05. Gimana Ar?

3.9K 254 4
                                    

"Lo gimana sama Arsen?" Pertanyaan Zio mengalihkan perhatian Vale yang sedari tadi melihat sepinya jalanan seraya menyenderkan kepalanya dekat kaca mobil.

Mereka sedang menuju perjalanan pulang ke rumah Vale.

"Ga tau," jawab Vale seadanya. "Kalau tahu bakal jadi gini, gue lebih milih tinggal di Jepang, bareng bokap."

Zio terlihat menghela napas. Ia juga tidak menyangkan jika keadaan akan serumit ini. Zio, Arsen, Ravin, Vale, Serra, Kyara, dan Rosalind. Mereka dulu begitu hangat, tidak terlalu sering bersama tetapi sesekali liburan bersama ke pantai saat libur sekolah, camping, hingga bermain ke wahana hantu. Semenjak insiden kecelakaan dan terbitnya blog Vale, perlahan semuanya terasa mendingin, canggung dan Zio pun tidak tahu yang akan ia lakukan agar Arsen dan Vale kembali seperti semula, tidak seperti saat ini saling menjauh.

"Tiap malam gue selalu ngebayangin, nanti besok kalo ketemu Arsen gue harus gimana ya?" gadis itu mulai bercerita. "Gue gak bisa putar waktu Zi. Seandainya gue bisa, mungkin gue bakal ngurung Serra biar dia gak kemana-mana hari itu."

Zio menatap fokus jalanan yang dilaluinya lalu berucap, "jodoh, rezeki, sama kematian itu ditangan Tuhan Val. Ini udah jadi takdirnya Serra."

Vale melirik Zio dan tertegun saat mendengar ucapan cowok itu. "Lo kalo lagi serius kayak gini, jadi lebih berkarisma, Yo." ujar Vale. "Habis kepentok apaan?"

"Gue serius juga," ujar Zio. "Keren kan qoute gue. Gak sia-sia liat ceramah Hanan Attaki di tiktok."

Vale memegang sebelah bahu Zio membuat cowok itu terheran-heran. "Yuk bisa yuk, Asyhadu-,"

"Kampret, malah nyuruh gue login."

***

Sebuah mobil terhenti didepan gerbang. Vale turun dari mobil lalu menutup pintu. Kaca mobil terbuka. "Thank's ya Zi," ujar Vale pada Zio. "Lo hati-hati," lanjutnya seraya tersenyum.

"Iya. Gue cabut ya, bye." Tak lama setelah itu, cowok itu segera menancap gas dan meninggalkan area gerbang rumah Vale.

Vale menghela napas pelan. Tubuhnya terasa begitu lelah, apalagi kepalanya daritadi terasa sakit. Kakinya mulai melangkah untuk membuka pintu gerbang. Suara dari arah belakang menghentikan gadis itu saat akan membuka pintu.

"Lo emang tipe orang yang suka ngerepotin."

Vale tersentak kaget dan langsung melihat ke asal suara. Raut wajahnya berubah, terheran-heran.

"Arsen," kata gadis itu kala melihat sosok lelaki bertubuh tinggi dihadapannya.

"Buat apa nyusulin gue?" tanya cowok itu. Saat ditempat balap, Arsen tak sengaja melihat Vale bersama Zio. Gadis itu masih dalam masa pemulihan, untuk apa ke tempat seperti ini? Entah karena masih peduli atau tidak, tiba-tiba saja Arsen dengan sendirinya mengikuti mereka.

"Gue khawatir." Tanpa pikir panjang, Vale menjawab pertanyaan Arsen.

"Khawatirin diri lo sendiri, jangan gue."

Vale menatap manik mata hitam cowok yang ada dihadapannya. Ada sebuncah rasa yang terasa sesak didadanya yang dari kemarin ia tahan. Gadis itu rindu, kesal dan ah! Semuanya bercampur aduk. Dengan semua kejadian yang menimpa dirinya, Vale sangat ingin sekali memeluk Arsen. Karena dulu, tanpa Vale minta, cowok itu akan memberikannya pelukan hangat dan elusan untuk menenangkannya.

Tapi kini?

"Kita kenapa Ar?" pertanyaan itu terlontar begitu saja. "Kenapa kita berjarak?"

Arsen diam, tak menjawab. Hanya menatap datar Vale.

"Tulisan gue emang sampah Ar. Harusnya dari awal gue gak nulis apapun tentang lo," mata Vale mulai berkaca-kaca. Hatinya sakit, sakit karena bukan hanya dibenci oleh orang-orang mengenai berita yang tidak benar tetapi juga sakitnya terasa berkali lipat saat Arsen ikut membencinya juga.

"Dunia gue udah hancur sebelumnya, tapi lo datang buat bawa warna didunia gue, Ar. Kalo lo pergi, gue gimana?" Gadis itu terisak. Ia merasa lemah saat ini, dihadapan Arsen. "Gue capek, Arsen. Semua orang nyalahin gue atas peristiwa itu. Andai saat itu Tuhan ambil nyawa gue, lo gak akan benci gue kayak sekarang."

"Gue harus gimana biar kita bisa kayak dulu?" tangis Vale. "Serra juga sahaba—"

"Harusnya Serra yang selamat, bukan lo," ucap Arsen.

DEG

Mata Vale tak berkedip kala Arsen mengucapkan hal itu.

"Segitunya lo benci gue?"

Hening. Bibir Arsen tak bergerak. Melihat Vale menangis, entah kenapa dirinya tak bisa berbuat apa-apa selain diam. Apa yang barusan ia katakan? Dirinya merasa sangat pengecut karena telah membuat seorang wanita menangis karenanya, tetapi egonya mengatakan jika ia harus mengatakan itu. Valecia pantas untuk dibenci.

"Dari banyaknya cowok, kenapa harus gue?" tanya Arsen, menatap lurus kearah Vale. "Rasa lo ngebebani gue, ngebuat gue gak nyaman."

Vale menutup rapat-rapat matanya seraya menunduk, mencoba menetralkan rasa sakit di dadanya saat Arsen mengucapkan hal itu. Salah ya jika ia kagum dan menaruh hati pada sahabatnya sendiri? Bertahun-tahun ia sembunyikan dengan rapih, tak meminta balasan dan hanya menikmati rasa kagum pada sahabatnya sendiri.

Gadis itu menghela napas dan kembali menatap cowok yang ada dihadapannya.

"Terus lo mau gue gimana, Ar?"

Arsen diam sesaat. Detik berikutnya bibirnya bergerak. "Jangan muncul lagi dihadapan gue. Buang jauh-jauh rasa lo untuk gue." Setelahnya, cowok itu berbalik badan dan berjalan meninggalkan Vale menuju mobilnya yang ia tinggalkan sekitar lima belas meter dari rumah Vale.

***

Valecia berjalan disekitar taman komplek, matanya terlihat kosong, kepalanya sangat berisik. Jam sudah menunjukkan pukul 23.50 wib. Setelah Arsen pergi, bukannya masuk ke rumah gadis itu malah berada ditaman komplek. Baru kali ini Arsen mengucapkan hal yang benar-benar membuatnya dadanya terasa dihantam batu besar, sakit.

Vale memilih duduk diatas batu besar, ia kembali merenung, memikirkan langkah apa yang harus ia lakukan. Gadis itu menutup matanya sejenak, saat itu hanya ada bayangan Vale kecil dan Arsen kecil yang setiap harinya bermain hingga lupa waktu.

"Ale, kita sepedahan aja, yu?" kata Arsen.

Vale mengangguk. Gadis kecil itu mengerucutkan bibir, terlihat sedih. "Mama papa aku ribut lagi. Kapan ya mereka ga berantemnya?" tanya gadis kecil itu.

Arsen mengedikkan bahu, tidak tahu. Tapi detik berikutnya, anak cowok itu tersenyum lebar seraya menepuk pelan pundak sahabatnya.

"Jangan sedih ya! Kalau orang tua kamu ribut lagi, kita ke ketemu aja dikolam ikannya Pak Udin. Aku udah beli makanan ikan nih " kata Arsen seraya mengacungkan kresek hitam berisikan pakan ikan.

Vale mengangguk semangat. "Ayo kita ke sana. Aku ngebonceng ya?"

"Iya! Ayo!"

Vale tersenyum lalu segera membuka matanya. Benar, Tuhan telah menuliskan alur yang sangat tak terduga dan tak pernah Vale prediksi sebelumnya.

Jika saatini Arsen tidakbisa ia genggam, setidaknya Vale berhasilmenggenggam Arsen di masa kecil. Ya, Vale memiliki kenangan itu. 

Bersambung...

ig.emcameliaa

AMENSALISME (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang