-16-

64 6 0
                                    

Hari sudah gelap. Yusuf mematikan motornya di depan rumah kontrakan setelah mengantar Putri kembali pulang ke rumahnya.

Yusuf memasukan kunci ke lobang pintu dan membukanya.

"Auris." Panggil Yusuf sebelum masuk ke dalam rumah. Setelah masuk ke rumah Yusuf melihat sekeliling dan ia tidak melihat keberadaan Auris. Apa masih di kamar? Tanpa menunggu lagi, Yusuf masuk ke dalam kamar. Dan langsung melihat Auris yang masih tertidur di atas tempat tidur.

"Ris." Yusuf mengoyangkan badan Auris agar segera bangun dari tidurnya. Tapi sama sekali tidak ada sahutan. "Makan malam dulu. Kayaknya lo belum sembuh juga, jadi minum obat dulu." Ucap Yusuf sambil meletakkan tangannya di dahi Auris, dan Yusuf tidak merasakan panas sedikit pun.

Yusuf berjalan ke kamar mandi mengambil gayung mengisi air dan kembali ke kamar. Lalu menyiram air itu ke wajah Auris.

"Bangun oi. Nanti lanjut lagi tidurnya." Melihat Auris yang tetap tidak membuka matanya walaupun sudah ia bangunkan dan di siram ai. Membuat Yusuf jadi kalang kabut sendiri.

"Lo pingsan? Bilang sama gue kalau lo nggak pingsan." Yusuf menepuk berulang kali pipi Auris.

Yusuf menyusupkan tangannya di punggung badan Auris dan lekukkan kaki, lalu mengangkat Auris.

Dengan langkah yang cepat Yusuf keluar dari rumah mencari taksi menuju rumah sakit.

***

Dokter yang memeriksa Auris melepaskan stetoskop dan segera berjalan menuju Yusuf.

"Emangnya pasien sakit apa? Saya periksa tidak ada masalah yang serius." Ucap Dokter yang sudah duduk di kursi ke Dokterannya dan menatap Yusuf yang berada di hadapannya.

"Muntah-muntah sejak pagi. Katanya juga sakit kepala." Jelas Yusuf.

"Apa kamu suaminya? Atau kamu pacarnya?" Tanya Dokter sedikit ragu. Gimana tidak ragu wajah Yusuf sangat tampak masih muda dan ia malah bertanya apa Yusuf adalah suami dari pasiennya. Yusuf yang ditanya seperti itu mengaruk belakang lehernya, ia sangat gugup. "Tenang saja, saya akan menjaga privasi dari pasien saya." Ucap Dokter yang bernama Sarah.

"Saya suaminya." Jawaban itu semakin menyakinkan dugaan Sarah. Tanpa kata lagi, Sarah berjalan menuju Auris kembali.

"Coba ke sini." Panggil Sarah pada Yusuf.

Yusuf yang dipanggil langsung menuju Sarah.

"Selamat kamu akan menjadi seorang Ayah." Yusuf tidak dapat menyembunyikan wajah syoknya. Yusuf menatap monitor lalu Auris berulang kali. Monitor itu menampilkan gambar hitam putih dengan gambar yang Yusuf tidak mengerti sama sekali.

"Usia kandungannya masih lima minggu. Usia kehamilan ini sangat retan keguguran, jadi tolong di jaga pola makan dan jangan sampai stres. Setelah impus habis dan pasien sadar, sudah boleh pulang. Dan akan saya tuliskan resep obat vitemin, lalu kamu bisa menembusnya di apotek." Setelah mengucapkan itu Sarah keluar dari ruangan penginapan Auris, menuju ruangan pribadinya.

Yusuf terjatuh di kursi samping brangkar. Pandangan matanya kosong, ia sungguh tidak tau sebenarnya perasaan apa yang sedang berada di dalam renung hatinya. Ia menatap wajah Auris lalu perut Auris berulang kali, mejambak rambutnya kasar lalu keluar dari kamar itu.

***

Yusuf duduk di taman rumah sakit. Di sekelilingnya sudah sangat sepi dengan cuaca malam yang sangat dingin sehabis hujan. Yusuf mengambil sebungkus rokok di celananya dan mengambil sebatang rokok dari bungkus rokok itu. Barusan ia membeli ini di kantin rumag sakit. Jika dalam perasaan kalut Yusuf akan mengisap rokok, tidak ada yang mengetahui kebiasaan buruknya kecuali sahabatnya. Yusuf menghidupkan rokoknya, meletakkan rokok di antara bibirnya, lalu menyesap rokoknya.

Ia tidak pernah menyangka akan menjadi orang tua dalam umur yang masih delapan belas tahun. Bahkan Yusuf tidak pernah memikirkan hal semacam ini sebelumnya. Yusuf bahkan tidak bisa membayangkan kehidupannya yang di isi dengan suara cadel anak kecil.

Apa Yusuf bisa menjadi Ayah yang baik bagi anaknya? Apa ia bisa menjadi contoh yang baik bagi anaknya? Lalu bagaimana dengan Auris?

"AKHHHH." Teriak Yusuf keras hingga membuat burung berterbangan.

Memikirkan semua ini membuat kepala Yusuf panas. Ini gila, benar-benar gila.

***

Setelah tiga puluh menit berada di taman. Yusuf berjalan dengan lesu untuk kembali ke ruangan tampat Auris berbaring. Di perjalanan ponsel Yusuf berbunyi, rupanya Ibunya lah yang menelepon.

"Assalamualaikum." Salam di sembrang sana. Yusuf yang mendengar suara Ibunya membuatnya ia ingin menangis. Yusuf menutup matanya menggunakan tangan dan berjalan menuju bangku yang tersedia di rumah sakit.

"Anak ini ya. Salam di jawab." Ucap Ibunya lagi.

"Waalaikumsalam." jawab Yusuf.

"Suf kenapa? Suara kok kayak orang yang nangis." Yusuf mengusap setetes air mata yang mengalir di matanya. Di kondisi tersulit apapun Yusuf akan sulit menangis, tapi jika ia herbicara dengan Ibunya air mata itu tidak malu untuk mengalir. Yusuf mengusap air matanya. Duduk lebih tegap dan menghela nafanya.

"Bu. Yusuf mau bilang sesuatu, tapi takut." Ucap Yusuf dengan tangan yang menggenggam pegangan kursi dengan kuat.

"Mau bilang apa? Bilang sama Ibu." Yusuf mendapatkan nada panik di sembrang sana. Yusuf jadi merasa bersalah. Lama mereka saling terdiam dengan sambungan telepon yang masih tersembung. "Biar Ibu dan Ayah ke rumahmu besok ya." Ucap Ibu Yusuf.

Sebagai Ibu, ia mengerti bahwa bertemu secara langsung akan lebih mudah untuk berbicara.

Yusuf yang mendengar kata Ayah langsung menolak. "Jangan Bu. Jangan sama Ayah." Sela Yusuf cepat. Yusuf bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Ayahnya.

"Yasudah Ibu akan ajak Kakakmu. Udah dulu ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Yusuf mematikan sambungan teleponnya. Dan kembali berjalan menuju ruangan Auris.

Tiba di ruang inap Auris. Yusuf mendekati berangkar Auris. Rupanya perempuan itu sudah bangun.

"Ihh lo kok lama banget. Di sini sepi banget." Ucap Auris sambil memperhatikan sekitar yang emang sepi. Hanya Auris yang berbaring di sini, sedangkan kasur lainnya tampak kosong.

"Lo takut?" Tanya Yusuf. Auris mengangguk pertanda bahwa ia benar-benar takut.

"Gue kok bisa di sini Suf? Gue sakit apa?" Tanya Auris, walaupun badan Auris udah sangat segar sekarang. Tidak ada rasa lemas sedikit pun. "Dan lo lama banget pulang tadi, padahal tadi gue kesakitan." Sambung Auris sambil memukul lengan Yusuf.

"Lo hamil Ris." Yusuf mengahlikan pandangannya ke arah Auris. Ia ingin menatap ekspresi apa yang akan di tunjukkan oleh Auris. Awalanya Auris hanya diam dengan pandangan tidak percaya.

"Lo bohong kan?" Tanya Auris lagi. Yusuf menggeleng pertanda tidak berbohong.

"NGGAK GUE NGGAK MAU HAMIL. INI SIAPA YANG MAU TANGGUNG JAWAB? ANAK INI MATI AJA. INI SEMUA GARA-GARA LO. LO BAJINGAN SUF." Teriak Auris dengan air mata yang terus mengalir. Dengan tangannya yang memukuli perutnya dengan brutal.

Yusuf yang menglihat semua itu, menyekal kedua tangan Auris. Membaringkan tubuh Auris dengan paksa, tangan Auris yang di cekal oleh Yusuf berada di kanan kiri samping tubuh Auris.

"GILA LO YA. DIAM LO JANGAN NGOMONG YANG NGGAK-NGGAK. LO BILANG YANG SALAH GUE? YANG SALAH TU ELO. LO TU BODOH, NGAPAIN LO JEBAK GUE? LO PIKIR CUMAN LO YANG MENDERITA? GUE JUGA. DAN INI SEMUA BERAWAL DARI LO, JADI NGGAK USAH BERLAGAK JADI ORANG BAIK YANG TERSAKITI." Teriak Yusuf tidak kalah nyaring.

***
Aduh greget nggak?

60 coment + 80 Vote : Up

Plisss vote. Comment. And share.

Thank you ""

AuristaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang