-9-

43 5 0
                                    

Auris yang awalnya sangat kebingungan memilih untuk jalan kaki terlebih dahulu. Ini adalah kali pertama dirinya jalan kaki sepulang sekolah, biasanya ada Pak Ujang supir di rumah Papanya yang menjemput dan mengantar ia sekolah. Kadang Auris berpikir apa Papanya tidak kangen dengannya? Apa sebegitu marahnya Papanya karena ia menikah bukan dengan orang pilihannya? Entahlah Auris berharap Papanya datang dan memeluknya.

"Cewek."  Auris melihat sekelilingnya, tapi tidak ada orang lain yang ada di sekitarnya. Auris mengangkat kepalanya melihat ke arah suara yang memanggil. Oh, rupanya Abang bangunan yang memanggilnya.

"Iya cewek bukan cowok. Kenapa Bang?" Tanya Auria yang risih sebenarnya di panggil-panggil seperti itu.

"Cantik banget sih." Sambung Abang bangunan yang tadi memanggilnya, Abang itu ada di lantai dua rumah. Auris tebak pasti Abang itu bosan makanya menganggunya.

"Iya tau Bang. Ku aduin ya sama istrinya, ganggu-ganggu cewek." Abang yang berada di lantai dua itu mengaruk belakang lehernya. Entahlah Abang itu emang gatal atau canggung, Auris tidak perduli.

"Abang belum nikah kok sayang." Abang bangunan lain pun ikut bicara. Auris melihat abang itu yang mulai mendekat ke arahnya sambil tersenyum genit. Auris yang sudah panik langsung berlari sekuat tenaga.

"Aduhh, sial banget ni gue." Auris menghela nafasnya berulang kali. Aduh capek banget. Auris melihat ke kanan kiri, jalan ini sudah mau sampai ke rumahnya. Hanya saja Auris sudah sangat lelah karena sudah sekitar tiga puluh menit ia berjalan kaki.

Auris membuka ponselnya menelpon salah satu sahabatnya. Pada sambungan pertama, Auris udah mendengar sahutan di sembrang sana, Auris menghela nafas lega.

"Halo." Sahut Anara.

"Nar, tolong jemput gue."

"Jemput di mana? Di rumah?" Tanya Anara.

"Bukan, di jalan. Gue belum sampai di rumah." Jawab Auris dengan lesu.

"Gila lo ya. Kan udah gue ajak pulang tadi, lo nggak mau. Emang ke mana? Katanya dia bakalan pulang sama lo."

"Ckk, malas gue bicarain tu cowok. Cepet dong." Mendengar tidak ada sahutan dari Anara, membuat Auris berpikir Anara tidak ingin menjemputnya. Tidak dapat di cegah Auris mengeluarkan air matanya, Auris mau pulang. Ia sudah sangat lelah dan sangat lapar.

"Eehhh iya anjir. Nggak usah nangis, gue dari tadi lagi siap-siap." Anara cepat-cepat memakai jeketnya. Ia sedikit heran tidak biasanya Auris menanggis hanya masalah seperti ini.

"Ouh ya, lo emang di mana?" Tanya Anara.

"Di dekat bakso ramayana."

"Oke, lo tunggu sepuluh menit lagi gue sampai di sana." Setelah itu, Anara langsung mematikan ponselnya tanpa pamitan. Auris menurunkan ponselnya dari telinga.

"Ris ayo, masuk udah mau hujan." Auris yang sejak tadi menunduk langsung mengangkat kepalanya saat mendengar suara Anara. Auris melihat ke langit, yang Anara katakan benar cuaca menunjukkan sudah mau hujan. Dan ia baru sadar tentang hal ini.

"Kenapa lo nggak jadi pulang sama Yusuf?" Tanya Anara yang sudah menjalankan mobilnya.

"Dia bilang ada urusan penting."

"Gila dia."

"Emang gila."

"Rumah lo yang kemaren tu kan?"

"Iya." Sekitar sepuluh menit kemudian mobil Anara terparkir di rumah sewanya.

"Hati-hati ya Nar."

"Iya, kalau si yusuf macam-macam pukul aja Ris." Ucap Anara dengan bergebu-gebu.

"Nggak usah lo bilang juga dia udah sering mukul gue." Bukan Auris yang membalas ucapan Anara, tapi Yusuf. Auris menatap sinis Yusuf yang berdiri dipintu sambil menyenderkan badannya.

Anara menatap sinis Yusuf, bahkan lebih sinis dari tatapan Auris.

"Cih. Jijik gue lihat laki kayak lo. Nggak tanggung jawab banget jadi cowok." Setelah mengeluarkan unek-uneknya, Anara menutup jendela mobilnya dan langsung meng-gas mobilnya untuk pulang kembali ke rumah.

"Ke mana aja lo?" Sewot Yusuf menatap Auris dari atas ke bawah. Perempuan ini sangat berantakan, dengan rambut yang basah terkena keringat.

Yusuf menatap jengkel pada Auris yang berjalan tanpa menggubris ia saat bicara.

Auris memasuki kamar, mengambil baju dan anduk untuk di bawa ke kamar mandi. Setelah selesai mengambil keperluannnya, Auris keluar dari kamar menuju kamar mandi tanpa melirik Yusuf yang duduk di meja dapur.

"Woi keluar lo makan malam, lama banget mandinya." Auris yang mendengar teriakan Yusuf segera menyelesaikan mandinya. Mengambil anduk, mengelap badannya dan memakai pakaiannya di dalam kamar mandi.

Auris rencana setelah ini lansung makan, Auris sudah sangat lapar sekarang. Auris mengusap dadanya, rasanya seperti ada makanan yang ingin keluar. Tapi tidak bisa ia keluarkan.

Tiba di luar kamar mandi langsung saja Auris berjalan menuju meja makan, yang berisi nasi, tempe, tahu dan air putih. Tanpa basa-basi pada Yusuf, Auris langsung memakan makanannya.

"Lo letakin dulu tu anduk ke kamar." Perintah Yusuf. Auris yang baru mengangkat sendok langsung menurunkan kembali sendoknya ke atas piring. Auris langsung saja ke kamar menggantung handuk dan segera kembali memakan makanannya. Auris melirik sekilas pada Yusuf yang hanya duduk tanpa memakan makanannya, Yusuf hanya menatapnya.

Auris sudah menebak jika Yusuf sudah makan di luar, pasti Yusuf makan makanan yang enak, tidak seperti dirinya yang sudah lama tidak memakan ayam. Apa Yusuf melakukan semua ini untuk membalas dendam padanya? Kalau pun iya, Auris berusaha menerima. Asal Yusuf tidak meninggalkannya.

"Eh lo kenapa diam aja? Tumben. Marah lo sama gue karena gue nggak antar?" 

"Iya marah gue. Ada urusan sama lo?" Sewot Auris. Ia langsung pergi dari meja makan menuju ruang tv. Tidak ia sangka Yusuf malah mengikutinya.

"Kok marah. Kan udah di antar juga sama teman lo itu."

"Gue capek tau nggak. Lebih dari setenggah jalan, gue jalan kaki. Tau nggak lo." Auris yang sudah sangat kesal menyepak paha Yusuf.

Yusuf mengusap pahanya yang baru saja di tipuk menggunakan kaki Auris.

"Nggak sopan lo sama gue." Yusuf menatap marah pada Auris.

Auris hanya memalingkan wajahnya dan kembali menonton tv.

"Suf, beli itu dong. Gue mau di beliin batagor." Yusuf semakin heran dengan cewek yang ada di hadapannya. Baru saja memukulnya dan Auris malah seperti tidak berdosa meminta-minta padanya.

"Nggak ada uang gue." Setelah mengucapkan itu Yusuf beranjak dari tempat ia duduk kembali ke kamar.

Di pertengahan waktu saat menonton Auris merasa perutnya nyeri. Auris menekan bahwa perutnya, membaringkan badannya ke atas sofa. Kepalanya terasa berat dan berputar-putar, hingga pandangan matanya menjadi gelap.

***
Pliss coment biar Author semangat lanjutin.

Vote. Juga beb

AuristaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang