Konflik Dua Arah

54 5 0
                                    

Menyaksikan dengan mata kepala sendiri kerusuhan massa disertai dengan penjarahan selama dua hari yakni 13 dan 14 Mei 1998 bagiku merupakan sebuah pembelajaran baru dalam hidup. Aku sebelumnya tidak pernah menyangka manusia bisa seberingas itu. Sejak kecil yang ku ketahui tentang Indonesia adalah keramah-tamahan orangnya. Setidaknya itu yang aku dapatkan pada pelajaran di sekolah saat duduk di bangku Sekolah Dasar.

Aku pernah mendengarkan kaset paket belajar bahasa Inggris produksi BBC untuk materi listening milik Ayahku dahulu sewaktu akan berangkat tugas ke Inggris di tahun 1980. Pada kaset pelajaran tersebut terdapat contoh percakapan sehari-hari. Diantaranya ada yang menggambarkan dialog antara pramugari maskapai penerbangan Indonesia dengan seorang turis asal Inggris. 

Si turis berkata bahwa satu hal yang paling diingat tentang Indonesia adalah "The Smile of the People". Namun setelah melewati pengalaman dua hari itu aku berpikir semuanya omong kosong belaka.

#o#

Minggu malamnya aku menelpon Ari.

"Selamat malam cah ayu", sapaku.

"Micka, kamu nggak apa-apa?, Tempat kamu gimana, ada kerusuhan ngga?, Kamu nggak kemana-mana kan?, Nggak ikutan demo lagi kan?", tanya Ari bertubi-tubi sampai bingung aku menjawab dibuatnya.

"Heiy...cah ayu, tenang, kalem, nafas dulu. Aku bingung mau jawab mana dulu pertanyaan kamu itu?, hehe", kataku. "Kamu baik-baik aja kan, semuanya juga di rumah?", aku balik bertanya.

"Iya, Alhamdulillah baik-baik aja. Bener kata kamu, perumahanku dijaga, warga juga berjaga-jaga", jawab Ari. "Tapi Mick, di Solo juga ada kerusuhan. Bapak sama Ibu khawatir sekali ke Eyang puti. Memang ada saudara-saudaraku di sana, tapi dia nanyain aku terus. Dia liat berita di tivi ada pertokoan dijarah lalu kebakaran, banyak korbannya. Dia jadi kepikiran sama aku", papar Ari. "Eh, kamu belum jawab pertanyaanku barusan. Kamu penuhin permintaan aku kan, nggak kemana-mana?

"Eeeh...aku, aku...", aku bingung musti menjawab apa. Aku sebenarnya ingin berbohong tapi seperti sulit sekali.

"Kenapa Micka?, Kamu nggak nurut sama aku kan?, kamu tetep berangkat ke kampus kan, demo lagi?", desak Ari bertanya.

"Iya Ri, aku ke kampus. Tapi aku nggak nyangka kalau hari itu akan ada kerusuhan besar. Lagi pula yang penting aku baik-baik aja kan, Ini buktinya sekarang aku telpon kamu", argumenku.

"Iya, terus masih mau sampai kapan kamu ikutan demonstrasi, sampai Suharto mundur?, kapan?!, emangnya kamu pikir dia mau begitu aja nurutin kemauan mahasiswa!?, terus kalau dia nggak mau mundur juga kamu mau tiap hari demo sama temen-temen kamu itu, gitu!?, sampai akhirnya kamu kena tembak gitu!?", cecar Ari. Nadanya jadi berbeda, terdengar emosional.

"Loh kok kamu begitu ri, kamu kok seperti mojokin aku, nggak ngedukung apa yang aku yakini bahwa yang sekarang aku lakukan adalah untuk negri ini, untuk rakyat Indonesia", aku membela diri.

"Micka, aku ini khawatir sama kamu!, sayang sama kamu!. Bagaimana kamu mau sayang ke aku kalau sama diri kamu sendiri aja nggak sayang. Aku tuh udah beban mikirin eyang puti di Solo sana, masa kamu nggak bisa bantu aku ngeringanin beban pikiran aku jangan bikin khawatir aku. Nurut sama permintaan aku yang cuma satu itu. Udah cukup demonya!", papar Ari, gusar sekali dia.

Aku diam saja, bingung apa yang harus aku katakan. Di telpon terdengar nafas Ari turun naik.

Lalu Ari menyambung perkataannya, "Kamu tahu nggak, bapakku tadi sore ngajak ngobrol aku. Bapak sampein ke aku kalau Eyang puti mau aku supaya nemenin dia disana. Bapak menyerahkan keputusannya ke aku. Aku masih pikir-pikir. Tapi setelah ini....".

"Maksud kamu ri?", aku terkejut dengan keterangan Ari terakhir, meminta kejelasan.

"Aku diminta pindah lagi ke Solo. Sudah pasti kalo jadi nanti kuliahku juga bakal pindah!", terang Ari.

KELAS 98 (Cinta & Reformasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang