Menduduki Gedung MPR

206 12 2
                                    

20 Mei 1998.

Hari itu hari Rabu. Pukul tujuh pagi aku baru bangun tidur. Sial! aku kesiangan. Aku langsung bergegas mandi kemudian berpakaian. Jaket almamater kampus dan handuk kecil tidak lupa aku masukkan ke dalam tas untuk persiapan bermalam. Tanpa sarapan dan tak seorang melihat, aku pergi meninggalkan rumah dengan terburu. Larangan Ibuku dua malam lalu agar hari ini jangan kemana-mana aku abaikan. "Maafkan anakmu mah, aku lakukan ini untuk masa depan bangsa Indonesia".

Di depan kompleks perumahan tempat tinggalku adalah pangkalan angkutan kota yang bernama Koasi, melayani trayek ke terminal bus kota Bekasi. Aku naiki Koasi itu. Bangku Koasi masih banyak yang kosong, baru dua penumpang termasuk diriku. Sudah dipastikan akan sedikit lama baru akan berangkat, menunggu bangku penumpang paling tidak terisi setengahnya. Aku gelisah, padahal baru duduk sekitar tiga menit tapi berasa sudah satu jam. Aku putuskan turun dari Koasi itu.

Kemudian aku panggil ojeg motor. "Ke stasiun Bekasi bang, berapa?", tanyaku. "tiga ribu mas", jawab abang tukang ojeg. "Oke, cabut bang!", kataku sepakat sambil naik ke boncengan motor ojeg. Dari kompleks tinggalku ke stasiun kereta dapat melewati jalan komplek perumahan. Menghemat waktu meski harus membayar lebih tak mengapa, sebab aku khawatir ketinggalan kereta.

#o#

Aku tiba di kampus, sebuah universitas swasta di bilangan Jakarta Timur sekitar pukul setengah sepuluh. Di kampus itu aku mengambil Fakultas Hukum. Dahulu saat masih SMP ketika ditanya apa cita-citaku oleh Ayah aku jawab ingin menjadi seperti Iwan Fals. Jawabanku itu membuat Ayah berang, marah-marah. Saat lulus SMA ditanya lagi cita-citaku, kali itu jawabanku agak beda. Aku menjawab ingin menjadi astronout atau polisi hutan (Jagawana). 

Namun orangtuaku menghendaki aku mengambil kuliah jurusan ekonomi. Menurut mereka akan lebih mudah mencari pekerjaan. Aku kesal, dan mengancam lebih baik tidak kuliah jika dipaksa masuk ekonomi. Orangtuaku akhirnya angkat tangan, menyerahkan keputusan kepadaku. Akhirnya Aku mengambil kuliah di jurusan Hukum.

#o#

Hari itu semua perkuliahan diliburkan meski bukan masa liburan dan tanpa ada pemberitahuan beberapa hari sebelumnya. Keadaan memang menjadi tidak menentu. Ini ada hubungan dengan kondisi Jakarta yang semakin memanas sejak kejadian di kampus Trisakti. 

Sejak bulan Februari 1998 nyaris setiap hari mahasiswa di Jakarta dan beberapa kota Indonesia berdemonstrasi, namun hanya di dalam pelataran atau area kampus. Bukan tidak ingin berdemonstrasi ke luar pagar kampus alias ke jalanan, namun aparat keamanan melarang keras. 

Itupun meski berdemonstrasi di dalam area kampus tetap saja aparat keamanan berjaga di luar pagar kampus untuk memastikan jangan sampai mahasiswa keluar. Yunas, teman seangkatanku menggerutu; "kita udah kayak anjing penjaga rumah, cuma menggonggong dari dalam pagar rumah majikan".

Saat menjaga demonstran mahasiswa aparat berseragam lengkap standar pengendali massa yaitu; bantalan pelindung tubuh, helm, tameng dengan bersenjatakan pentungan pemukul dari karet keras atau kayu rotan. Dengan tampilan begitu ada saja mahasiswa yang mencemooh  aparat dengan meneriaki; "wooiyy!, ada Kura-Kura Ninja!!".

Keluar dari lingkungan kampus merupakan ukuran kesuksesan demonstrasi mahasiswa saat itu. Seberapa jauh demonstrasi berhasil keluar dari gerbang kampus. Maka bisa keluar kampus meskipun hanya sejauh 100 meter sudah bisa dikatakan prestasi hebat.

#o#

Di seberang gerbang kampus aku menoleh ke kanan kiri mencari penampakan mahasiswa yang berkerumun pertanda bersiap berangkat menuju gedung Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), namun tidak terlihat. Beberapa mahasiswa memang masih terlihat di pelataran kampus dan di kantin meski tidak berkerumun.

KELAS 98 (Cinta & Reformasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang