"Diriku terpaku, bukan sesuatu yang hebat, diapun tidak bergeming, aku merasakannya.
sentuhannya terlalu lembut untuk melarutkanku, akupun terjerat.
setiap tapak yang kulewati, angin coba menghalaunya. entahlah.
sekali lagi aku terjerat. bagai potongan kayu yang membara mencoba mengugurkanku.
Tidak, sama sekali tidak. satu ioda pun dalam tubuhku tidak gentar.
ingatanku tergerak pada kejadian lampau, kala butiran salju membekukan semangatnya.
terasa hangat perasaannya membara didetik itupun hujan membasahi indraku.
seakan bermaksud bukan itu yang sedang terjadi. Sekuat apapun sang pengada menolaknya dia akan selalu melawan.
tubuhku sarat, berharap tubuhnya merangkulku.
"Mustahil, yang tersisa hanya kenangan. terlalu lama kau menyadarinnya"
jeratannya seakan melonggar. aku runtuh tidak bersisa.
amarahku memuncak namun kini padam tidak sanggup menahannya.
tubuhku terbakar sungguh sungguh menggugurkanku.
wajahku ditampar oleh sesuatu aku tidak mengerti apa? siapa?
hujan membasahiku. tidak kubiarkan, kali ini aku ingin membeku bersamanya."
lamunanku menyesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak abad biadab
Poetrymerupakan sajak sajak yang menari dan terlukis secara visual