Yeonjun berjalan gontai memasuki rumahnya. Wajahnya mendadak pucat pasi setelah pulang dari makam, membuat seluruh penghuni rumah menjadi cemas.
Bruk!
Bibi Han yang tengah membersihkan ruang tamu, seketika berlari menuju Yeonjun yang ambruk tak jauh dari tempatnya. Wanita paruh baya itu meminta bantuan pada beberapa penjaga, untuk membantunya memapah Yeonjun menuju kamar lelaki itu.
Keadaannya begitu mengkhawatirkan, bibirnya terus saja menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.
"Tuan muda, sebenarnya apa yang terjadi padamu?" tanya Bibi Han.
Bibi Han adalah wanita yang bekerja di keluarga Choi lebih dari 30 tahun, wanita itu mengabdikan seluruh hidupnya demi keluarga Yeonjun. Ia telah berusaha menjadi sosok Ibu bagi Yeonjun dan Soobin, meski tak dipungkiri jika kasih sayang mereka padanya tak sebesar kasih sayang mereka pada sang Ibu yang sebenarnya.
Disaat Nyonya Choi meninggal tepat setelah melahirkan Soobin, wanita itu berpesan pada Bibi Han untuk menyayangi mereka layaknya putranya sendiri.
"Aku harus menelepon Tuan muda Soobin," putusnya setelah lama berpikir.
Wanita itu mengambil ponsel Yeonjun yang berada di kantung celana lelaki itu. Meski terlihat lancang, tapi hanya ini satu-satunya cara agar Soobin cepat mengangkat panggilannya. Biasanya Soobin selalu sibuk dan bahkan jarang pulang ke rumah, karena itu ia dengan sengaja menggunakan ponsel Yeonjun.
"Halo? Tuan muda Soobin?"
"Bibi Han?"
Soobin yang baru saja sampai ke rumah sakit, sontak terkejut dengan panggilan dari Yeonjun. Namun, lelaki itu bertambah bingung sebab suara yang didengarnya buka suara sang kakak, melainkan Bibi Han.
Maniknya menatap layar ponselnya, memastikan jika yang menelepon dirinya benar-benar nomor telepon milik Yeonjun.
"Bibi Han? Kau masih di sana?"
"Tuan muda Yeonjun pingsan, Bibi tidak tahu apa yang telah terjadi padanya,"
Mendengar apa yang dikatakan Bibi Han, Soobin buru-buru mematikan sambungan teleponnya, lelaki itu bergegas menuju ke tempat parkir untuk mengambil mobilnya.
Ketahui lah, Soobin masih saja memedulikan kakaknya, meski lelaki itu telah disakiti dan selalu di ujung tanduk kematian. Sungguh miris.
Dengan kecepatan di atas rata-rata, Soobin menyetir mobilnya membelah jalanan kota Seoul, kota metropolitan yang selalu saja membuat dirinya terjebak macet, jika tidak menggunakan jalan pintas.
Drtt ... Drtt!
Maniknya masih fokus pada jalan yang saat ini tengah mobilnya lewati. Mengabaikan ponselnya yang sibuk berdering di jok samping kemudi, saat ini yang terpenting baginya adalah memastikan jika keadaan kakaknya baik-baik saja. Katakan saja jika Soobin adalah lelaki yang bodoh, bahkan terbodoh di dunia ini. Namun, lelaki itu tidak akan pernah menggubris orang yang mengatakan dirinya bodoh. Karena hanya Yeonjun yang ia punya, untuk Ayah? Lelaki itu bahkan tidak dekat dan merasa asing dengan Ayahnya sendiri.
"Kak Yeonjun, bertahanlah!" teriaknya parau.
Setelah lama melakukan perjalanan menuju rumahnya, akhirnya Soobin berhasil sampai dengan selamat. Lelaki itu memarkirkan mobilnya sembarangan di halaman luas rumahnya, kemudian berlari secepat mungkin menuju kamar Yeonjun.
Tangannya menggebrak pintu kamar Yeonjun kasar. Maniknya bertemu pandang dengan manik Yeonjun, yang kini tengah memakan bubur di atas ranjang. Bibi Han memilih untuk membungkukkan badannya dan kemudian keluar dari kamar tersebut, memberikan ruang untuk Soobin agar dapat merawat kakaknya yang tengah sakit.
“Ck, kau senang? Aku membunuh tunanganku sendiri?” tanya Yeonjun menyindir.
Tatapan sayu Soobin, seakan membuat hati Yeonjun tergerak. Lelaki dingin itu kemudian memilih untuk memalingkan pandangan ke sembarang arah, tidak ingin bertatapan dengan adiknya terlalu lama.
Senyum Soobin, tatapan mata Soobin dan sifat Soobin. Semua itu hampir sama persis dengan Ibunya. Yeonjun sebenarnya benci mengakui hal ini, tapi, lelaki itu terkadang merasa nyaman saat berada di samping adiknya. Apa karena adiknya itu memiliki apa yang Ibunya miliki? Jadi dirinya merasa nyaman? Meski terdapat rasa benci di dalamnya.
“Kak, Lia tidak selamat,” lirih Soobin kemudian.
❤❤❤
"Kenapa dia belum sadar juga?" tanya Taehyun.
Beomgyu dan Yiren hanya dapat menggelengkan kepala mereka serempak. Melihat Yuna yang belum sadarkan diri setelah mendengar jika Lia meninggal dunia, membuat Taehyun, Beomgyu dan Yiren semakin cemas. Tidak ada yang dapat mereka lakukan di sana selain menunggu sadarnya Yuna. Terlebih lagi, mereka merasa kesal kepada Soobin yang tiba-tiba menghilang tanpa seorang pun tahu di mana keberadaannya saat ini.
"Apa kau sudah mencoba untuk menelepon Soobin, lagi?" tanya Taehyun lagi.
Beomgyu mengangguk pelan. "Hanya saja ponselnya tidak aktif,"
Kaki Taehyun dengan sengaja menendang meja yang berada di sana, membuatnya harus mendapatkan tatapan tajam dari Beomgyu.
"Pakai sopan santunmu!" pinta Beomgyu.
"Terserah aku ingin melakukan apa," cibir Taehyun, merasa tidak terima jika Beomgyu menyinggungnya soal sopan santun.
Yiren yang melihat perdebatan antara Beomgyu dan Taehyun, lebih memilih untuk menutup bibirnya rapat. Gadis itu tahu betul bagaimana sifat Taehyun, lelaki yang menyandang marga Kang itu adalah orang yang mudah tersinggung, jadi setiap orang harus benar-benar memperhatikan apa yang akan mereka bicarakan pada Taehyun.
"Bisakah kalian berhenti berdebat? Apa ka—“
Kalimat Yiren terpotong sebab Beomgyu dan Taehyun yang seketika beranjak bersama meninggalkannya. Gadis itu berdecak kesal sembari melihat punggung kedua lelaki yang kini mulai menghilang dari balik pintu.
"Miris sekali kau, Wang Yiren!" kesal gadis itu.
Yiren pun ikut beranjak dari sana, meninggalkan Yuna yang masih belum sadarkan diri. Namun, tepat disaat Yiren keluar dari kamar rawat itu, Yuna membuka matanya secara perlahan. Mengerjapkan matanya, samar-samar maniknya dapat melihat dengan jelas sebuah atap putih yang berada di atas sana.
"Apa yang terjadi padaku?" gumamnya.
Dengan hati-hati gadis itu berusahalah untuk duduk, meski tak dipungkiri jika kepalanya masih merasakan pusing yang amat menyakitkan.
Sedetik kemudian, Yuna teringat akan Lia, gadis itu dengan tiba-tiba menjatuhkan diri dari ranjang. Karena kakinya yang belum begitu kuat untuk menumpu berat tubuhnya, membuatnya terjatuh di atas dinginnya lantai.
"Aku harus menemuinya, adikku pasti masih hidup!" teriaknya.
Yuna ingat peristiwa apa yang telah terjadi sebelum dirinya tidak sadarkan diri. Dengan tenaga yang tersisa, gadis itu berusaha untuk berjalan menuju pintu, meski harus berpegangan pada dinding.
Cklek!
"Soobin? Soobin, apa itu kau?" tanyanya gelagapan.
"Miris sekali hidupmu? Apa kau tidak memiliki tenaga, lagi?"
Itu bukan suara Soobin, tapi suara itu begitu tidak asing baginya. Dengan cepat Yuna mendongakkan kepala, menatap seorang lelaki dengan seringai yang menghiasi bibirnya, serta tatapan yang menyiratkan sebuah keputus-asaan.
"Yeonjun?"
Lelaki itu—Choi Yeonjun, berjalan pelan ke arah Yuna. Menyuntikkan sebuah jarum dengan cairan bius ke dalam tubuh gadis itu, sehingga pada detik kemudian, Yuna tidak sadarkan diri lagi.
Senyum lebar menghiasi bibir Yeonjun, lelaki yang sepertinya sudah gila sebab mendengar berita meninggalnya sang tunangan. Yeonjun mengambil ponsel Yuna yang berada di atas nakas, kemudian mencari kontak Soobin di sana.
"Halo? Yuna? Kau sudah sadar?"
"Hai adik manis, ini kakakmu tersayang. Apa kau tidak ingin menyapaku?"
Soobin yang sepertinya tengah terkejut di seberang sana, mengundang tawa keras dari Yeonjun.
"Temui aku jika kau ingin melihat gadismu selamat!"TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Fade Away
Fanfiction(Hanya fiksi yang penulis ciptakan) {Belum direvisi} Cover by Wooskie's Hari itu, Shin Yuna seakan tersambar petir di siang bolong, saat dirinya mengetahui sebuah fakta jika lelaki yang ia cintai merupakan tunangan adik sepupunya. Takdir seakan beg...