Pro Player 7

2.1K 236 31
                                    

***

Ujung jemari Jisoo menyentuh kain putih penutup kursi kayu rumahnya, semenjak ibunya tiada, rumahnya sempat di huni bibi Leta namun setahun belakangan wanita paruh baya ikut anak-anaknya ke Belanda.

Jisoo melirik ruang tengah yang semua perabot rumahnya di tutup kain putih, ruang ini sepi, bahkan suara angin dari pintu masuk yang terbuka masih bisa ia dengar.

Dan Jisoo benci sepi yang membawa sunyi.

Bayangan semasa kecilnya berlari-lari layak film lama, bocah laki-laki berumur 7 tahun berlari mengejar ibunya, menangkap wanita itu lalu tertawa, bahkan gelak tawa anak lelaki dan ibunya terasa sangat nyata.

Tetesan air mata membasahi pipi Jisoo, ia mengusap pipinya dengan menarik nafas panjang guna mereda rasa sedih yang setiap merindukan ibunya.

Rasa sedih dan penyesalan yang terus berkepanjangan, tak ingin usai terus menyalahkan dirinya sendiri.

Ia terus berandai, seandainya ia tak mengabaikan panggilan telepon dari ibu nya, dan seandainya ia cepat membawa ibunya berobat, seandainya ia tak terlambat, mungkin ia bisa menyelamatkan ibunya, dan mungkin saja Jisoo bisa bersama ibunya, berbagi cerita, lalu canda dan tertawa bersama.

Namun Jisoo hanya bisa berandai, nyatanya ia kalah dengan waktu atau mungkin ia lalai dengan waktu, membuang setiap detiknya dengan hal percuma.

Jika sudah begini? Ia bisa apa?

Yang tertinggal sekarang hanya penyesalan yang tiada berujung.

Langkah Jisoo berjalan ke kamar ibunya, ia membuka daun pintu, bahkan gesekan angsel pintu yang telah karatan terasa nyaring, dulu setiap kamar ibu terbuka memang menimbulkan bunyi, karena pintu yang sudah tua juga dan ibu nya tak ingin mengganti bentuk asli rumah kuno ini. Namun kini, bunyi angsel pintu setiap di dorong terasa nyaring sebab rumahnya benar-benar sunyi dan sepi.

Jisoo kini telah di dalam kamar ibunya, ia berdiri di depan kasur tua tempat ibunya dulu tidur semasa hidup, namun kini kasur kapuk itu digulung lalu di tutupi kain putih.

Hati Jisoo langsung patah, tangannya berpegangan pada besi ranjang ibunya, ia menangis dengan bahu bergetar.

Teringat ibunya memeluk ia di ranjang ini, mengusap rambutnya sebelum tidur, menceritakan kembali kehidupan masa kecil sang ibu.

"Jisoo!" Lisa berdiri cemas di pintu masuk kamar ibu Jisoo, nafasnya naik turun karena berlari dari halaman rumah Jisoo yang sangat besar.

Lisa berjalan pelan menghampiri Jisoo yang berjongkok di ranjang ibunya, bahu dan punggung Jisoo bergetar, sahabatnya ini menangis.

Tangan Lisa menyentuh bahu belakang Jisoo, ia menepuk pelan bahu Jisoo. "Ayo kita keluar dulu, orang-orang yang akan bersihin rumah ibu lo ini sudah datang."

Dengan masih menunduk, Jisoo bangun dari jongkoknya dibantu Lisa yang mengangkat Jisoo berdiri.

***

"Dad.." Laxy berlari setelah turun dari mobil mengejar Jisoo yang duduk dibangku lipat tepi dermaga.

Jisoo berdiri, berbalik badan melihat putra tampannya berlari semangat kearahnya.

Laxy diantar Jennie dan tentu juga pria kebanggaan wanita itu, yaitu Harry, pria yang Jennie sebut setia.

Jisoo tersenyum kecut, dari pada memikirkan perasaan ia sebenarnya lebih peduli pada putra mereka, perasaannya pada Jennie suatu yang sia-sia, sekeras apapun ia berjuang tak akan ada nilai dimata wanita itu.

"Dad!" tubuh Laxy menabrak badan Jisoo, nafasnya ngos-ngosan namun mampu tertawa sebab ia akan bersama Jisoo satu minggu ini.

Jisoo menunduk, ia mengusap kelapa Laxy, menyisir rambut putranya dengan jari-jari.

What if....?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang