Apakah setiap bentuk kepedulian, perhatian, pengertian, harus selalu memiliki alasan? Jika ya, tidak aneh bukan, jika alasan kepeduliannya itu kupertanyakan?
🍃🍃🍃
"Try out, seminar motivasi ... wah! Kita harus ikut, La, ini kesempatan bagus untuk cari motivasi ngambis."
Aku mengangkat kepala dari soal yang sedang kukerjakan. Mengamati ekspresi Raine yang tampak antusias menatap layar HP-nya.
"Yah, masa pendaftaran early bird-nya sudah habis, huh, coba aku tahunya kemarin-kemarin," rutuknya tanpa mengalihkan pandangan. "Nah, presale 1 bakal mulai lusa, La. Aku mau kasih tahu Nea juga ah, nanti kita bertiga bareng ke sana, gimana?" Raine akhirnya mendongak. Tatapan kami bertemu, dan seketika Raine mengernyitkan kening. "Kenapa, La?"
Aku mengerjap sesaat, kembali menatap buku. "Gapapa."
"Jangan bilang kamu masih kepikiran sama kata-kata Arslan tadi."
Aku menjatuhkan bolpoinku ke atas meja, membuat bunyi detakan keras bersamaan dengan seruan kekiku, "Bukan Arslannya, ih! Aku cuma ingin tahu alasan dia berkata seperti itu, Rai, bukannya tadi kamu menanyakan itu ke dia?"
Mulut Raine terbuka. Sedetik, dua detik, tawanya tiba-tiba meledak. "Ya ampun, Laaa! Jadi dari tadi kamu pengin tahu apa yang Arslan katakan padaku? Kenapa enggak tanyain aja dari tadi, sih, aduh." Raine geleng-geleng kepala, ekspresinya tampak puas sekali saat aku melemparnya dengan penghapus.
Entah sudah seperti apa wajahku saat ini, yang jelas sepertinya Raine cepat menangkapnya sebagai sinyal bahwa aku penasaran dengan cowok itu. Sialnya, dia benar. Bagaimana tidak, sudah seperempat jam kami duduk di sini, Raine malah mengoceh tentang perjalanannya ke Lembang dan kemudian berlanjut dengan celotehan tentang try out yang dibahas teman-temannya di sekolah. Ha. Padahal aku sudah setengah mati menahan rasa gemas karena kepo berat mengenai pembicaraannya dengan Arslan tadi.
Tidak mungkin Arslan begitu saja bicara seperti itu tanpa alasan, kecuali dia memang tipe orang resek yang suka mencampuri urusan orang lain seperti yang kukatakan padanya tadi. Tak kusangka, sikap kalem dan sopan yang dia tunjukkan saat pertama bertemu itu ternyata bukan sifat aslinya. Tipikal. Aku mendengkus pelan, menutup halaman soal Pengetahuan Kuantitatif yang sejak tadi baru bisa kukerjakan satu.
Raine sudah berhenti tertawa, sedang mengunyah bolu susu bawaannya tadi dengan tampang serius.
Ya ampun. Dia bukan sedang melupakan lagi urusan tadi, kan? "Rai."
Cewek tomboi itu bergeming, masih menatap lurus ke arah belakangku, sampai-sampai aku ikut menoleh untuk memastikan kalau tidak ada Arslan di sana. Dan memang tidak ada. Fiuh. Tapi, apa yang dilihat Raine kalau begitu?
"Raihana Noer Eshara, kau dengar aku?"
"Ya, aku dengar, Almila Zaara," Raine akhirnya menyahut, masih dengan ekspresi yang sama.
Aku menyemburkan napas, berusaha mengendalikan diri. "Jadi?"
Raine mengalihkan pandangan ke arahku, sedetik, dia kembali memandang ke arah lain, kali ini terlihat menahan senyum. "Masalahnya, memang tidak ada yang menarik, La. Arslan hanya menceritakan ulang kejadian tadi sebelum aku datang, lalu menyuruhku untuk menyampaikan padamu agar bercerita saja padaku kalau ada apa-apa, kalau tidak mau cerita sama dia. Well, dia benar, aku setuju."
Raine kali ini menatapku tajam. "Kamu masih suka diem-dieman aja kalau ada apa-apa, La. Kenapa enggak cerita aja, sih? Apa gunanya aku jadi sahabatmu selama dua tahun ini kalau aku enggak bisa jadi tempat kamu cerita, hah?"
Kegeregetan yang tadinya ingin kusemburkan saat mendengar perkataannya tentang Arslan, lesap seketika.
Ah, Rai, what can I say. That's just not the case.... Aku memilih mendongak, memperhatikan burung-burung terbang berlatarkan langit jingga.
"Terus terang aku malah jadi merasa bersalah gara-gara Arslan bilang begitu, juga tentang kejadian bolpoin tadi. Ya ampun, sahabat macam apa aku sampai tidak tahu keadaan sahabatnya sendiri?" Omelan Raine ternyata masih berlanjut.
Tapi, dia menyebut-nyebut bolpoin. Oh ya ampun, kenapa mereka berdua meributkan masalah itu, sih? "Emang kenapa dengan bolpoin?"
Raine membalas tatapanku dengan mata menyipit. "Kamu sungguhan enggak tahu atau enggak sadar?"
"Tentang apa?" Aku mengangkat alis. Memikirkannya sejenak. "Bicara dengan benda?"
Raine mencebik. Dia melihat kanan-kiri sebelum beranjak dan duduk di sebelahku, mencerocos bahwa aku mestinya tidak melakukan itu di depan umum karena mereka akan menganggapku sebagai ODGJ, kalau bukan gila. Tidak semua orang tahu arti sebenarnya dari hobi berbicara pada benda mati. Ya, Raine tahu kebiasaanku itu, dan dia juga tahu kalau aku melakukannya karena ada perasaan sentimentil terhadap benda-benda pribadiku, selain karena alasan lain yang selalu didengungkannya dengan bangga di hadapanku.
"Arslan tidak tahu itu," tukasnya. "Dia menganggap kamu kesepian atau semacamnya, katanya tadi."
Aku melongo.
Raine tidak mengacuhkan reaksiku. "Dan gara-gara dia, sekarang aku juga jadi menyangka kamu kenapa-kenapa sampai bicara dengan bolpoin. Kamu benar enggak apa-apa, kan? Enggak ada masalah dengan Rathan atau keluargamu?"
Rathan, ya. Well, aku tidak tahu apakah menghilang tanpa kabar itu suatu masalah atau bukan, tapi sepertinya itu bukan sesuatu yang perlu diributkan saat ini. Keluarga? Hmm ... itu juga bukan topik yang pantas kuceritakan padanya. Jadi kubalas pertanyaan Raine dengan cengiran kecil. "No worries. Everything's fine."
Kuabaikan ekspresi ketidakpuasan Raine yang jelas sekali terlihat dari keningnya yang masih berkerut. "Makasih sudah bertanya, anyway. Lupakan soal Arslan. Berarti dugaanku benar, dia cuma sok tahu." Ya, itu saja dulu untuk saat ini, meskipun separuh hatiku masih merasa ada sesuatu dari yang dilakukan Arslan itu.
Yah, that can wait. Masjid mulai memutarkan muratal dan langit mulai gelap. Aku mulai membenahi buku-buku, mengabaikan Raine yang masih ngedumel, tapi ikut membereskan barang bawaannya juga.
Lupakan tentang soal-soal dan rangkuman itu. Tidak ada yang bisa menyelesaikan sesuatu jika dalam kondisi mood yang berantakan seperti ini. Itu sebabnya aku baru kembali membuka buku malam harinya, pukul sepuluh malam, sesudah menghibur diri dengan bermain HP.
Enggak heran kalau banyak temanku yang memilih untuk berhenti pacaran saat menjelang masa sibuk dan menjelang ujian seperti ini. Ha, jangankan yang sudah jadian, ketidakpastian dalam memendam perasaan saja sudah bisa bikin hati kehilangan orientasi.
Aku jadi ingat kata-kata Laiz tentang Shevira.
Menarik. Bahkan adikku yang masih setingkat SMP saja tahu tentang hal ini. Wajar juga kalau dia merasa bahwa Rathan akan menghambat lagi kelancaran proses belajarku untuk ujian akhir. $!!@#@!#!
Tidak. Enggak boleh. Aku tidak akan membiarkan Rathan disalahkan lagi untuk ini, meskipun hanya Laiz yang melakukannya.
Tentang Arslan .... Ya ampun. Kenapa aku malah memikirkan dia? Fokus, Aila, fokus! Aku mencorat-coret kertas buram dengan jengkel. Entah kenapa sekarang rasanya Arslan seperti orang yang hadir sebagai ujian atas kesetiaan perasaan yang kusimpan untuk Rathan. Menggelikan.
Tapi, harus kuakui dia punya daya tarik, terlebih lagi, dia terbukti sangat pengamat. Or should I say ... perhatian? Kata-katanya tadi sore ... ya, Raine tidak perlu tahu kalau Arslan sebenarnya mengatakan kebenaran. Senyum tipisnya saat menyuruhku bercerita padanya saja jika sedang kesal ... ya ampun!
Kubanting menutup sampul buku soal TPS tebal itu, lantas beranjak untuk menjatuhkan diri di atas tempat tidur.
Lupakan. Lupakan tentang Arslan dan soal-soal. Kubenamkan muka di bantal, berharap bisa menghilangkan keruwetan dalam pikiranku dengan tidur. Melupakan senyum tipis yang masih terlihat meski mata kupejamkan erat-erat itu.
Yah, setidaknya itu harapanku.
-----------------
To be continued...
--Senin, 30 November 2020--
KAMU SEDANG MEMBACA
The Maze of Struggle
Roman pour AdolescentsCover by @EzraAryakirana Blurb: Menginjak tahun pengujung, Almila Zaara baru menyadari bahwa ia belum mempersiapkan apa pun untuk akhir masa setingkat SMA-nya. Padahal, tantangan bagi siswa kelas 12 bukan lagi sekadar ujian akhir. Ujian masuk pe...