#2 Two

54.3K 5.3K 1.1K
                                    

...

Dua minggu telah berlalu sejak kunjungan terakhir Akaashi dan yang membuatnya kecewa adalah dia telah menyadari bahwa dirinya berada di jalan yang sama yang tanpa tujuan untuk kembali lagi ke rumah sakit yang sama itu. Dia tidak tahan dengan sifat orangtuanya yang sangat gigih, tapi dia agak lega juga karena sekarang ia berada di luar rumah, ya setidaknya begitu.

Baiklah, kita lanjut lagi.

Akaashi memasuki gedung itu dan menyapa wanita di meja depan seperti biasa. Dia tidak membuang-buang waktu untuk menaiki tangga yang diperlukan untuk sampai ke salah satu bagian rumah sakit yang di mana hampir saja dia capai beberapa minggu lalu. Dalam beberapa menit, meja informasi sudah berada dalam jarak pandangnya dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia benar-benar pergi ke sana.

Dia berbicara dengan seorang wanita bertubuh kecil di sana dan setelah beberapa menit berlalu Akaashi mundur dari meja tersebut dengan beberapa lembar kertas yang ada di tangannya.

Dia mulai menyusuri aula, menghela nafas dengan kasar, kemudian berniat bergegas pulang.

"Hey hey- apakah itu kau!"

Suara yang familiar membuat tenggorokan Akaashi menegang. Helaan nafas lain terpaksa keluar dari mulutnua, kali ini bahkan lebih berat. Dia berbalik.

"Bokuto."

"Apathy-kun." Dia menyeringai dari telinga ke telinga.

*apathy-kun : mas mas apatis. Aneh kalau diterjemahin wkwk*

"Jangan panggil aku begitu." Akaashi memasukkan lembaran kertas ditangannya ke dalam tas.

"Kurasa waktu itu kau bilang kau tidak akan pernah menginjakkan kaki ke sini lagi." Ada yang aneh dengan kegembiraan dalam nada bicaranya itu.

"Aku tidak bilang seperti itu..."

"Tapi itu tersirat!"

Akaashi menyipitkan mata.

"Iya, itu cukup tersirat."

Senyum Bokuto tidak pernah lepas dari wajahnya dan kelopak matanya yang terlihat lelah itu agak bertentangan dengan ekspresi wajahnya saat ini.

Mengapa aku selalu bertemu dengan orang yang aneh?

"Jadi apa yang membawamu ke sini lagi?"

"Aku juga ingin menanyakan hal yang sama padamu..." Bibir Akaashi agak mengencang ke samping.

Alis tebal dan putih terangkat di atas warna kuning cerah matanya. "Sebenarnya, aku seharusnya ada di sini."

Akaashi menguap. "Magang?"

"Tidak, pasien." Senyumannya menakutkan.

Dalam diam, laki-laki berambut hitam itu mengerutkan dahi. "Aku tidak peka..."

Bokuto tertawa terbahak-bahak. "Tidak kau tidak seperti itu, jangan khawatir tentang itu."

Meskipun dia mengenakan pakaian biasa dan kasual, setelah diperhatikan lagi, memang ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Dia lebih pucat dari orang lain yang berjalan di aula dan ada lingkaran hitam halus di bawah matanya.

Akaashi memastikan dirinya untuk tidak menatapnya.

"Aku tahu kau tidak akan bertanya soal ini, jadi aku akan memberitahumu saja. Dari apa yang kudengar, para dokter mengatakan bahwa aku menghindap sesuatu yang mereka sebut... FFI?" Bokuto melipat kedua tangannya. Dia menahan udara di sekitarnya seolah-olah dia sedang melakukan percakapan normal dengan cuaca. "Fatal Familial Insomnia? Seingatku begitu."

Rasa dingin menggigil terasa di punggung Akaashi. Dia belum pernah mendengar penyakit itu sebelumnya. Itu cukup membuat ia khawatir untuk sekedar mengeluarkan beberapa kata dari mulutnya.

"Aku rasa aku tidak ingin bertanya tentang gejala penyakit ini."

"Yah, bahkan jika kau bertanya soal itu, aku tidak akan punya jawabannya untukmu." Ia tertawa lagi. "Yang bisa kuberitahu padamu hanyalah bahwa tidur tidak datang padaku semudah dulu." Apa yang biasanya menyakitkan untuk dikatakan seseorang, dia menyampaikan dengan mudah, dan dengan seringai yang terlihat sama untuk sebuah candaan.

Akaashi hampir saja membalas senyumnya, tapi bibirnya hampir tidak bergerak. Dia menatap ke arah Bokuto, kali ini benar-benar tepat padanya. "Apakah kau di sini setiap hari?"

"Tentu saja! Aku sudah berada di sini sekitar... Empat minggu sampai sekarang." Dia berkedip lesu.

"Begitu..." Akaashi mengangguk sekali. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan setelahnya untuk sesaat dan dengan segera keheningan singkat itu berubah menjadi rasa canggung. "Baiklah, aku akan pergi sekarang."

Singkirkan dia dari fikiranmu, jangan biarkan dia masuk. Dia orang sakit.

"Ah..um, tunggu sebentar-."

Rahang Akaashi mengatup. "Aku harus pergi, Bokuto." Dia memulai perjalanannya.

Tolong jangan berhenti.

"Tolong dengarkan aku." Kedua tangannya berada di samping paha, Bokuto membungkuk. "Tolong, ini hanya butuh waktu sebentar."

Akaashi berterus terang, tapi dia bukannya tidak berperasaan. Dia menghela napas dan berbalik. "Ada apa? Aku benar-benar harus pergi."

Matanya seketika menyala, Bokuto menegakkan punggungnya dan memasukkan tangannya ke dalam sakunya. Dia mengeluarkan sebuah telepon genggam, dan yang ditakutkan Akaashi pun terjadi, dia meminta nomor teleponnya.

Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia katakan? Akaashi benar-benar tidak menemukan sesuatu yang istimewa tentang Bokuto. Mengapa orang sakit itu tiba-tiba menyukai dia? Dia hanya ingin mendorongnya menjauh darinya, membuang formulirnya tadi dan tidak pernah menginjakkan kaki ke rumah sakit itu lagi. Tetapi untuk beberapa alasan yang aneh dan menjengkelkan Akaashi merasa sulit untuk menolak Bokuto. Dia berusaha, dia benar-benar berusaha, tapi dia tidak bisa.

"Aku... Tidak... Biasanya mengirim pesan," gumam Akaashi. Dia menatap ke ponsel Bokuto. Dia tidak bisa melihat wajahnya. "Aku lumayan sering sibuk. Tetap berhubungan denganku bukanlah sebuah ide yang bagus."

Dia melihat jari Bokuto melingkar di sekitar telepon miliknya, dan tangannya perlahan-lahan mundur.

"Tapi-" Akaashi mengejutkan dirinya sendiri dengan satu kata itu. Dia masih bisa melihat tangan Bokuto dan tangan itu membeku di tempatnya. "Kurasa aku bisa meluangkan waktu untuk mengobrol sesering itu." Dia mendongak dan tatapannya menemukan sosok Bokuto. Mata kuning itu terlihat bersinar.

Dia memasukkan nomornya dengan cepat dan kemudian menyerahkan telepon itu ke Bokuto, dengan bagian kolom nama yang sengaja ia kosongkan.

"Terima kasih." Suaranya penuh semangat saat dia mulai memasukkan nama untuk kontak barunya. Akaashi memperhatikan dengan seksama saat bibir Bokuto bergerak ketika mengetik nama itu,

"A-p-a-t-h-y - k-u-n." Bokuto hampir saja menyimpan kontaknya sebelum Akaashi angkat bicara.

"Kau tidak harus menamainya begitu." Dia menghela nafas. "Simpan ini... Akaashi."

....

^ ^~ bersambung!

Hi, balik lagi sama hairokisama. Buat chapter ini dan sebelumnya juga kedepannya i told you first kalau mungkin kalian nemunya translate an saya agak beda sama aslinya kalau kalian translate ke google translate jangan khawatir, artinya tetap sama kok. Cuma saya sesuaikan aja sama bahasa Indonesia biar ga bingung yang baca. So enjoy yak bacanya.

Jangan lupa votement ok, makasih sama sama~

Btw gambar cover sama sampul tiap chapter bukan karya saya dan kalau kalian tau itu karya siapa tolong mention karena saya nemu di Pinterest. Hehe~

In Another Life [BokuAka] #INDONESIAtranslate (Re-edited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang