Kenapa kekacauan dan persoalan baru selalu datang di waktu yang salah? Karena nyatanya memang tidak pernah ada waktu yang tepat untuk masalah.
🍃🍃🍃
Tak ada apa pun di tempat itu selain hamparan rumput setinggi betis yang membentang, hingga ke kaki-kaki gunung yang hanya tampak siluetnya dari tempatku terduduk memeluk lutut. Entahlah, di mana aku saat itu. Perlahan bangkit, memeriksa sekujur tubuhku. Selain helaian rumput kering yang menempel di pakaianku, sepertinya semuanya baik-baik saja.
Aku memandang sekeliling, memindai lokasi. Semuanya benar-benar hanya rumput di depanku, tapi saat aku berbalik, hanya sekitar lima puluh meter dariku, tampak sebuah pondok kayu berlatarkan pepohonan yang berjarak cukup jauh satu dengan yang lainnya, berderet ke arah kiri dan kanan pondok. Kesan sunyi dan sedih dari pondok tersebut dan angin dingin yang berembus dari hutan itu tiba-tiba membuatku bergidik.
Apa lagi yang mungkin ada di dalam sana, di tempat sepi seperti itu yang aku yakin jauh dari mana pun, selain ....
Tidak. Sadar, Almila! Aku cepat-cepat menghalau bayangan mistis yang begitu saja melintas di benakku. Bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal-hal seperti itu.
Beberapa detik kemudian, barulah kulihat ada secercah cahaya, jauh di balik pepohonan, di ujung jalan setapak yang lurus tak jauh dari pondok. Jalan keluar? Hmm, sepertinya hutan itu hanya meluas ke samping alih-alih ke dalam.
Sejenak aku ragu apakah aku harus melewati pondok suram itu untuk keluar dari padang rumput, atau sebaiknya aku mencari jalan lain. Aku tidak mau mengambil risiko tiba-tiba dicegat sesuatu di tengah jalan.
Tapi, berdasarkan pengalaman, kesempatan dan jalan keluar tidak selalu ada lebih dari satu. Jadi aku pun memberanikan diri untuk berjalan ke sana, menembus rumput-rumput yang lebih pendek dibanding yang pertama kulihat tadi. Mengendap-endap saat di dekat pondok, berharap sekali itu saja aku mendadak mendapatkan kekuatan The Flash agar bisa langsung kabur begitu ada yang muncul.
Selagi memikirkan itu, aku justru lupa mengawasi langkah dan malah menginjak sebuah ranting kering. Suara "krak"-nya membuat jantungku nyaris copot. Untungnya akal sehatku masih bekerja. Kedua kakiku langsung membawaku berlari sekencang-kencangnya alih-alih membeku di tempat menunggu kepergok oleh apa pun penghuni pondok itu.
Tiba di ujung hutan, aku menoleh dengan waswas ke belakang, dan menghela napas lega saat melihat tidak ada apa pun di sekitar pondok yang sekarang tampak sangat kecil dari tempatku berdiri. Aku mulai menatap sekeliling, dan terkesiap.
Persis di depanku adalah sebuah jurang lebar, berlatarkan pemandangan lembah dan gunung yang tampak megah disinari cahaya matahari senja. Rumah-rumah, sungai yang berkelok, dan pucuk pepohonan yang berwarna oranye keemasan, semuanya tampak kecil dari situ, membuatku terkesima.
Sesaat aku terlena oleh perasaan seakan berada di negeri dongeng. Semua pemandangan itu benar-benar membuatku ingin terbang di atasnya. Mungkin kalau aku melompat ke sana, aku akan bisa melayang turun ...
Kakiku sudah mencapai bibir jurang saat mendadak sesuatu meraih dan menyentakkan lenganku dari belakang dengan keras hingga aku tertarik dua meter dari tempatku semula, nyaris kehilangan keseimbangan kalau tidak ditahan sesuatu itu. Aku begitu terperanjat sehingga lupa menjerit.
Dua detik, kakiku seakan lumpuh, aku hanya memandang bayangan sesuatu atau seseorang di dekat kakiku tanpa berani mendongak. Mungkinkah ia si penghuni pondok? Dia mengikutiku? Eh, apakah kakinya menyentuh tanah?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Maze of Struggle
Teen FictionCover by @EzraAryakirana Blurb: Menginjak tahun pengujung, Almila Zaara baru menyadari bahwa ia belum mempersiapkan apa pun untuk akhir masa setingkat SMA-nya. Padahal, tantangan bagi siswa kelas 12 bukan lagi sekadar ujian akhir. Ujian masuk pe...