Kalau ada yang bilang bahwa menyibukkan diri itu efektif untuk menghapus baper dan mempercepat proses move on, well, sepertinya ada benarnya.
🍃🍃🍃
Meskipun kesibukan itu hanya berupa soal-soal dan soal lagi setiap hari, harus kuakui semua ini memang membantuku melupakan insiden dengan Arslan berminggu-minggu yang lalu dan kegelisahan karena lagi-lagi Rathan tidak meninggalkan kabar di manapun.
Terakhir kulihat ia seminggu lalu, tidak membawa seragam hitam-hitamnya, datang hanya untuk menemui Kak Rafa, bicara panjang lebar, kemudian pergi lagi. Dia tidak melihatku yang mengamatinya sambil memutar-mutar toya dengan frustrasi.
Entah perasaanku saja atau memang kenyataan, rasanya gerakan Rathan sekarang tidak setangkas dulu. Berjalan saja dia tidak pernah bergegas lagi, selalu tenang dengan irama tetap. Ah. Dia tidak sedang sakit, kan?
Argh. Kenapa aku jadi memikirkannya lagi? Kutatap lagi soal-soal try out di layar laptop, menghela napas.
Masih ada sisa lima belas menit sebelum waktunya habis. Sistem platform try out ini tidak mengizinkan skip ke subtes berikutnya jika sudah selesai. "Sistem seperti UTBK asli" itu sepertinya kali ini sungguhan. Great.
Menyisakan kegabutan karena aku tidak berminat lagi memeriksa jawaban soal Matematika Saintek. Toh, mau kubaca seratus kali pun aku tidak akan bisa mengerjakannya. Lebih baik aku mengambil camilan di dapur.
Mama sedang duduk di kursi makan sambil menatap layar HP-nya, mendongak saat aku mendekat.
"HSAB lagi ngadain tur ke pabrik pesawat, udah tahu?" tanyanya, sementara aku mengambil es krim di kulkas.
HSAB. Home Schooling Anak Bangsa. PKBM tempatku terdaftar sebagai siswa.
"Iya, kemarin udah ada pengumumannya juga di grup."
"Enggak tertarik ikut?"
"Enggak," sahutku, menoleh pada mama. "Jadwalnya juga bentrok sama acara try out bareng Raine dan Nea. Sayang udah bayar."
"Halah." Mama mendecak, meletakkan HP-nya sambil geleng-geleng kepala. "Try out melulu perasaan, kemarin udah try out aja terus seharian di kamar, kemarinnya lagi try out di bimbel. Enggak capek?"
Aku hanya menyeringai, tidak menjawab. Mama enggak tahu saja, try out itu bagiku semacam penebusan rasa bersalah karena aku sama sekali tidak berminat membaca ulang materi yang ada. Buat apa?
Aku memang ingin kuliah, tapi tidak ada yang bisa menjamin apakah aku akan berhasil masuk prodi dengan yang masuk kategori terfavorit se-Indonesia itu. Dengan segala kekacauan cara belajar dan urusan cowok yang tiap sebentar menyita pikiran, entah apa yang akan terjadi nanti. Try out dan kelas di bimbel jadi sedikit penghiburan agar tidak terlalu merasa tidak enak jika tidak belajar sama sekali.
Mama tidak mengatakan apa-apa lagi, bangkit dan berjalan ke luar sambil bicara tentang tanaman stroberinya yang mulai berbuah dan kurespons seadanya.
Ah, mendengar kata stroberi, aku jadi teringat pada pohon murbei di taman dekat rumah Arslan. Sudah lama aku tidak mampir ke taman itu sejak kejadian di tugu. Sampai sekarang aku masih tidak tahu kenapa dia bereaksi seperti itu. Raine juga tidak pernah membahasnya lagi, bahkan selalu menolak mengambil jalur yang melewati rumah Arslan ketika kami lari pagi atau bersepeda. Katanya, dia sedang tak ingin bertemu dengan cowok itu.
"Dia membatalkan amanat yang dititipkan padanya," begitu kata Raine dengan ketus saat aku menanyakan alasannya.
Aneh. Tapi, aku tidak berani bertanya lagi karena Raine langsung mengalihkan topik dan menolak membicarakannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Maze of Struggle
Teen FictionCover by @EzraAryakirana Blurb: Menginjak tahun pengujung, Almila Zaara baru menyadari bahwa ia belum mempersiapkan apa pun untuk akhir masa setingkat SMA-nya. Padahal, tantangan bagi siswa kelas 12 bukan lagi sekadar ujian akhir. Ujian masuk pe...