Siang itu Suster Park mampir sebentar ke apartemen milik Jihoo. Karena Dokter Kim menitipkan obat tambahan untuk Jihoo sekaligus memberikan jadwal konsultasi yang hendak ingin ia sarankan.
Suster Park ini berpenampilan ceria, hangat, menenangkan. Ia selalu tahu bagaimana menghadapi Jihoo yang keras kepala dan emosian. Beruntung semenjak Yeji tinggal dengannya, Jihoo bisa menjadi lebih sabar sedikit dan lebih bisa mengontrol emosinya sedikit demi sedikit.
Meskipun ini tidak mudah untuknya.
"Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot begitu. Aku hanya masih sedikit takut untuk pergi ke psikolog. Tapi terima kasih untuk rekomendasi jadwalnya." Ujar Jihoo siang itu kepada Sister Park.
"Kau tahu tidak? Untuk pertama kali aku mendengar kau berbicara selembut ini denganku." Komentar Suster Park sambil tersenyum.
"Berarti memang sikapku selama ini buruk sekali. Maafkan aku, Suster Park... Jungyeon." Ujar Jihoo sambil mengeja nama lengkap Suster Park di name tagnya.
"Tidak masalah, Jihoo-ssi. Aku mengerti bagaimana emosimu. Kau... Mendadak menyalami kecelakaan di tengah puncak karirmu dan tidak bisa melanjutkan apa yang seharusnya menjadi impian dan cita-citamu. Siapa yang tidak hancur jika mengalami kejadian seperti itu." Balas Suster Park sambil tersenyum lagi berusaha untuk memaklumi.
Sebagai suster, memang Suster Park selalu berusaha memahami pasiennya sebaik mungkin. Apalagi jika pasiennya seperti Jihoo.
"Terima kasih atas pengertianmu. Mulai saat ini aku berjanji akan mulai bersikap baik." Ujar Jihoo sambil setengah membungkuk di depan Suster Park.
"Yah, tidak perlu membungkuk di depanku." Kekehnya pelan.
"Suster Park, agar lebih akrab bisakah jangan terlalu formal denganku? Sepertinya usia kita juga tidak begitu jauh." Lanjut Jihoo menyarankan.
"Baiklah. Asalkan kau juga cukup panggil aku Jungyeon saja. Kalau memang kau rasa kita seumuran." Balasnya.
"Kalau begitu, Park Jungyeon. Mari kita ulang perkenalan kita. Aku, Lim Jihoo. Dua puluh lima tahun. Mantan atlet voli." Ujar Jihoo sambil mengulurkan tangannya.
Jungyeon lagi-lagi hanya tertawa pelan saja menanggapinya. Ia juga membalas uluran tangan Jihoo dan menjabatnya.
"Aku Park Jungyeon, dua puluh enam tahun. Seorang suster." Balasnya.
"Ah, tetap saja kau lebih tua setahun dariku. Kau seusia dengan Dami, kakakku. Ngomong-ngomong." Komentar Jihoo.
"Benarkah begitu?" Tanya Jungyeon sambil tertawa kecil.
Jihoo menganggukkan kepalanya membenarkan.
Ada yang membuat hatinya menghangat setelah percakapannya barusan dengan Suster Park, alias Jungyeon. Ia merasa senyum yang Jungyeon lontarkan begitu tulus. Meskipun selama ini ia telah bersikap buruk dengannya.
Jungyeon memiliki senyum yang bisa menular. Sehingga tanpa sadar Jihoo pun ikut dibuat tersenyum juga karenanya.
"Kenapa menatapku begitu?" Tanya Jungyeon yang sepertinya sedikit tersipu malu karena Jihoo menatapnya dalam-dalam.
"Tidak. Aku hanya sedikit menyesal karena sempat bersikap buruk. Padahal kau memiliki senyum yang bisa menular."
Langsung saja Jihoo memukul kepalanya pelan begitu selesai mengatakan hal barusan. Memalukan sekali rasanya.
Astaga, Lim Jihoo bodoh. Kenapa berkata seperti itu di depannya. Memalukan.
Jungyeon tertawa kecil, lagi-lagi, untuk menanggapinya. Sedikit tidak percaya bahwa pria yang selama ini selalu memarahinya karena tidak mau diterapi ternyata bisa bersikap cheesy juga.
"Aigoo, apa aku mengganggu kalian?"
Jihoo mendengus pelan ketika melihat Yeji dengan tiba-tiba turun dari kamarnya. Sepertinya hendak pergi berkuliah.
Sementara Yeji yang sebenarnya sejak tadi sudah memperhatikan obrolan mereka dari lantai atas hanya bisa tersenyum jahil saja di depan Jihoo. Lalu ia akhirnya pergi meninggalkan apartemen bergegas untuk kuliah.
***
Malam hari, Dami menyempatkan mampir sebentar ke apartemen Jihoo sendiri untuk menengok keduanya. Donho bilang ia ada urusan sehingga tidak bisa ikut menemani Dami.
"Dimana Kak Donho?" Tanya Yeji sambil membantu menyiapkan makanan yang Dami bawakan.
"Donho bilang ia masih ada kesibukan. Jadi tidak bisa menemani." Jawab Dami.
"Atau sebenarnya ada yang ia sembunyikan makanya dia enggan kemari?" Celetuk Jihoo asal dari ruang TV.
"Haish, apalagi yang dikatakan si kepala batu itu..." Gerutu Yeji pelan sambil menggelengkan kepalanya.
Namun sepertinya kali ini Dami bereaksi lain. Ia langsung menghampiri Jihoo yang sedang bersantai di ruang tengah.
"Kau ada masalah apa denganku? Dengan suamiku?" Tukas Dami tiba-tiba.
Jihoo hanya melirik saja tidak tertarik ke arahnya. Sementara Yeji di dapur mulai khawatir. Sepertinya akan ada pertengkaran sehabis ini.
"Lim Jihoo! Dengar tidak?! Jujur ya, aku lama-lama muak menghadapi sikapmu yang suka seenaknya! Kau seakan menyalahkanku dan Donho atas apa yang semuanya terjadi." Lanjut Dami lagi.
"Mana ada aku bilang aku menyalahkanmu? Aku hanya tidak nyaman dengan sikap suamimu. Kau tahu?" Balas Jihoo acuh lagi sambil memutar bola matanya malas.
"Cukup, ya. Apapun itu, aku tidak ingin kau melontarkan perkataan seperti tadi. Tidak akan pernah ada yang aku dan Donho sembunyikan darimu dan juga dari kalian." Ujar Dami akhirnya sambil menghela nafasnya.
"Terserah."
Jihoo menaiki kursi rodanya kemudian bergegas pergi ke kamar meninggalkan Dami disana. Sepeninggal Jihoo, Dami langsung memijit kepalanya yang mendadak pusing hingga terduduk di sofa.
Buru-buru, Yeji menghampirinya sambil membawakan segelas air putih.
"Kak Dami." Panggil Yeji.
"Aku... Salah ya?" Tanya Dami pelan kepada Yeji.
Yeji hanya menggelengkan kepalanya saja menanggapinya. Ia kemudian memeluk Dami disana. Menenangkannya pelan-pelan.
"Tidak ada yang salah. Kak Jihoo hanya masih terguncang saja, Kak. Makanya emosinya tidak stabil. Semuanya pelan-pelan saja ya, kak? Kita hanya bisa mengandalkan waktu untuk sekarang." Ujar Yeji cukup panjang.
Dami tersenyum menatap sepupunya itu. Tidak disangka Yeji bisa berpikiran sedewasa tadi.
Pantas saja Jihoo tidak pernah marah-marah dengannya. Dan Yeji betah-betah saja tinggal disana.
"Aku berterima kasih sekali kau masih tahan menghadapi dia." Ujar Dami sambil menggenggam tangan Yeji.
"Iya, Kak. Percaya padaku. Semua akan baik-baik saja."
***