7. Insiden Masker

20 4 0
                                    

Reaksi dan respons orang terhadap sesuatu itu sulit diprediksi. Belum lagi misteri dari alasan reaksinya tersebut.

🍃🍃🍃

Sepertinya harapan itu harus kandas, persis keesokan harinya. 

Raine lagi. Dia menghubungiku pukul tujuh pagi, langsung bicara tanpa koma begitu teleponnya kuangkat. Yang berhasil kutangkap hanya bahwa dia memintaku menemaninya ke rumah Arslan untuk mengantarkan titipan ibunya. Dari mulai merayu untuk sekalian lari pagi, sampai merajuk bilang kalau dia enggak mungkin pergi ke rumah cowok sendirian. Alasan kuat yang enggak bisa kubantah. Raine anak tunggal, tidak ada saudara yang bisa dia suruh.

Dengan mengomel, akhirnya aku mengizinkannya untuk nyamper* ke rumah. Pada mama, aku minta izin untuk lari pagi. Beruntung, kali itu mama sedang tidak berminat jalan-jalan, jadi beliau mengizinkanku pergi bersama Raine.

Lima menit kemudian, kami sudah berjalan santai menuju rumah Arslan. Aku baru tahu, bunda Arslan adalah teman lama ibu Raine. Beliau menitipkan pesanan perlengkapan untuk kerajinan tangannya saat keluarga Raine pergi ke Lembang kemarin. Raine bilang, bunda Arslan punya bisnis macramé dan terampil membuat decoupage. Istilah yang asing di telingaku, tapi Raine menolak menjelaskan.

"Nanti juga kamu lihat sendiri. Keren pokoknya, aku yakin kamu suka."

Arslan sedang tidak di rumah saat kami tiba, membuatku nyaris menjeritkan kelegaan pada burung-burung yang ramai berkicau di halaman samping rumah kecil itu. Bunda Arslan ternyata seorang wanita dengan postur tubuh sedang dan berpenampilan rapi meskipun mengenakan setelan rumahan. Kerut-kerut halus samar terlihat di wajahnya yang tenang dan menyenangkan.

Beliau menyambut kami dengan senyum yang tipis tetapi ramah yang langsung mengingatkanku pada putranya. Great. Meskipun orangnya tak ada, rupanya masih bisa ada stimulus lain untuk membangkitkan perasaan aneh itu. Tidak. Ingat Rathan, Aila.

Bunda Maiza, begitulah ia memperkenalkan dirinya padaku. Raine sempat menyikutku untuk melepaskan masker, tapi aku menggeleng. Untunglah Bunda Maiza tidak berkomentar. Aku sebetulnya ingin segera menarik Raine pergi begitu titipannya diberikan, tapi Raine malah mengatakan kalau aku ingin melihat hasil karyanya.

"Boleh. Sebentar ya, saya bukakan dulu pintunya." Bunda Maiza kemudian kembali ke dalam rumah, meninggalkanku yang sekarang melotot pada Raine.

"Kalem aja, La, kapan lagi coba. Kalaupun nanti Arslan pulang, pura-pura enggak ada apa-apa aja." Raine mengedipkan mata, dengan santai malah berjalan ke arah pintu kaca di sisi lain rumah.

Aku mengeluh dalam hati, tapi Raine benar, aku memang penasaran dengan macramé dan decoupage yang disebutkannya tadi. Jadi aku mengikutinya ke depan pintu dengan dream catcher besar berwarna cokelat dan putih yang bertuliskan "Welcome" di jaring-jaringnya. Cantik sekali.

Satu bayangan yang bergerak terlihat di balik kaca itu, kemudian Bunda Maiza muncul, membukakan pintu dan menyalakan lampu, lalu mempersilakan kami masuk. Raine melenggang dengan santai, aku mengekorinya.

Pemandangan di dalam membuatku terbelalak. Ada banyak pot yang tergantung, dream catcher seperti yang ada di pintu, beragam hiasan dinding, tas, aksesoris, sampai tempat tidur gantung yang berjajar ke atas di salah satu pojok. Tapi, yang menarik adalah ... semuanya dari tali!

"Ini yang namanya macramé, La."

Aku menoleh. Raine tengah merentangkan tali ikat putih yang tergulung seperti bola benang. Aku mendekat, meraba tali itu.

"Tali?"

"Ya, Nak Aila. Macramé itu seni membuat kerajinan tangan dari tali ikat seperti ini," kata Bunda Maiza, menunjukkan gulungan tali lain yang berwarna hijau lumut. "Tali ini nanti dijalin dengan teknik-teknik tertentu, tergantung mau dijadikan apa. Untuk bikin gantungan pot, hiasan dinding, atau tas, tekniknya berbeda-beda, hanya simpul-simpul dasarnya yang sama. Contohnya seperti ini."

The Maze of StruggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang