07. Pertanyaan Arsen

4.3K 255 8
                                    

Di dalam ruang UKS, suasana tampak hening. Keduanya saling diam, Vale memperhatikan dengan seksama begitu telatennya Arsen mengobati luka Vale. Detik berikutnya, ia memperhatikan laki-laki itu, kedua alis tebal, hidung mancung, dan rahang yang begitu tegas. Ahh, apa perlu Vale sebutkan dengan detail betapa menariknya setiap sudut bentuk Arsen? Arsen memang diciptain buat bikin kaum hawa tergila-gila padanya ya?

"Kenapa?" suara Arsen membuat pikiran Vale buyar. Ia mengerjapkan kelopak mata dengan cepat, merasa canggung karena lelaki itu menatapnya apalagi jaraknya begitu dekat.

Vale melihat kearah lain lalu kembali melihat Arsen, "Apa nya kenapa?"

Arsen tak menjawab dan itu yang membuat suasana sangat-sangat menjadi canggung bagi Vale.

"Aww, aww, aww, sakit banget," keluh Vale yang tiba-tiba meringis. Rasanya tidak tahan jika ditatap Arsen.

"Telat, luka lo udah gue plester." Lelaki itu menjawab tanpa ekspresi. Gadis didepannya terlalu polos memang. Saat dioleskan antiseptik, Vale sama sekali tidak meringis yang ada hanya memperhatikan Arsen.

"Oh iyaa? Ahh, iya-iya," Valecia melihat dan meraba luka yang sudah diplester dikedua siku dan lutut yang tadi sudah diobati oleh Arsen.

Vale mengutuki dirinya dalam hati, "Sial! Lu bego banget anjirr Vale!!!"

"Bisa berhenti untuk gak ngebahayain diri lo sendiri?" Arsen bertanya terlihat serius.

Kedua bola mata Vale menaik melihat kearah lelaki yang ada didepannya. "Namanya juga musibah, siapa yang bakal tahu coba?" tanya balik Vale.

"Dari awal harusnya ngehindar, jangan lakuin hal ceroboh," ujar Arsen.

Vale terdiam, saat Arsen akan beranjak pergi. Gadis itu segera bersuara dan dengan beraninya menahan lengan kekar arsen.

"Arsen."

Arsen semula kembali ke posisinya, yang tadi hendak beranjak pergi untuk menaruh kembali peralatan kesehatan yang ia ambil untuk mengobati luka Vale.

"Maaf," gadis itu menunduk tak berani melihat Arsen.

"Maaf, gue udah selalu ngerepotin lo, maaf karena udah ada rasa sama lo dan jadi ngebebani lo, udah buat lo gak nyaman, maaf karena selalu muncul dihadapan lo." Vale terdiam sebentar lalu kembali berucap, "Maaf karena gue udah nulis tentang lo, dan maaf—gue gak bisa cegah Serra waktu itu."

Pintu UKS terbuka dengan kasar, mengalihkan pandangan mereka. Terlihat Gio yang kini memasuki ruangan, menghampiri Vale dengan napas yang terangah-engah.

"Kenapa? Ada yang sakit? Kita ke rumah sakit ya?" Cowok itu memeriksa bagian tubuh yang terdapat luka Vale.

Saat kedua tangan gadis itu diraih oleh Gio, wajah Arsen langsung terlihat datar dengan sorot mata terlihat tidak suka.

"Kak, aku gak kenapa-kenapa kok," kata Vale. "Ini cuma lecet doang."

"Ahh, syukurlah." Gio menghela napas lega. "Aku anterin ke kelas kalo gitu."

Vale menggeleng, "Gak us—"

"Dia mau nya dianterin sama gue," Arsen bersuara seraya melirik Gio. "Iya kan, Le?" Mata Arsen beralih melihat Vale.

Tidak-tidak. Ini kenapa suasana nya jadi tambah canggung begini? Vale tertawa canggung, melihat Arsen dan Gio secara bergantian.

"Ya ampun kalian, ini masih bisa jalan kok, jadi bisa sendiri," Vale tersenyum lebar dan bersiap untuk turun dari blangkar tetapi lengannya ditahan oleh Arsen. "Bukannya tadi lo mau ngajak gue ke kantin? Ini lima menit lagi bel istirahat."

AMENSALISME (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang