Lengser Keprabon

68 5 5
                                    

Gedung MPR, Rabu, 20 Mei 1998.

Aku telah bertemu Ado di belakang gedung Nusantara III. Menurut Ado dia sudah berada di gedung MPR sejak kemarin hari Selasa, tanggal 19 Mei 1998 bersama Fani dan Gungun, dan juga puluhan mahasiswa lainnya dari kampus yang terdiri dari campuran berbagai fakultas. Ado datang tidak mengatas namakan kampus melainkan sebuah organisasi eksternal. Kemudian datang bergabung bersama organisasinya itu massa mahasiswa demonstran dari berbagai universitas.

Ado pun menceritakan kembali bahwa selama ini dirinya sudah aktif dalam dunia pergerakan bawah tanah, dunia aktivis, sejak pertengahan tahun 1995. Belakangan dia mengajak Fani dan Gungun ikut bergabung dengannya. "Gue mau ngajak elo sebenernya Mick, tapi elo sibuk ngeband sama sibuk sama Ari. Hehehe", kata Ado. Aku cuma bisa nyengir. Dari cerita Ado terjawablah pertanyaan mengapa Fani bisa berubah dari pembaca setia majalah Donal Bebek menjadi pembaca buku Machiavelli.

"Semalem tidur dimana lo?", tanyaku kemudian ke Ado.

"Ya ngampar aja dimana enaknya", jawab Ado.

"Elo nginep kan?, Ado balik bertanya.

"Nginep dong, sampe Lengser Keprabon!", jawabku semangat.

Lengser Keprabon, artinya kurang lebih turun dari jabatan sebagai pemimpin. Beberapa minggu lalu saat mengundang beberapa tokoh nasional ke Istana Negara membicarakan kondisi genting yang sedang terjadi di Indonesia, Pak Harto sempat menyampaikan siap melakukan Lengser Keprabon jika memang masyarakat menginginkannya. Namun hingga kondisi kian genting Pak Harto tidak juga menepati omongannya itu. Hal mana membuat mahasiswa saat demonstrasi menagih janjinya dengan membentangkan poster bertuliskan, "TUNJUKAN LENGSER KEPRABONMU"

#o#

Sore harinya aku mengajak Gungun dan Yunas untuk berjalan-jalan melihat situasi di dalam kompleks gedung MPR yang sudah sepenuhnya diduduki mahasiswa itu. Doni memilih beristirahat, tidak ikut. "Mau kemana lo pada?, ikut dong", kata Fatur, anak Fakultas Ekonomi.

Sore itu mahasiswa yang datang sudah mencapai ribuan. Gedung MPR menjadi berwarna-warni oleh berbagai warna jaket almamater dari berbagai kampus yang dikenakan mahasiswa. Di semua area gedung perwakilan rakyat itu terlihat mahasiswa mengerjakan aktivitasnya masing-masing. 

Ada yang sedang duduk-duduk saja di taman berkumpul atau bercengkrama dengan teman-teman, ada yang sholat berjamaah di tempat terbuka, bahkan ada yang sedang bermain sepak bola!. Ya, benar, bermain sepak bola!. Kala itu memang sedang demam sepak bola Piala Dunia yang akan dimulai tanggal 10 Juni 1998, tuan rumahnya Prancis.

Kompleks gedung rakyat yang memiliki taman cukup luas itu berubah menjadi lebih dari satu liga kompetisi sepak bola antar mahasiswa. Bolanya dibuat dari kertas-kertas yang digumpalkan kemudian diikat dengan tali membentuk sebulat mungkin mirip dengan bola, bahkan ada yang menggunakan bola plastik, sepertinya sudah niat membawanya dari rumah.

"Wahana" lain di gedung MPR yang menarik mahasiswa adalah kubah yang bentuknya khas itu. Bentuknya seperti cangkang kura-kura tapi sebenarnya menggambarkan bentangan sayap burung Garuda. Mahasiswa berbondong-bondong menaiki kubah itu, sebagai simbol telah menduduki gedung MPR, juga menduduki dalam makna sesungguhnya bukan makna kiasan. Akupun tertarik juga menaikinya. "Ke atas kubah yuk", ajakku ke teman-teman. "Ayo", kata yang lainnya.

Saat akan menaiki ternyata untuk ke atas kubah itu hanya ada satu akses yakni tangga vertikal terbuat dari besi yang hanya muat untuk satu orang. Tangganya tinggi sekali, kira-kira 10 meter. Maka meniti tangganya harus bergantian satu per satu. Awalnya aku gentar karena tidak semudah yang terlihat. Namun aku pikir kapan lagi merasakan menduduki kubah gedung wakil rakyat, ini merupakan kesempatan yang sangat langka.

KELAS 98 (Cinta & Reformasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang