Dear Semarang,
hai, bagaimana kabarmu? sejujurnya aku ingin mengirimi mu pesan seperti itu. bertanya kabar mu disana, dan memberitahukan kalau aku juga baik baik saja. tapi sepertinya untuk hal sederhana seperti itu saja aku tak mampu atau lebih tepatnya aku tak berhak.
aku mengerti kau terlalu marah padaku. aku juga paham, sekarang kita sejauh matahari dan bumi. rasa rasanya aku ingin berlari kearah mu, lalu mendekap mu erat. tapi kenyataan memberi tahu ku, bahwa yang bisa ku lakukan hanya diam dan menahan rindu. aku mau mati rasanya, dunia ku terlalu monokrom sekarang.
aku dengar kau sudah memiliki pasangan ya? selamat dari aku yang masih bertahan di bayang bayang masa lalu.Yogyakarta, 2019.
Setelah surat yang Kayina tulis selesai, dilipatnya kertas origami berwarna merah muda itu lalu dimasukkannya ke dalam toples kaca berbaur dengan surat surat lainnya. Menghela nafas adalah hal yang dilakukannya kemudian.
"Kay, kamu bego banget tau! dia pasti marah besar sama kamu."
Gumamannya masih sama seperti tahun tahun yang lalu, menyalahkan diri sendiri. Selama dua tahun itu, dia hidup dalam penyesalan. Setiap nafas yang terembus selalu diiringi kalimat pengandaian.
Suara pintu kostan diketuk membuyarkan lamunannya, lalu gadis itu beranjak untuk membukanya.
"Kenapa?" tanya Kay lirih pada Jani, teman satu kostnya.
"Ada yang nyari di luar, gih samperin."
Gadis itu berjalan dengan tidak semangat dan sesekali bergumam siapa kah gerangan yang mencarinya. Dan ketika ia melihat sosok itu duduk di ruang tamu dengan hoodie favoritnya membuat Kayina melongo beberapa detik.
"Hng, Na. Apa kabar?" sapa sosok itu.
Suara berat itu menarik kesadaran Kay dan dengan kikuk gadis itu mempersilahkan tamu nya duduk.
"A-aku baik." jawab Kay dengan suara bergetar. "Kamu? gimana kabarnya?"
"Baik," katanya singkat.
Suasana kembali hening, keduanya seperti tidak ada yang berniat membuka suara. Sebelum akhirnya Kay menawarkan minuman dan melenggang ke dapur.
Tak lama gadis itu kembali dengan membawa dua gelas teh dan camilan.
"Kamu ke Yogya ngapain?" Sungguh kalimat Kay barusan adalah satu dari seribu kalimat yang ada di kepalanya. Ia pun takut takut saat mengucapkannya.
"Ketemu temen," jawabnya masih singkat seperti sebelumnya.
"Ah iya, maaf aku cuma punya ini buat camilannya."
Basa basi Kayina tidak digubris oleh si tamu, bahkan sekarang lelaki itu malah merogoh tasnya dan menaruh kantung kresek putih di meja. Kay tidak tau apa itu tapi-
"Obat alergi, bentar lagi musim hujan. Lo pasti butuh itu."
si lelaki buru buru menjelaskan dan itu membuat hati Kay tersentuh. Tapi, kata 'lo' yang ia dengar tak kalah menyesakkan. Dulu hanya 'aku-kamu' yang menjadi panggilan. Sekarang si lelaki memanggilnya dengan sebutan 'lo'.
Sederhana memang, tapi sakit bagi Kayina.
"Makasih, pasti bunda yang suruh 'kan?" tanya Kay mengalihkan rasa sakitnya.
Yang ditanya hanya berdehem, lalu beranjak setelah sebelumnya dia bilang ada urusan lain. Secepat itu pertemuan mereka berakhir disana. Dimenit ke 40 ketika jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi.
🌻
Malamnya Kay tidak bisa tidur, bayang bayang lelaki itu terus menghantuinya. Ketika dirinya tidak lagi di panggil menggunakan panggilan 'kamu'. Ada senang dan sakit di hatinya.
Senang karna setelah bertahun tahun lamanya, mereka kembali dipertemukan. Walau hanya beberapa menit, tapi itu berharga bagi Kay.
Jika bisa Kay ingin menawari nomor ponselnya tadi, tak apa ia menjadi gadis murahan sebentar. Namun sepertinya si lelaki tak ada niatan menyimpan nomornya sama sekali, lihat saja tadi dia benar benar hanya mampir.
Bahkan bisa dihitung berapa kali lelaki itu bersuara.
Ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk, lalu dengan buru buru ia melihatnya. Nomor tak dikenal, jantung nya berdegup. Pikirannya dan hatinya menginginkan jika si penelpon adalah lelaki yang tadi bertamu.
Ketika Kay mengangkat panggilan itu, bukan suara berat seperti tadi pagi yang menyapa telinganya. Melainkan suara lembut milik bunda.
"Halo, Bun. Iya Kay baik baik aja kok, bunda sendiri gimana?" suara lembut di seberang sana menyapa nya.
"Syukur kalo bunda sehat juga, Kay kangen tauu." Gadis itu merengek dibuat buat namun bibirnya tak henti tersenyum.
"Seriuus bunda gak kangen Yna? ih jahat." Sebenarnya Kay sendiri jijik mendengar suaranya yang sok imut ini, tapi mendengarnya tawa bunda membuatnya semakin gencar melakukan aegyo.
"Ih jahaatt, tapi Yna sayanggg. Makasih yaa obat alerginya. Sayang bunda banyak banyakkk," meski terdengar lebay tapi Kay mengucapkannya sepenuh hati.
Tiba tiba gadis itu terdiam setelah mendengar jawaban dari seberang telpon. Bunda malah seperti tidak tahu menahu tentang obat alergi. Bunda juga tidak menyuruh siapapun datang kesini hanya untuk memberikan obat.
Bunda tidak tahu kalau anaknya datang ke Yogyakarta membawa obat alergi. Bunda tidak tahu kalau hubungan mereka tidak baik dua tahun ini.
Kayina juga tidak merasa mendengar kalau obat itu bukan dari bunda. Setahu dia, lelaki itu hanya berdehem ketika ia bertanya apakah benar obat ini dari bunda.
Sial, kebohongan ini membuat Kayina semakin sulit tidur. Pikirannya melayang jauh kesana, hingga akhirnya Kay sendiri yang menyimpulkan bahwa lelaki itu masih peduli padanya.
"Ih Kayy jangan kegeeran deh ah, nanti kalo jatuh sakit tau. Lagian belum tentu juga dia masih peduli sama aku." Gumamnya mengingatkan diri sendiri.
Kayina jangan melayang dan jatuh karna opini sendiri. Cukup untuk berharap lebih, lelaki itu tak akan memaafkannya lagi.
🌻
hi, I'm back with another story🤗
bosen yaa aku up cerita mulu
tapi gak selesai selesaiㅠㅠ
I'm sorry😿💔ch'
-2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara dari Yogyakarta
Teen Fiction"Yang kayina inginkan adalah situasi yang kembali seperti sedia kala, ketika dia dan lelaki itu selalu bersama. Bukan malah jarak yang semakin membentang diantara keduanya." a story by @hrjhunn cover by @asdfghjkai1 started Aug 29 2020