-7-

46 5 0
                                    

Setelah selesai berbelanja seharian, Yusuf dan Auris memutuskan untuk makan di sebuah rumah makan biasa, tapi bukan itu masalah Auris sekarang, Masalahnya adalah kakinya yang sudah lelah untuk berjalan. Dari Mall itu hingga mereka hampir sampai di rumah makan, Yusuf tidak pernah mau menuruti permintaannya yang tidak ingin berjalan kaki lagi.

"Ayo, kita naik taxi, atau gojek." Auris sambil menarik kaos Yusuf berharap Yusuf mengiyakan.

"Lo ingat kan apa yang gue bilang tadi? Uangnya habis buat beli baju lo. Yang sisa ini buat makan." Yusuf membual, ia sengaja melakukan ini untuk membalas dendam dengan Auris yang semena-mena dengannya. Jalan kaki baginya tidak ada salah, sejak sekolah dasar Yusuf sudah sering jalan kaki untuk berangkat sekolah.

Auris mencoba mengengam tangan Yusuf, setidaknya bisa menahan beban badannya pada Yusuf. Auris mendecak ketika Yusuf menolak gandengan tangannya.

"Huaaa, udah lah mau mati aja nggak sanggup jalan lagi." Ucap Auris keras agar Yusuf mendengarnya.

"Bagus, biar bisa gue jual ginjal lo." Nyahut Yusuf asal. "Cepat bangun, nggak jauh lagi tempat makannya."

"Nggak mau."

Yusuf berjalan ke arah Auris memegang tangannya berniat menarik tangan itu agar berdiri. Tapi Auris malah memberontak.

"Aku capek Suf, gendong." Auris mengulurkan kedua tangannya.

Yusuf menghela nafasnya, dengan berat hati, Yusuf membungkukkan badannya, membiarkan Auris naik ke atas punggungnya. Yusuf melakukan ini karena sudah sangat lapar.

Auris tidak menyangka Yusuf mau melakukan hal seperti ini, tanpa ragu Auris segera mengulurkan tanggannya memeluk leher Yusuf, mengelusupkan wajahnya ke leher Yusuf, menciumnya berulang kali. Auris sangat suka aroma dari suaminya ini.

"Apaan sih lo, geli tau gak!" Bukannya menjauh dari leher Yusuf Auris malah, menutup mulut Yusuf dengan tangannya.

"Udah deh, jangan tolak ciuman cewek cantik." Yusuf menghela nafasnya kasar.

Akhirnya setelah perjalanan dengan mengandalkan kakinya, Yusuf sampai di sebuah rumah makan. Yusuf menurunkan Auris di depan rumah makan.

"Buk pesan nasinya dua satu pakek telur yang satu lagi lauknya rendang, makan di sini. Air putih biasa aja. " Pesan Yusuf pada Ibu penjual dan mendapatkan anggukkan paham.

Auris dan Yusuf memilih duduk di ujung dekat jendela ruamh makan ini.

"Gue rendang kan?" Tanya Auris dengan mata berbinar.

"Nggak, lo telur." Auris yang mendengar itu tidak dapat menahan kesalnya, menatap Yusuf dengan mata tajamnya.

***

Yusuf dan Auris yang sudah sampai di depan rumah tidak dapat menahan rasa terkejutnya.

Auris melihat Ibu mertuanya bersama Kakak iparnya. Auris langsung menunduk melihat tatapan tajam mertuanya ketika menatapnya.

"Yusuf, kamu kurang ajar emang." Dira maju mendekat ke arah Yusuf, memukul Yusuf menggunakan tas selempangnya. "Kenapa nggak bisa jaga nafsumu itu. Kan bisa tunggu nikah Suf, kakak kecewa sama kamu." Yusuf hanya berusaha menghindar tidak tau harus menjawab apa, karena percuma pasti kakaknya ini tidak percaya.

"Udah Dira." Niar menarik tangan Dira menjauh dari tubuh Yusuf.

"Kenapa nunduk? Merasa bersalah?" Sungguh jantung Auris hampir cobot mendengar nada tuduhan yang di lontarkan Ibu mertuanya, walaupun itu benar. "Ibu percaya sama Yusuf, Ibu yang lahirin Yusuf, palingan anak ini yang cari gara-gara." Niar menunjuk wajah Auris dengan terlunjuk jarinya. Yusuf yang melihat itu mengaruk kepalanya binggung harus gimana.

Wajah Auiris memerah, hampir menangis. Auris emang suka menangis jika di marahi orang yang lebih tua darinya, apalagi ini Ibu Yusuf yang sekarang sudah menjadi mertuanya.

"Ayo masuk Buk, Kak." Yusuf mengulurkan tangannya mempersilahkan Kakak dan Ibunya untuk masuk.

"Berdebu banget, pasti jarang di sapu kan? Rugi kamu nikah kalau urusan rumah aja berantakan." Auris memilin tangannya, itu sindiran kan?

"Lihat ini bahkan tidak ada nasi." Komentar Niar saat membuka termos nasi tapi kosong.

"Udah bu, sabar." Dira mengelus lengan Ibunya. Niar langsung beristigfar dan memilih untuk duduk di kursi ruang tamu.

Auris merasa ini kesempatan baginya untuk kabur, baru saja ingin memasuki kamar, Yusuf sudah menarik tangannya menunju tempat Niar dan Dira yang duduk di ruang tamu.

"Kakak sama Ibu baik-baik aja kan?"

"Alhamdulillah baik." Jawab Dira.

"Bu, Bapak masih marah?" Tanya Yusuf. Niar hanya mengangguk pelan. Yusuf menghela nafasnya gusar.

"Eum, Ibu sama Kakak tau dari mana kalau Yusuf tinggal di sini?"

"Kakak suruh Abang mu untuk mencarikan tempat tinggal kamu Suf. Abang Devan kirim salam, dia nggak bisa datang karena ada halangan." Jelas Dira.

"Ouh gitu. Alim mana Kak?" Tanya Yusuf.

"Sama Kakeknya."

"Aurista, gimana sekolahnya?" Auris mengangkat kepalanya, tidak menyangka Kakak Yusuf mengajaknya bicara. Ia kira Kakak Iparnya juga tidak menyukainya seperti Ibu mertuanya.

"Ba-"

"Kamu yang baik jadi istri anak saya, jangan ngelunjak. Ibu pulang, ayo Dira pulang." Auris langsung menutup mulutnya.

"Yusuf, Auris. Kakak pulang dulu ya." Pamit Dira.

"Iya, hati-hati." Ucap Yusuf.

Niar mengelus kepala Yusuf sayang lalu mencium pipi anaknya lalu keluar di susul oleh Dira. Yusuf langsung mengantar Ibu dan Kakaknya ke depan.

Baru masuk rumah, Yusuf sudah melihat Auris yang murung dengan bibir yang di majukan.

"Udah nggak usah murung gitu, itu emang pantas lo rasain." Sarkas Yusuf.

"Maaf." Yusuf tidak menyangka Auris akan meminta maaf.

"Udah lah udah berlalu juga, lo minta maaf pun nggak bisa membalikkan keadaan."

***

"Suf." Auris mencolek lengan Yusuf pelan. Sedangkan Yusuf mengeser tangannya untuk menjauhi tangan Auris.

Saat ini Yusuf sedang rebahan sambil memainkan ponselnya dan Tertawa tawa sendiri. Auris yang duduk di bawah tempat tidur Yusuf mengernyitkan dahinya heran melihat Yusuf.

Auris berusaha acuh, mungkin itu hanya chat temannya. Auris hanya meremas-remas lengan Yusuf, berharap Yusuf tidak mencuekkinya lagi. Tapi sia-sia Yusuf tetap saja tidak memperdulikan Auris.

Yusuf yang saat ini sedang bertukar pesan dengan Putri tidak dapat menahan senyumnya, perempuan ini sungguh mengemaskan, awalnya Yusuf ragu-ragu untuk mengirim pesan, tapi akhirnya Yusuf mengirim pesan. Dan Yusuf tidak menyangka Putri akan membalas pesannya dengan sesumpel ini, padahal mereka hanya kenal ketika mengikuti rohis. Itu pun Yusuf hanya selama sebulan ada di organisasi itu.

"Lo kenapa sih Suf? Cuek bebek banget sama gue." Auris yang sudah tidak tahan lagi mencoba melihat isi ponsel Yusuf, sayangnya Yusuf memputarkan badannya, memunggugi Auris.

Auris binggung untuk melakukan apa sekarang, ia sangat bosan. Memainkan ponsel pun tidak bisa karena habis baterai.

"Suf, lo tamat sekolah mau kuliah di mana?" Tanya Auria berusaha untuk memulai pembicaraan.

"Kayaknya nggak kuliah gue." Ucap Yusuf setelah beberapa menit diam setelah Auris memberi pertanyaa.

"Kenapa?"

"Mau masuk polisi mungkin, nggak tau ah. Binggung kan gue jadinya." Yusuf membesarkan nada suaranya, ia kesal dari tadi Auris menganggunya.

"Ya selo aja, nggak usah ngegas." Auris memajukan bibirnya. Berdiri dari duduknya menuju tempat tidur. Sepertinya pilihan untuk tidur paling tepat untuknya sekarang.

Yusuf hanya melirik sekilas Auris yang sudah kembali ke atas tempat tidur. Yusuf bangun dari tidurnya menuju ke luar rumah. Dengan ponselnya yang sudah terpasang mode telpon. Rasanya tidak afdol jika Yusuf menelpon Putri di saat Auris satu ruangan dengannya.

AuristaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang