Chapter 18

147 8 2
                                    

Sudah beberapa hari, Raina menjauh dari Rain. Dia sangat takut beasiswanya dicabut. Rain berusaha mendekati Raina, tetapi dia selalu menghindar. Pukul 09.00, bel istirahat berbunyi. Rain menghampiri Raina.
“Rai, kita ke kantin bareng yuk!” ajak Rain.

“Maaf, Rain. Aku bareng Rina saja. Rin, kita ke kantin yuk!”

“Bentar gue, bereskan catatan dulu. Bentar lagi beres.”

Setelah Rina selesai mencatat, Raina dan Rina pergi ke kantin bersama. Rain terdiam.
“Lo yang sabar ya, Rain! Lo pasti bisa bujuk papa lo supaya terima Raina,” hibur Gino.

“Setuju, mending kita ke kantin sekarang! Takut keburu penuh,” tambah Alvin.

“Gin, pacar lo mana?” tanya Rain.

“Ghea hari ini ga masuk. Mamanya masuk rumah sakit kemarin.”

“Oh, gitu. Ya sudah, ayo kita ke kantin!”

Mereka bertiga langsung berjalan ke arah kantin. Mereka tiba di Kantin Bu Mirna.
“Lu mau pesan apa, Rain?” tanya Gino.

“Kalau gue yang kayak biasa,” ujar Alvin.

“Samain saja deh.”

“Ya sudah, lo pada duduk biar gue yang pesan.”

Rain dan Alvin duduk.
“Rain, lo hari ini ikut ke basecamp ga?” tanya Alvin.

“Hmm, gue hari ini ga dulu deh. Gue mau ke kantor Papa gue.”

“Ngapain ke sana?”

“Gue ada urusan di sana. Gue titip salam saja buat anak-anak lain.”

“Oh, gitu. Ya sudah, nanti gue sampaikan.”

Tak lama, Gino datang membawa 3 piring nasi goreng dilengkapi telur mata sapi. Ia menaruhnya di atas meja.
“Bentar, kok ada yang kurang? Risoles kesukaan kita mana?” tanya Alvin.

“Lagi digoreng. Nanti diantar,” jawab Gino.

“Oh, mantap! Kirain gue, lo lupa pesan.”

“Ya sudah, ayo dimakan! Oh iya, sebelum makan jangan lupa berdoa dulu!” ajak Rain.

Mereka bertiga berdoa terlebih dahulu. Setelah selesai, mereka mulai menyantap nasi goreng tersebut.

**
Sementara itu, Raina dan Rina sedang berada di belahan kantin lainnya. Mereka memilih makan baso tahu siomay. Sedari tadi Rina memperhatikan sahabatnya tampak tidak bersemangat. Ia hanya mengaduk-aduk bumbu siomay yang dipesannya.
“Rai, kok siomaynya ga dimakan sih? Pasti ini ada hubungannya sama Rain ya? Lo ada masalah sama Rain?” tanya Rina penasaran.

Raina terdiam sejenak. “Iya, Rin. Gue lagi ada masalah sama dia.”

“Bukannya kemarin-kemarin lo baru jadian sama dia?  Kok sekarang malah jauh-jauhan seperti ini sih? Lo berantem sama dia?”

“Gue bukan berantem sama dia. Papanya Rain nyuruh gue jauhin dia.”

What? Om Brian nyuruh lo jauhin Rain?”

“Iya, kalau ga beasiswa gue bakal dicabut.”

“Lo yang sabar ya! Sekarang lo makan dulu tuh siomaynya nanti keburu dingin gak enak.”

“Iya, gue makan. Makasih ya, Rin! Sudah mau dengar curhatan gue.”

**
Beberapa jam kemudian…
“Rai, lo mau langsung pulang?”

“Iya, gue mau langsung pulang.”

“Besok lo main dong ke rumah gue! Lo sudah lama ga main ke rumah gue.”

“Iya, iya, besok gue main ke rumah lo.”

“Oke, deh. Besok gue jemput lo ya!”

“Jemput? Ga usah, Rin. Gue ke rumah lo naik sepeda saja.”

“Jangan ah. Pokoknya gue jemput lo besok. Sampai ketemu besok!”

Rina menjalankan motornya meninggalkan sekolah. Ketika Raina sedang membuka kunci sepedanya, Rain menghampiri Raina.
“Rai, tunggu! Lo ikut gue ya! Kita perlu bicara.”

“Ga. Gue ga bisa, Rain. Tolong jangan paksa gue!”

“Rai, ayolah! Kita ke kantor Papa sekarang. Kita bicarakan masalah ini.”

“Tidak ada yang harus dibicarakan lagi, Rain. Lebih baik, kita jalani hidup kita masing-masing. Kita putus.”

Raina menaiki sepedanya meninggalkan Rain sendirian.
“Rai, tunggu! Kenapa kita putus? Kita bisa lewati masalah ini tanpa harus putus!” teriak Rain.

<Raina POV>
Maafin gue, Rain! Mungkin ini memang yang terbaik. Gue ga mau lo berantem sama papa lo. Gue juga ga mau kehilangan beasiswa. Kasihan ibu kalau sampai beasiswa gue dicabut.

Bersambung...
©2020 By WillsonEP
Penasaran dengan kisah selanjutnya?
Jangan lupa vote, comment, dan share ke teman kalian.
Thanks.
👇🏻⭐ Vote sekarang!

Anak MotorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang