukan itu. Merutuki kebodohannya sendiri. Anan tidak dapat menangkap maksud Bagas tadi saat di kedai kopi. Anan tidak tahu bahwa diam-diam Bagas menyimpan rasa padanya. Anan juga berpikir bahwa kecelakaan ini terjadi karena dirinya, dirinyalah yang harus bertanggung jawab.

Anan berlari menuju samping brankar dimana tubuh Bagas ada diatasnya. Anan menggoyang-goyangkan tubuh Bagas, tak lupa dengan memanggil histeris nama Bagas. Bagas harus bangun, Bagas harus tahu kalau sebenarnya Anan juga sayang padanya. Bagas harus bisa menjalani hidup bahagia dengan Anan.

Teman-teman Anan pun menenangkan Anan yang semakin histeris. Tangis dan teriakannya semakin tidak terkontrol. Iya, Anan menyesal dan Anan merasa bersalah. Ia merasa semua ini salahnya, semua ini sebabnya.

Hingga proses pemakaman Bagas di keesokan harinya pun, Anan masih tetap menangis di atas pusara Bagas. Semua ini telah terjadi, pun semuanya telah terlambat. Bagas telah beristirahat dengan tenang sekarang, mataharinya pun telah benar-benar tenggelam hari ini.

Tugas Anan sekarang adalah merelakan serta membiasakan diri untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri. Beruntung Chandra dengan setia membantu Anan menyembuhkan traumanya. Dan Bagas tentu bahagia melihat secercah senyuman yang kembali mengembang di bibir Anan, dari atas sana.

Rampai Gubahan || Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang