cerita 10

2.6K 211 7
                                    

Jam menunjukkan pukul 12 siang saat Singto baru saja mendapatkan notif video MV sang kekasih rilis. Pemuda 26 tahun itu sudah excited ingin menonton video sang kekasih, namun detik berikutnya setelah ia menonton video tersebut adalah...

Brak!!

Brakk!!!

Brakkk!!!

Suara benturan benda-benda yang berjatuhan memenuhi ruangan, Singto si pemilik rumah hanya ingin melampiaskan kekesalan yang tengah ia rasakan. Melihat sang kekasih beradegan mesra memancing amarahnya. Terlihat sederhana karena sang kekasih hanya di peluk, bahkan tidak ada adegan ciuman seperti yang pernah ia lakukan dengan yang lainnya. Adegan kamar mandi pun hanya sebatas memeluk, kekasihnya tak berniat menyentuh lebih karena menghormati si lawan main.

Adegan yang sederhana menurut orang lain, tetapi tidak untuk Singto.

"Sial! Sial! Sial!" Melihat semua barang sudah berjatuhan dan tak adalagi barang yang bisa ia hancurkan sebagai sasaran kemarahan, Singto berteriak kesal untuk pelampiasannya.

Bahkan ponsel yang sebelumnya berdering karena mendapat panggilan dari sang kekasih sudah remuk tak berbentuk di lantai.

Singto menjatuhkan tubuhnya disalah satu tepi ruangan, tidak mungkin ia bisa duduk di sofa yang sudah terbalik. Ia memejamkan matanya, ingatan bagaimana video yang baru saja dirinya tonton kembali berputar di otaknya membuat Singto tak lagi ingin memejamkan mata.

Merasa emosinya mulai kembali normal, ia berdiri dan menuju kamar tamu. Sejenak Singto hanya ingin memejamkan mata dimana tak ada kenangan tentang dirinya dan sang kekasih. Tanpa membersihkan diri, Singto langsung terlelap begitu saja.

Singto terbangun saat jam menunjukkan pukul 1 siang, ia mendengar suara berisik di ruang utama dimana ia melampiaskan kekesalannya. Kesadaran yang belum penuh, serta emosi yang kembali tidak stabil membuat ia membuka pintu dengan kasar, membuat beberapa orang yang disana menoleh ke arah sumber suara.

"Apa yang kalian lihat? Lanjutkan merapikannya!" Perintah lelaki berumur 30an yang merupakan manajer dari Singto, Jane.

Jane tidak sendiri disana, ia bersama tiga orang lainnya, dimana dua orang merapikan ruangan dan satu lainnya adalah penyebab kemarahan Singto.

Krist, lelaki berumur 25 tahun itu berjalan menghampiri sang kekasih yang terlihat kembali masuk ruangan karena tidak ingin melihat dirinya. Krist tentu tau penyebab Singto marah, lelaki posesif itu sudah 8 tahun bersamanya, bukan hal yang sulit untuk mengetahui penyebab kemarahannya.

Krist berjalan mengikuti Singto ke kamar tamu, ia pun juga memasukinya.

"Phi..." Sapa Krist saat menatap Singto yang tengkurap di atas ranjang berniat melanjutkan tidurnya yang terganggu.

Singto tidak memberikan respon, lelaki yang lebih tua itu benar-benar tampak tak ingin menanggapi panggilan sang kekasih.

Krist yang menyadari itu hanya tersenyum tipis, sampai kapan mereka akan seperti ini? Sampai kapan lelaki yang lebih dewasa darinya ini mengerti akan kata profesionalitas dalam pekerjaan? Ia merasa lelah jika setiap kali pekerjaan Krist berhubungan dengan sesuatu yang berbau dewasa dengan orang lain, Singto akan langsung marah dan kesal seperti ini.

Langkah Krist terhenti di samping ranjang dimana sang kekasih pura-pura terlelap, ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Sedikit memiringkan posisi duduknya supaya ia dapat melihat sang kekasih.

"Haruskah aku berhenti dari pekerjaan ini? Atau haruskah aku melepasmu?" Akhirnya pertanyaan yang sedari dulu ia simpan sendiri, ia lontarkan pada sang kekasih. Pertanyaan yang selalu muncul di setiap Singto mempermasalahkan pekerjaan Krist.

Singto bergerak cepat sebelum mendudukkan dirinya didepan Krist, ia menatap kedua mata bulat sang kekasih yang tampak berkaca setelah memberikan pertanyaan itu. Sejujurnya, Singto sendiri takut jika Krist akan meninggalkannya karena sikap posesif yang ia miliki. Tapi, sungguh Singto sangat kesal jika melihat Krist bersama orang lain bermesraan sekalipun ia tau jika itu hanya akting.

"Lepaskan apa yang menjadi bebanmu. Jika itu aku, lepaskan aku." Ujar Singto tanpa ekspresi, menatap kedua manik yang sudah menggulirkan air mata tersebut.

Singto mengusap lembut air mata yang tanpa permisi langsung terjatuh begitu saja, menangkup kedua pipi gembul kesayangan dengan sepasang telapak tangan besar miliknya.

"Bagaimana bisa aku melepas seseorang yang sudah menemaniku selama ini? Dan bagaimana bisa aku melepas dunia yang mempersatukan kita? Aku tak bisa melepaskan kalian, bisakah phi yang mengalah kali ini?" Suara Krist terdengar pilu, ia mencoba menahan air mata yang tak hentinya berjatuhan.

Singto menurunkan kedua tangan yang tengah menangkup pipi Krist, tubuhnya membeku mendengar permintaan Krist yang menginginkan ia untuk mengalah.

"Kau tidak ingin melepasku tapi kau ingin aku mengalah? Apa maksudmu?"

Krist memajukan tubuhnya memeluk sang kekasih, menyandarkan dagunta pada bahu  Singto sebelum berkata, "Berhentilah posesif seperti ini, mengertilah pekerjaanku seperti aku yang juga belajar memahami pekerjaanmu."

Krist menarik nafas panjang, "Aku tidak bisa membayangkan jika harus melepasmu atau pekerjaanku." Ia sedikit menunduk, menenggelamkan wajahnya pada perpotongan leher Singto.

"Kau tau aku sangat tidak suka melihatmu dengan yang lain sekalipun itu akting..." Ujar Singto pelan, "Mulai sekarang aku tak ingin menonton tv, aku tidak ingin melihatmu dengan yang lain." Lanjutnya.

Krist tersenyum, wajahnya tak lagi basah akan air mata, dengan cepat ia mencium salah satu pipi Singto yang berada dekat dengan wajahnya.

Sebuah kecupan yang membuat Singto menolehkan wajahnya, menatap sang kekasih dengan senyuman, bagaimana mungkin Singto bisa marah pada lelaki menggemaskan kesayangannya itu dalam waktu yang lama?

"Apa phi Jane sudah pergi?" Tanya Singto yang dijawab Krist, "Entahlah" dengan berbisik.

"Aku akan melihatnya sebentar," Singto sedikit mendorong tubuh Krist untuk menjauh sebelum ia turun dari ranjang dan meminta sang kekasih untuk berbaring.

Singto berjalan keluar kamar untuk melihat Phi Jane sedangkan Krist berbaring di atas tempat tidur yang sebelumnya digunakan tidur juga oleh  sang kekasih.

Melihat phi Jane masih di tempat yang sama, Singto menyusul untuk duduk disampingnya.

"Mau sampai kapan kau akan seperti ini setiap kekasihmu beradegan seperti itu?" Tanya phi Jane, Singto hanya mengedikkan bahunya tak ingin berkomentar.

Jane menghela nafasnya, "Terkadang kau perlu sedikit melonggarkan ikatan yang kau buat, jika masih ingin membuat ia bertahan dan tak merasa sesak dengan sikapmu."

Singto berdiri dari duduknya, "Tolong kunci pintunya phi, aku akan menemani Krist tidur." Ujarnya tanpa menoleh pada Jane yang hanya mampu menggelengkan kepala lemah.

Kaki jenjangnya melangkah dengan perlahan menuju kamar dimana sang kekasih terlelap, melihat kekasihnya tertidur dengan wajah lelah membuat ia kembali memikirkan ucapan sang manajer, sampai kapan ia akan seperti ini setiap sang kekasih beradegan dengan orang lain?

Singto sepenuhnya sadar jika ia tak mampu bersikap profesional, hingga kapan ia akan bertingkah seperti anak kecil?

Lembut serta perlahan tangannya terulur mengusap surai hitam sang kekasih, "Kit.... Maaf..." Lirihnya.

Senyum tipis dengan mata penuh rasa bersalah menghiasi wajah Singto, ia bergerak perlahan berbaring di samping Krist, mendekatkan tubuhnya supaya dapat merengkuh tubuh yang terbaring disampingnya.

Seribu kata cinta dan maaf ia bisikkan hingga ia terlelap menyusul sang kekasih.

Setelahnya Singto tak pernah lagi marah atau kesal setiap Krist beradegan mesra dengan lawan mainnya, ia terus mendukung sang kekasih hingga beberapa bulan setelahnya mereka menikah.

END

Pemikiran Peraya (Oneshoot Nya SingKrist)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang