Gunung Salak

37 5 0
                                    

Waktu itu hari Kamis sekitar pukul dua siang. Aku masih di kantin kampus bersama Ado, Doni dan Fani. Yang lain sudah pulang lebih dulu.

"Aduh..suntuk nih kuliah. Jalan yuk kemana kek gitu", kata Ado.

"Kemana?", tanya Doni.

Kami jadi berpikir ke mana kira-kira tempat yang cocok untuk menumpas rasa suntuk. Kecuali Fani, ia asyik membaca majalah Donal Bebek.

"Eh, lo udah pada pernah naik gunung belum?", tanyaku memecah kebuntuan.

"Naik gunung?", respon Ado dan Doni hampir bersamaan.

"Yoi", jawabku.

"Belom pernah gue. Paling kemping di Cibubur, kegiatan Pramuka lagi zaman SMP", kata Ado.

"Kalau gue paling ke Cibodas, Puncak. Sama keluarga itu juga", kata Doni.

"Nahh!... mau nyobain naik gunung ngga?". Yang deket-deket aja, Gunung Salak, Bogor. Gue ada saudara tinggal di sana. Kita numpang nginep aja di rumah saudara gue itu, jadi nggak perlu bawa tenda. Gimana?", paparku.

"Boleh tuh", sahut Ado. "Gimana Don, Fan?", tanya Ado kepada dua teman lainnya.

"Kaga gue, makasih. Males gue naik gunung. Udah cape-cape jalan sampe puncak gunung, terus turun lagi. Ngapain?, hahaha", Fani memberi argumen sambil tertawa nyinyir.

"Nah yang begini nih ngga punya jiwa petualangan", balasku berargumen balik.

"Kalau elo gimana Don?", tanya Ado kemudian ke Doni.

"Boleh, boleh. Kapan enaknya berangkat?", tanya Doni.

"Besok!", kataku.

"Hah!!, serius lo besok?", tanya Doni meyakinkan seolah tak percaya apa yang ia dengar.

"Persiapan peralatannya gimana?, kompor, tenda dan lain-lain. Gue pernah liat orang kalau naik gunung bawaannya banyak banget gitu", papar Doni.

"Kan kata gue juga kita nginep di rumah saudara gue. Jadi peralatan kaya tenda dan kompor ngga perlu bawa", paparku sekali lagi.

"Bertualang spontan itu seru, ada sensasinya, kita akan dapat kejutan-kejutan dalam perjalanan. Yang penting kita mengukur diri aja, jangan nekat juga. Hehehe. Tujuan kita di sana ke Curug Seribu sama ke Kawah Ratu aja. Hah?, hah?, hah?...gimana?, gimana?", bujukku sambil membesarkan-besarkan kelopak mata kepada Ado dan Doni.

Mata Ado dan Doni berbinar mendengar pemaparanku. Lalu Ado berkata, "Wah...boleh, boleh tuh, asyik kayaknya. Jadi lah!".

"Ok. Fiks ya kita jalan besok nih. Tapi biar gimana kalau namanya ke gunung tetep ada peralatan pribadi standar yang wajib kita bawa", kataku.

"Apa tuh?", tanya Ado, nampaknya antusias sekali dia.

"Bahan-bahan makanan buat kita untuk kira-kira tiga hari dua malam: beras, mie instan, garam, cabe, kalau mau bawa bahan makanan lain ya nggak papa, bagus malah. Terus obat-obatan pribadi, senter buat alat penerangan kita kalau malem, soalnya belum ada listrik di sana masih pake lampu minyak kalau malem", aku menjabarkan.

"Kalau elo Don, jangan lupa bawa kancut yang banyak. Lo kayanya masih ngompol", cela Ado.

"Sialan lo!", sergah Doni.

"Bawa berasnya kita tentuin aja ya, masing-masing dua liter. Biar ngga kesannya ngerepotin saudara gue di sana, kan biar gimana kita numpang. Gimana, setuju ga?", tanyaku.

"SETUJU !!", seru kedua sahabatku itu.

#o#

Keesokan harinya, selesai sholat Jum'at kami berangkat menuju Gunung Salak, Bogor dengan menggunakan bis jurusan Pulo Gadung – Bogor, terminal Baranangsiang. Dari terminal Baranangsiang menyambung naik angkutan umum ukuran kecil jenis minibus sampai ke daerah Leuwiliang. Kota Bogor saat itu sudah dipenuhi angkutan umum, namun jumlahnya tidak over seperti sekarang, kemacetannya juga masih tidak seberapa.

KELAS 98 (Cinta & Reformasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang