16' One thing

164 43 14
                                    

Semalam hujan, rintik tapi tak berumpang mengakibatkan titik embun di rumput terlihat lebih mengkilap. Dedaunan enggan meluruh memilih menegak persis  seperti hidup. Bagaimanapun keadaan jangan sampai menyerah untuk menyalahi takdir. Semua ada porsinya, jika sekarang Tuhan belum memberikan yang menurut kita baik. Jangan sampai lupa jika Tuhan mempunyai skenario terbaik dari yang diharapkan.



mungkin tidak sekarang.’ 




Kiranya seperti itu percakapanku dengan semesta.  Sekilas aku menatap langit. Begitu cerah,  rasanya aku telah berdosa jika tak menyanjung keindahan dihadapanku.






maafkan aku Tuhan. Terkadang aku menginginkan kebahagiaan yang jauh untuk diraih hingga melupakan beberapa hal baik yang ada didekatku.’





“Ini bekalnya. Kamu benar-benar tidak ingin diantar ibu?” sembari memberikan tas berisi kotak bekal  ibu menawarkan kembali.


Jawabanku tetap sama. Tersenyum kemudian menggeleng.




Ibu menghela napas, “Baiklah jika memang tidak mau, memaksamu hanya akan membuang waktu.” Gerutunya dengan gerak tubuh menyuruhku untuk segera pergi ke sekolah.



Sebenarnya hari ini aku mengambil baju kelulusan, tapi aku memilih untuk berangkat ke sekolah Julian dan Jo.


Mereka berdua wisuda. 


Kutengok jam pada ponsel. ‘Baru jam 7. Aku harus kemana ? Jam 11 masih terlalu lama.’



Melihat tas bekal aku jadi teringat suatu tempat. Kuputuskan untuk berkunjung kesana. Kali ini lumayan jauh tapi tak apa ini searah dengan letak sekolah Julian dan Jo.



Dibalik rindang pepohonan, tempat menyimpan banyak kenangan. Aku masih berdiri dari kejauhan mendengar sebuah tawa yang amat sangat kukenal sejak lama. Maju mundur untuk melangkah, namun sebelum kakiku memilih mundur netranya menangkap jelas keberadaanku.





“Woy bisu ngapain lo berdiri disitu !”





Terlambat untuk mundur. Aku menunduk memberi hormat kepadanya. ‘Maaf




Dengan berkacak pinggang ia meludah tepat disebelahku. “Lo tau kan kalo nyawa gak bisa diganti sama maaf doang?!”




Aku menunduk tak dapat mengelak.



“Sampai kapanpun gue gak bakal maafin. Dahlah gue mau pulang mood gue selelu jelek setiap ketemu lo. Dasar Bisu!” ujarnya berlalu.




Dia Ren. Tetangga depan rumahku yang bermulut pedas. Tapi aku tahu pasti mengapa dia sangat membenciku.



Belum sempat untuk termenung lebih lama, anak-anak panti mengerubungiku. Layaknya obat bibirku tertarik melengkung keatas begitu melihat betapa menggemaskannya mereka semua.



Kakak Naya lama sekali tidak kemari.’  Cecarnya memasang wajah masam. Memang benar sudah berbulan-bulan.




Apakah sakit kakak kambuh.’ Tanya yang lainnya begitu melihat punggung tangan bekas infus. Mereka benar-benar mengenalku.



Aku menggeleng, menjawab dengan isyarat tubuh bahwa aku tidak apa-apa. Percuma mereka tidak akan percaya.



‘Kakak Naya kita punya adik baru lagi disini.’



Benarkah?Sejak kapan?’ Jawabku. Mataku berbinar namun disudut hatiku teriris. Memikirkan bagaimana bisa mereka berakhir di Panti.



Seakan tak memberiku ruang untuk memikirkannya. Anak-anak tersebut tertawa dengan riang lalu menarikku untuk masuk ke dalam panti asuhan.


Dibalik kehidupan sederhana ini aku banyak menemukan  ketidakadilan namun dibalik itu Tuhan menyelaraskan ketidakadilan tersebut dengan cara epic.  Dengan mempertemukanku pada anak-anak luar biasa di panti ini. Elegi membuatku melupakan fakta bahwa aku sebenarnya juga dicintai oleh banyak orang.





-	Aku pernah memikirkan ini, menurutku manusia beruntung itu bukan yang memiliki segalanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- Aku pernah memikirkan ini, menurutku manusia beruntung itu bukan yang memiliki segalanya. Tapi  yang dapat menyukuri ke-apa adaanya.
.
.
.
.
.

Aku mau tanya kalian paham gak sih cerita ini?????

SILENT |• Lee Jeno (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang