KEBO CEMENG

3.2K 236 9
                                    

Satu minggu setelahnya, tepatnya hari kamis malam jumat legi, Pak Rusdi sudah sampai di kediaman Pak Hamka.

"Lungguho sik Rus."
(Duduk dulu Rus).

Rusdi pun menghempaskan diri diatas kursi tamu ruang tengah.

"Sik yo. Tak ngeterne keluargaku nak omahe mbah e cedak-cedak kene."
(Sebentar ya. Aku mau mengantarkan keluargaku ke rumah kakek-neneknya di dekat-dekat sini).

"Iyo. Santai."

Sesaat setelah Pak Hamka meninggalkan Pak Rusdi sendirian, ia merasakan tensi suhu ruangan menjadi rendah. Seolah kedatangannya memang sudah diketahui oleh sosok-sosok tak kasat mata yang pernah ditemuinya di rumah kosong. Pak Rusdi tersenyum tipis sembari mengelus-elus cincin batu akik bermata hijau di salah satu jari.

"Wani kowe ngetok nang ngarepku saiki?" Gumam Pak Rusdi.
(Berani kamu memperlihatkan diri didepanku sekarang).

Tampak seorang wanita berwajah pucat,memakai baju terusan panjang berwarna putih lusuh berdiri kaku tak jauh dari tempatnya berada. Pak Rusdi melirik ke sisi luar. Hanya wanita itu yg berani menampakkan diri sedekat ini. Sedang sosok-sosok lain, menatapnya dari kejauhan saja.

"Kamu yang namanya Dini? Wanita yang pernah diceritakan Hamka ?"

Wanita itu menunduk, lalu mengangguk.
"Apa maumu?"

"Jangan usir kami. Biarkan kami tetap tinggal di sini. Hihihi."

"Ora iso! Lha wong kalian sudah ganggu-ganggu kesana kemari masa tak biarin?"

"Itu urusan kami. Ini rumah kami!" Bantah Dini

"Saya kasih peringatan sekali lagi. Sebaiknya kalian segera pindah di tempat yang jarang ada manusianya. Mau saya pindah atau kalian pindah sendiri? Kalau sampai saya yang mindah, tak lempar kalian sampai ke segoro kidul (laut selatan). Mau?" Gertak Pak Rusdi.

Dini menggeram. "Di sini tempat tinggal kami! Kamu tidak berhak ngusir! Lagipula kamu hanya manusia rendah. Mana bisa menghadapi 'Sing mbaurekso' (yang punya tempat)? Hihihi."

"Ya sudah. Lihat saja nanti."

Samar-samar keberadaan Dini sudah tak terlihat lagi.

*

Tak terasa, siang hari begitu cepat terlewati berganti senja. Langit bermegakan oranye mulai menghiasi. Sekelompok burung gereja berjejer rapi, terbang menuju arah pulang.

Tampak Pak Hamka mengelilingi rumah kosong, sembari menabur segenggam garam dari sebuah kresek hitam. Tujuannya untuk memberi pagar batas agar makhluk yang ada di dalam tidak melarikan diri, dan makhluk yang berada diluar rumah kosong tidak bisa masuk begitu saja.

Kebetulan komplek perumahan sedang sepi saat itu. Jadi tak ada yang akan menanyakan macam-macam apa yang dilakukannya.

"Ngawiti bar isya' to?" Tanya Pak Hamka setelah menabur garam. Lalu menghampiri Pak Rusdi.
(Dimulai setelah isya' kan?)

"Yo."

*

Tepat pukul 8 malam keduanya pun mulai bersiap-siap. Di saat yang sama, tiba-tiba terdengar suara gebrakan yang cukup keras dari dalam kamar Pak Hamka.

"Tak delok e sik Rus."
(Saya cek dulu Rus)

Pak Hamka membuka pintu kamar. Ternyata salah satu pintu lemari jatinya terbuka.
Tampak sesuatu yang dibungkus kain mori tergeletak diatas lantai. Pak Hamka pun mengambilnya. Di dalamnya ada keris. Sebuah keris hitam berukuran yang sedang bergetar hebat.

Pak Hamka merapalkan doa, lalu keris itu diam. Ia pun kembali meletakkan ke dalam lemari. Saat berbalik dan akan keluar kamar, benda itu keluar dan terjatuh lagi. Pak Hamka mengembalikan sekali lagi. Hingga sebanyak tiga kali.

Akhirnya Ia menghela nafas sembari membawa keris berbungkus kain mori dalam genggaman.

"Aku nggowo iki nggak opo-opo. Ket mau meta metu terus jaluk melu. Nek nggak tak jak bakal gawe geger sing lain." Sambil mengeluarkan pusaka tersebut dari bungkus kain mori. 

RUMAH BEKAS TUMBAL (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang