#23 Twenty-Three

28.6K 3.2K 453
                                    


...

Begitu Akaashi meninggalkan rumah sakit, dia tidak pernah melihat ke belakang lagi.

Dia berjalan pulang hari itu dengan selimut yang mengembang di lengannya, syal merah anggur di lehernya, dan tidak lebih terlihat seperti seseorang yang habis berjalan keluar dari rumah sakit. Dia memeluknya untuk tetap berada dalam pandangannya dalam cuaca dua puluh derajat itu, dan meskipun banyak orang memberinya tatapan aneh dan mengawasinya dari samping, tidak ada yang mempengaruhinya sedikit pun. Hawa dingin tidak lagi menjadi masalah bagi Akaashi. Dia tidak bisa merasakannya lagi. Bahkan pikirannya tidak mengizinkannya melakukan itu.

Dia berhasil sampai di rumah tanpa menyapa orang tuanya yang duduk di ruang tamu. Mereka mengajukan pertanyaan kepadanya. Dia hanya menjawabnya dengan terang-terangan. Mereka bertanya tentang selimut dan syalnya, tetapi mereka tidak pernah bertanya tentang Bokuto.

Akaashi senang. Ide yang bagus untuk tidak pernah memberi tahu mereka tentang dia sama sekali.

Dia menaiki tangga menuju ke kamarnya, mengepalkan - tidak - membuat selimut Bokuto menjadi gumpalan, dan menjatuhkannya ke tempat tidurnya bersama dengan syalnya. Dia merogoh sakunya untuk mengeluarkan ponselnya, dan menekan tombol panggilan di salah satu kontaknya. Dia mengangkatnya ke telinganya dan menunggu orang disebrang sana untuk menjawabnya. Setelah itu, Akaashi disambut dengan kata, "Halo?"

Akaashi ragu-ragu. Dia menelan ludah dan melihat ke luar jendela.

"Halo. Kuroo? Ini Akaashi. Apakah kau sedangsibuk?"

Suara Kuroo tertutup dan enggan.

"Tidak, aku tidak sibuk."

"Jika tidak terlalu merepotkan, bolehkah aku datang ke rumah mu?"

Kuroo diam di ujung sana. Dia sudah tahu. Dia menarik napas, dan Akaashi bisa mendengar suara garukan. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berbicara. Suaranya serius.

"Tentu."

.
.
.

Akaashi duduk di tepi tempat tidur Kuroo, dan dia menatap ke luar jendela tanpa fokus kesatu titik pun. Kuroo berbicara dengannya, dan Akaashi mendengarkan dan sering menjawab. Tetapi sebagian besar waktu, dia hanya duduk di sana dan sambil melamun dan tidak melihat apa pun.

Kuroo akan sangat khawatir jika saja bukan karena dia mencari tahu terlebih dahulu tentang apa yang terjadi sebelumnya hari itu. Dia sangat mirip dengan Akaashi, duduk di sisi ranjang yang sama, cukup jauh dari tamunya. Mata kuningnya sering melesat ke lantai, lalu ke langit-langit, ke sekeliling ruangan, dan kembali ke lantai, tapi dia tidak berani melihat ke arah Akaashi.

Dia takut jika dia melakukannya, dia tidak akan bisa menahan perasaannya.

"Bagaimana penampilannya?" Kuroo bertanya dengan nada berbisik.

Akaashi butuh beberapa saat untuk menjawab.

"Ketika aku terbangun?"

"Ya..." Kuroo menunduk

Akaashi mendengus setengah-setengah dan terus menatap ke depan.

"Pucat. Sakit. Mati."

"Bagaimana kau tahu bahwa dia tidak... Di berada disana lagi?"

"Seluruh tubuhnya lemas. Kepalanya bertumpu pada kepalaku dengan beban seperti seseorang yang tidak sadarkan diri."

Kali ini, Kuroo yang mendengus, suara itu datang dari dalam dadanya. Dia lambat untuk berbicara lagi, dan hanya melakukan hal lain.

"Apakah kau akan pergi ke pemakamannya?"

"Tidak."

Jawabannya datang jauh lebih cepat dari yang Kuroo perkirakan. Itu mengejutkannya saat Akaashi melanjutkan.

"Aku menolak untuk pergi. Kenangan terakhirku tentang Bokuto bukanlah tentang dia yang berpakaian rapi, pucat, kaku, dan dimasukkan ke dalam peti mati, dikelilingi oleh banyak orang yang tidak peduli sama sekali sampai mereka mendengar kabar kematiannya. Kenangan terakhirku tentang Koutaro sudah bersamaku, dan dia akan mati bersamaku."

Nada suara Akaashi monoton, tapi Kuroo tidak gagal mendeteksi adanya kebencian yang hadir di setiap kata katanya sebelum kalimat terakhirnya itu. Dia mengerti dari mana Akaashi berasal dan bahkan tidak berpikir untuk menahan nada dinginnya terhadapnya. Kuroo pun merasakan hal yang sama pahitnya. Dia, juga, tidak berniat datang ke pemakamannya atau apapun itu. Dia hanya akan merasa sangat marah dengan semua orang di sana, dan dia tahu bahwa rasa sakit yang sama juga membakar perasaan yang ada di dalam diri Akaashi.

Kuroo mencondongkan tubuh ke depan dan menyatukan kedua tangannya. Dia menatap ke dinding dan mengangkat satu kaki ke atas dan ke bawah saat emosinya perlahan mulai merebut ketenangan dalam dirinya.

"Kau tahu... Um..." Dia menunduk dan mengusap lehernya dengan kasar, meninggalkan bekas merah yang mendalam. "Bokuto, dia...Dia sangat suka- uh- pedulik padamu...Dia selalu membicarakan tentang saat pertama kali bertemu denganmu-"

"Jangan."

Kuroo membeku. Dengan tangan menempel di lehernya, dia perlahan mendongak dan menemukan bahwa Akaashi balas menatapnya dengan mata kosong, tanpa emosi.

"Jangan, Kuroo. Jangan...Katakan."

Dia menelan salivanya dan menoleh untuk menatap ke luar jendela lagi. Akaashi menyatukan jari-jarinya dan menancapkan kukunya ke punggung tangannya. Dia melampiaskan rasa sakitnya kesana.

"Maaf." Itu adalah kata terakhir yang Kuroo gumamkan sebelum dia menatap ke depan juga, tidak ada lagi yang bisa dia katakan.

Mereka saling berbagi kesedihan satu sama lain dalam diam selama ntah selama apa, yang terasa hanyalah mereka seperti itu selama kurang lebih lima menit, dan selama itu, Akaashi tidak pernah sekalipun melihat ke samping bahkan untuk melihat sekilas pada Kuroo.

Baru setelah dia melihat sosok Kuroo untuk kedua kali di sekelilingnya, Akaashi melirik ke arahnya, dan ketika dia melakukannya, dia disambut dengan tangis Kuroo yang pelan, wajahnya telah terkubur di telapak tangannya. Meski sempat tertunda, Akaashi menunjukkan instingnya dan duduk di dekat Kuroo. Dia meletakkan tangan di punggungnya yang lebar dan mengusap dengan lembut, berharap bisa menghiburnya dan menjadi yang paling kuat diantara mereka berdua. Tapi disetiap detik yang berlalu, Akaashi bisa merasakan rasa sakitnya itu semakin bertambah di dalam dirinya. Dia berharap dia bisa melawannya, tapi dia tahu tidak mungkin dia bisa melakukannya.

Tidak lama kemudian Akaashi menyandarkan kepalanya di bahu Kuroo, karena dia juga telah menjadi korban dari kesedihan yang perlahan menelannya hidup-hidup.

....

😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Next last chapter.. just wait for it.

In Another Life [BokuAka] #INDONESIAtranslate (Re-edited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang