03. Bunga Tulip

4.4K 289 3
                                    

Rintik hujan disertai angin mulai melingkupi sebuah mobil yang kini terparkir disebuah pemakaman umum yang ada di Bandung. Gadis yang berada didalam menatap lamat luar jendela, melihat ribuan air yang berlomba-lomba jatuh memeluk bumi.

"Kamu yakin mau turun?" tanya seseorang disebelahnya.

Valecia mengangguk. "Aku mau kasih bunga ini buat Serra." Bunga yang sedari awal gadis itu pegang erat. Bunga tulip putih kesukaan Serra.

Gio tahu betul bagaimana kondisi Vale. Tubuhnya masih lemah dan Mauren pernah berpesan padanya, meminta tolong menjaga Vale. Takut, jika anak perempuannya diserang verbal oleh orang yang tak dikenal akibat berita tidak benar yang bertebaran di media sosial.

Soal Ranti. Tanpa Vale memintanya, Gio akan membantu nama Vale kembali baik dan mengembalikan semua berita buruk kepada Ranti, orang yang memulai berita sialan ini.

"Tunggu disini aja ya? Biar aku yang kesana." Gio berucap terdengar begitu lembut.

"Tapi aku baru kesini lagi Kak, aku tur—"

"Kita bakal sering ngunjungi Serra, Vale. Serra adikku. Minggu depan kita pasti akan kesini lagi."

Valecia menghela napas. Gio hanya tak ingin jika Vale terkena hujan, lagipula benar apa yang dikatakan oleh Gio, mereka akan sering mengunjungi Serra, kapanpun yang mereka mau.

"Pak, tunggu sebentar ya," ujarnya pada Pak Gumo, sopir pribadi sekaligus penjaga Gio.

"Baik, Tuan."

"Sini bunganya, tunggu ya aku gak bakal lama," kata Gio seraya menerima bunga yang diserahkan Vale lalu keluar mobil seraya membawa payung. Berjalan kearah tempat peristirahatan adiknya.

Persahabatannya dengan Serra, Valecia juga menjalin hubungan yang baik dengan keluarga Serra. Sampai Gio pun tak membedakannya dengan Serra, Gio juga peduli dan sangat baik kepada Vale.

---

Diarah lain, suara ring pintu kafe berbunyi saat dibuka oleh seseorang. Terlihat kedua cewek cantik yang memasuki area kafe. Banyak tatap mata kagum melihat kearah keduanya. Bagaimana tidak? Yang satu, cewek berkulit putih, badan mungil, rambut coklat panjang bergelombang dan yang paling mencuri perhatian wajah imutnya, dia Kyara Zareena yang sering bernampilan feminim. Berbeda dengan cewek disebelahnya, penampilannya terlihat kasual dengan rambut pendek dan wajahnya cantiknya yang diwarisi dari sang ibu yang berasal Spanyol. Dia Rosalind Pranadipa.

Sesaat terlihat mempesona, detik berikutnya mereka mengigil kedinginan karena cuaca hari ini tak bisa diprediksi. Pagi cerah, sorenya hujan deras.

"Duh, sumpah gue butuh kehangatan Ca," ujar Kyara pada Rosalind seraya melangkah menemui barista untuk memesan kopi panas.

"Lo sih segala ngide segala buat bikin vidio dokumenter di lapangan, untung gue sigep nyeret lo kesini sebelum kita basah kuyup," omel Rosalind.

"Ih, lo kan sukarela bantuin gue, Ca," elak Kyara.

Rosalind berdecih. "Lo yang maksa, ege," balas Rosalind.

Kyara hanya mengerutkan bibirnya. Sahabatnya yang satu ini, memang seperti ini. Terlihat galak, cuek setengah mampus tapi dalam hatinya, beuh lumer selumer coklat batang yang baru dipanaskan. Dia baik bukan main. Kalau orang yang disayanginya diganggu, Rosalind adalah orang pertama yang bakal maju. Ingatkan kalian waktu pertama kali Valecia masuk sekolah lagi? Saat diganggu oleh Ranti, Rosalind maju dibarisan depan buat ngelindungi sahabatnya.

Setelah memesanan, mereka berdua berjalan mencari kursi yang kosong dan senyum Kyara terpancar saat netranya melihat Zio dan Ravin. Tangannya beralih menarik Rosalind untuk segera mengikutinya.

Walau sedikit risih ditarik oleh Kyara, cewek itu tetap mengikuti sahabatnya.

"Halo teman-temanku. Kalian lagi ngedate?" tanya Kyara yang langsung mengambil kursi kosong disebelah Ravin.

Rosalind duduk disebelah Zio hingga dirinya berhadapan langsung dengan Ravin.

Ekspresi wajah Zio seketika berubah saat melihat Kyara. Merasa terganggu dengan kehadiran Kyara. Bukan tanpa alasan, menurut seluruh anak sekolah juga sama, Kyara ini berisik dan cerewet.

"Ih, muka lu abis ketumpahan cuka Zi?" tanya Kyara dengan kekehannya. "Asem banget."

"Lu ngapain duduk didepan gue?" tanya Zio sedangkan Ravin anteng-anteng saja memakan ayam tanpa memperdulikan perdebatan yang akan dimulai oleh dua kurcaci pondok indah ini.

"Emang ni bangku punya nenek moyang lo, hah?" tanya Kyara. "Bebaslah gue mau duduk dimana aja."

"Lo cewek cerewet mending pindah aja dah, jadi kagak nikmat nih gue lagi makan," kata Zio karena sangat hapal dengan tetangganya ini.

"Hey, Zio Logan. Bilang aja lu salting kan kalau ada cewek cantik kek kita?"

"Hoek, nazis," pungkas Zio yang langsung mendapat pukulan gratis dari Rosalind yang berada disampingnya.

"Mulut lo ya." Tipe cewek kayak Rosalind, sedep-sedep ngeri menurut Zio. Cantiknya bukan main tapi galaknya juga bukan main, bro.

"Eh, ko kalian berdua aja sih?" tanya Kyara memulai topik pembicaraan. "Arsen gak ikut?"

"Keliatannya?" tanya balik Zio.

Kyara berdecak, menatap sebal Zio.

"Dia sekarang lebih dingin, ngelebihin kutub utara kayaknya," jawab Ravin seraya mematikan vidio call bersama pacarnya tadi.

"Yang gue takutin Vale sama Arsen jadi asing," imbuh Rosalind.

Zio yang mendengar, mengangguk setuju. "Kita ajak keluar pun dia selalu nolak, iya kan Vin?"

Ravin mengangguk. "Iya."

"Sampai detik ini gue masih gak nyangka, kalau Serra secepat itu ninggalin kita," ujar Ravin.

"Yang gue bingungin nih ya, sebelum kejadian itu gue sering banget liat Serra nangis dibelakang sekolah, dan mukanya kek lesu gitu ga kayak biasanya," kata Kyara sembari menyeruput kopi panas yang baru saja sampai diantarkan oleh pelayan.

"Hayo lho, mau ngapain juga lo ke belakang sekolah? Mau macem-macem lo?" Bukan Zio Logan namanya kalau gak nyebelin.

"Ish, gue sembur juga dah lo pake ni kopi!" kesal Kyara. "Gue niatnya mau buang sampah," jelas Kyara.

"Lo inget kan Ca, waktu gue dihukum sama Bu Dimi diruang laboratorium kimia?" Kyara bertanya pada Rosalind.

Dengan pipi mengembung, tengah mengunyah makanan Rosalind mengangguk.

"Nah itu, pas gue mau nyimpen tuh plastik sampah diluar ruangan gue gak sengaja liat Serra jalan buru-buru gitu, dan ya—gue ikutin aja sih."

"Terus?" Ravin ingin mengetahui kelanjutan cerita dari Kyara.

"Gue gak tahu jelas ya, soalnya pas gue nyampe tuh Serra langsung nangis dan kek udah bicara sama orang yang gak bisa dengan jelas gue liat karena kehalang tembok. Gue pengen banget nyamperin tapi nih—" telunjuk Kyara mengarah pada Zio. "Si Ege ini ngagetin gue dan tiba-tiba narik gue."

Mendapat tatapan kesal dari Kyara, Zio segera bersuara. "Mama lo nyuruh gue buat nyeret lo pulang, Poni."

Perlu kalian tahu, sebutan poni untuk Kyara sudah lama dari Zio. Mereka memang bertetangga dari kecil sampai sekarang. Sekolah sampai tempat les selalu sama. Kyara kecil selalu memakai poni hampir menutupi matanya, karena berawal dari mencoba memakai pensil alis milik mamanya, dan esok hari bulu alisnya rontok. Setelah kejadian itu, sebisa mungkin gadis itu menutupi alis botaknya dengan poni agar tidak terlihat seperti tuyul yang pernah dilihatnya ditelevisi.

"Ya lo bilang dulu kek ke gue," balas Kyara.

"Lama, gue punya janji sama orang."

Bibir Kyara mengerut. "BODO AMAT."

Bersambung...

AMENSALISME (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang